Bab 12 - Lantunan Sakit

5K 863 535
                                    

Ada banyak alasan yang membuatnya sebegitu peduli. Pikirannya melayang pada kejadian dua hari lalu; hujan dan sebuah tumpangan. Membuatnya lagi-lagi menghela napas berat, terlentang bersama sofa kusut di atas rooftop. Menatap langit biru dengan gumpalan awan putih.

"Nih, cola!"

Yang merasa dituju menerjapkan mata, menangkap sekaleng dingin soda dengan kekehan kecil. "Santai dong, ngasihnya."

Jimin Park Addison terkikik geli. Bersandar pada kepala sofa, tidak komplain bilamana Taehyung masih mempertahankan posisi baringnya.

"Masih nyesel karena sempet baik ke dia? Kalau iya, jahat banget, lo," ujar Jimin.

"Memang."

Taehyung mendengus setelah menjawab asal, bangkit dan terduduk. Membuka pengait besi minumannya dan suara yang familiar terdengar. Meneguknya hingga tersisa setengah. Sudah biasa—maniak. Soda adalah favoritenya. "Saran lo nggak ngaruh, Jim. Jennie ya Jennie. Nggak bisa gue anggap dia kayak Kak Jisoo."

"Terdeteksi bucin akut. Benci gue dengernya sekarang."

"Peduli pendapat lo? Nggak."

Jimin memutar bola mata malas, berdiri dari duduknya. Membalikkan tubuh hingga dapat ia lihat manik Taehyung menatap nyalang ke arah depan. "Kalau dulu gue sekedar protes karena percuma Kak Ji nggak bisa lo raih—"

"Jimin bajingan."

"—sekarang gue protes sekaligus benci karena memang harusnya lo berhenti. Hell, bruh. Dua tahun kalian lost contact, dia nggak ada kabar, pas dateng lo masih cinta? Drama abis!"

Meski sempat disela, Jimin tetap berhasil menyelesaikannya. Jimin tahu, mungkin, sedikit-banyak polah kata yang ia punya menyinggung Taehyung. Namun nyatanya kekhawatiran Jimin lebih dari itu. Jisoo Amora memang gadis yang baik.

Namun, apa baik untuk sahabatnya?

Bahkan ketika teman-teman Jisoo tahu gadis itu pergi—Taehyung tidak mendapat kabar apa-apa.

"Kak Jisoo yang pertama, Jim. Susah buat gue jatuh sama yang lain, bodoh."

"Puluhan atau ratusan? Lo ngomong gitu terus, Tae. Jangan bersikap seolah-olah Kak Ji anggap lo, sepenting lo anggap dia."

Darah Taehyung berdesir. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang ketara. Ah, bahkan Jimin juga membenci—seberapa lemah emosi Taehyung mengenai Jisoo. Atau, bahkan, seberapa lemah Taehyung menilai kondisi hatinya sendiri.

"Lo yakin itu cinta, Tae? Bukan rasa kakak-adik yang kamuflase karena nyaman?" Jimin terkekeh, bersikedap dada.

Taehyung mendongak dan menangkap tatapan remeh Jimin. "Nggak usah mancing emosi, anjing. Males gue nonjok lo."

"Tonjok aja, paling babak belur dan lo nggak punya sahabat macam gue lagi."

Taehyung berdecak, berdiri dan meneguk tegukan terakhir sodanya. Menginjak kaleng tersebut hingga menjadi lempengan lusuh. Menendangnya tanpa arah.

"Lo salah nangkep saran gue tempo lalu. Bukan lo yang anggap Jennie jadi Kak Ji—jelas itu nggak bisa. Tapi anggap, Jennie itu yang harus lo sayang. Bukan Kak Jisoo," ungkap Jimin.

"Jim,"

"Lo tahu cinta sendirian itu sakit, Tae. Tapi kenapa lo lakuin itu ke Jennie? Mau berengsek jadi nama tengah lo, iya?"

Taehyung menjilat bibirnya sekilas, menyugar rambutnya ke belakang. "Lo bahkan paham bukan cuma tentang Kak Jisoo disini. Bukan soal cinta, doang, bangsat."

INEFFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang