Bab 21 - Egois

4.4K 788 453
                                    

Begini rasanya dijatuhkan setelah diterbangkan. Ketika akal berpikir bahwa semua penantian telah berakhir, namun lantas patah oleh sebab yang sebenarnya, begitu jelas. Presensinya telah ditolak kala pertama mereka bertemu. Namun, dengan bodohnya berkata bahwa; ia bisa, mereka bisa, dan cinta bisa hadir di antara keduanya.

"Gila, lo, Jennie. Gimana bisa, huh?"

Sayangnya, Jennie terlupa. Terlalu fokus pada usaha hingga hati kecilnya tak mendapat ruang untuk bersuara. Letak dimana sejak awal; ragu, bimbang, takut, pesimis tersembunyi apik dibalik cintanya.

Lalu setelah semuanya hampir sembuh atas harapan di sore menjalang malam kemarin, akhirnya pupus juga. Hancur sebab yang diperjuangkan tidak ingin ia berjuang. Oh, benar. Tak sekalipun Jennie berhasil mengetuk pintu hati pemuda itu, bukan? Jangan menjadi idiot lebih dari ini.

"Tuhan, sampe sini aja, ya? Nggak mau lebih dari ini."

Beruntung sekali, keadaan rumah kosong kala ia pulang. Terbebas dari segala introgasi yang mungkin terjadi dari belah bibir kedua orang tuanya. Dan kala punggungnya menyentuh ranjang—Jennie hanya ingin tertidur, lalu bangun, dan terbebas dari segala isak tangis yang sepuluh menit lalu masih ia lakukan.

Semoga.

•••

Seminggu berlalu begitu saja.

Tidak ada komunikasi baik dari jejaring sosial ataupun sapaan. Oh, bahkan bila memang berpapasan, mereka total menjadi dua kepala yang tidak saling mengenal.

"Woi, Tae!"

Si pemilik nama menoleh, mendapati pemuda bersurai cokelat gelap menghampirinya yang duduk di tepi lapangan dengan benda persegi di pangkuan.

"Data apa, tuh?" Jimin bertanya dan ikut terduduk di kursi panjang yang Taehyung tempati.

"Organsasi."

"Itu nama-nama anggota?"

"Hm. Dua minggu lagi mau coba turun desa."

"Turun desa? Kemana? Ini acara klub lo doang yang bikin? Kok, klub gue nggak ada kabar apa-apa, ya?"

Taehyung memutar bola mata malas. Tuhan, Jimin ini. Selalu saja bertanya dengan jeda yang begitu sedikit.

"Napas dulu, kek," sahut Taehyung.

Jimin menerjap, lantas menyengir lebar. "Hehehe. Soalnya setahu gue anak-anak yang turun desa 'kan rata-rata nginep. Anjir, gue kepengen, tahu, udah lama banget nggak begitu. Tugas mulu numpuk, bolak-balik gedung ketemu dosen. Bosen."

Atas tuturan Jimin, Taehyung memandangnya tidak mengerti, "Lo kira turun desa itu liburan? Kita juga penyuluhan kesana, kali."

Oh, Jimin lupa. Sahabat kentalnya itu jarang bisa menerima guyonan jika tengah melakukan satu pekerjaan. Tipikal Taehyung sekali.

"Santai, Tae. Tegang banget lo jawabnya."

Balasannya pun hanya dehaman pendek, membuat Jimin menghembuskan napas.

"Jennie ikut? Dia 'kan sampul majalah kemarin."

"Tae?"

INEFFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang