I (Side II)

119 7 3
                                    

"Nah, bagaimana rasanya?" Tanya seorang dokter muda perempuan setelah membuka perban di telapak kaki seorang remaja lelaki.

Lelaki tersebut menggerakkan telapak kakinya ke kanan dan ke kiri. "Umm, sudah tak sakit lagi" ucapnya.

Setelah diteliti, lelaki tersebut memiliki luka melepuh dan sedikit goresan lecet di telapak kakinya. Tapi ia terlihat baik-baik saja setelah merasakkan tak ada sedikitpun perih pada lukanya.

"Akhirnya kau bisa berjalan sendiri Joe!" Ya, remaja laki-laki tersebut ialah Joe.

Ia menerima luka parah di kakinya setelah berjalan seharian di aspal yang panas dan kasar. Saat hari itu terjadi, Joe memang tak merasakkan apa-apa pada kakinya. Seolah rasa sedih telah menghapuskannya. Tapi beberapa jam kemudian, saat sampai rumah, Joe baru sadar kakinya terluka parah sampai ia tak bisa jalan.

"Kau tahu Joe, aku sudah lelah jadi budakmu selama kau sakit. Kau hanya berbaring di tempat tidur, sementara aku bolak balik melayanimu. Dan akhirnya aku bebas! Akhirnya!" Patrick menyeletuk.

"Patrick! Ikut ayah!" Ayah mereka nampak tak senang dengan perkataan Patrick dan menarik Patrick keluar kamar rumah Joe.

"Tolong jaga ucapanmu Patrick, kau tahu kan apa yang dialami kakakmu..."

"Ya ya! Aku tahu ayah. Tapi tolong, Joe sudah besar. Kau tak bisa anggap dia seperti anak kecil terus" Patrick menyela ucapan ayahnya. Jarang sekali ia berani melawan ayahnya seperti ini, tapi hari ini, seperti ada sesuatu yang merasukki Patrick dan membuat semua kata-kata spontan keluar dari mulutnya.

Ayah Patrick sontak kesal dengan prilaku tak sopan anaknya. "Bisakah kau tak memotong ucapanku sebelum aku selesai, Patrick Alwyn?".

Patrick langsung terdiam.

"Aku tak mau anakku pergi seharian tak ada kabar dan pulang dengan luka seperti itu. Kau tolong jaga ucapanmu didepan kakakmu Patrick. Kau paham kan betapa sedihnya ia saat ini." Nasihat ayahnya tampak tak logis bagi Patrick. Bagaimana bisa ia dimarahi hanya karena berkata seperti itu di depan Joe.

"Ayah kira aku tak sedih? Ayah tahu satu-satunya orang yang mengerti perasaan Taylor, yang selalu ada disaat Taylor ingin cerita. Itu aku ayah, Joe tak akan mengerti. Dan kesedihan aku rasakan berbeda, dan aku jauh lebih sedih daripada apa yang dirasakan Joe, ayah." Dan Patrick benar-benar mengatakannya.

Patrick berlari pergi dan masuk kedalam kamarnya. Ia tak mengerti lagi apa yang terjadi tadi. Tapi anehnya, ia merasa lega.

Ia mengacak-acak kasurnya mencari smartphone miliknya. Setelah dapat, Patrick langsung menuju aplikais Line dan membuka kolom chat nya bersama Taylor.

 Setelah dapat, Patrick langsung menuju aplikais Line dan membuka kolom chat nya bersama Taylor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Taylor mematikan smartphone nya dan berbaring di tempat tidur.

Senang rasanya Patrick masih bisa dihubungi selama dirinya ada di Jerman. Padahal baru beberapa hari Taylor di Jerman, tapi rasanya seperti ingin mati kebosanan. Tak ada Austin teman bertengkarnya, tak ada Gigi yang gemar meledeknya, yang paling parah tak ada Joe.

detective Taylor II: distractedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang