Bab 19 - Titik Terlemah

4.5K 861 583
                                    

Content warn; a lil bit of violence❗️

•••

Mungkin, memang benar masalalu tidak selamanya akan hilang. Ada saatnya hal tersebut muncul ke permukaan—bisa jadi dalam bentuk baik, atau yang begitu buruk. Mencuat dengan luka lama yang kembali menganga dan semakin perih. Tempat yang seharusnya menjadi wadah paling nyaman, justru paling ditakutkan.

"Kakek apa nggak capek, begini terus?" Maniknya menegadah.

Menatap telak sepasang mata cokelat gelap sang kakek kandung—Daehee De Adyaksa. Pemilik pertama perusahaan Adyaksa Crop yang beberapa tahun ke depan akan Taehyung pegang. Duduk berdampingan di sofa hitam ruang keluarga.

Pria berusia hampir menyentuh kepala tujuh itu tersenyum culas, "Mungkin nggak akan capek, sampai Kakek mati?"

Taehyung terkekeh kering.

Rumahnya kosong. Orang tuanya pergi bekerja, menyisakannya berdua dengan lelaki berusia sepuh yang datang ke Jakarta dengan dalih; bosan di Yogja, rindu pada keluarga di Ibukota.

Meski Taehyung tahu tidak seperti itu.

"Ah, jadi Kakek mau apa lagi?"

"Kakek cuma mau kamu nurut, jadi cucu yang baik. Mudah, 'kan?" Selagi menyesap kopi hitamnya, Adyaksa melirik sang cucu.

"Maaf, tapi buat ini ... Tae nggak bisa nurutin Kakek. Mungkin, dulu Tae diam. Papa nggak tahu dan Mama ikut nutupin perlakuan Kakek. Sekarang, nggak lagi—"

Taehyung menghela napas sejenak, "—kali ini, Kakek libatin orang lain yang nggak salah apa-apa. Sejak umurku empat tahun, Kakek nggak bisa ya, jadi sosok Kakek yang kebanyakan orang punya?"

Si tertua Adyaksa menghela napas, kepalanya menerawang bagaimana darah mengalir dari sela kaki puterinya. Bunyi panjang mesin rumah sakit yang begitu menyakitkan; putrinya meninggal.

"Jadi kamu anggap selama ini saya apa, Tae? Bukan Kakekmu?"

"Anda? Anda Kakek saya, tapi Anda menganggap saya musuh. Begitu, 'kan?"

Polah kata keduanya berubah dalam detik yang signmifikan. Perihal kata 'saya', diiringi dengan kata 'anda' yang begitu formal.

Adyaksa tersenyum tipis. "Benar. Dan selamanya akan begitu."

Bukan lagi luka cambuk yang terngiang di kepalanya.

Namun, runtutan kata benci yang kini mulai mengelilingi benaknya. Bukankah itu terdengar lebih menyakitkan?

"Darah lebih kental daripada air. Tapi, kayaknya, itu nggak berpengaruh buat Anda, 'kan? Saya tetap musuh—biarpun saya, cucu kandung Anda. Sakit banget rasanya, ya?" Taehyung berbicara sejujurnya.

Ia letih. Sangat.

"Saya pasti akan mati, Tae. Jadi berikan hadiah terindah kamu—penderitaan kalian."

"Kakek gila?"

"Menurutmu? Hah, kalau kamu memberontak, ya, saya tidak akan segan membunuh ibu kebanggaanmu itu—persis seperti yang kamu lakukan pada puteri saya, Kaehee Re Adyaksa."

Sebab Jihye Fiannita hanyalah seorang ibu sambung Taehyung sedangkan Kaehee—adalah seorang malaikat baik hati yang selama ini tidak pernah Taehyung ingat dengan jelas presensinya. Puteri tunggal dari si tertua Adyaksa. Darah yang selama ini mengalir dalam pembuluh raganya.

INEFFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang