Aku tak melihat senja yang kunanti, hanya ada gumpalan awan hitam. Sebentar lagi akan turun hujan. Aku tak menyukainya. Hujan begitu mengerikan bukan karena kenangan atau pun genangan. Tapi setiap tetesan air yang jatuh itu serasa menusuk di sekujur tubuh. Langit sedang bersedih, apakah kesedihannya karena mereka melihat manusia tak lagi sebagaimana manusia?. Aku memilih berjalan secepat mungkin, tak ingin menyalahkan hujan karena membasahiku. Udara di sore ini seketika berubah menjadi sejuk. Pohon-pohon di pinggir trotar seakan melambai menunggu hujan turun dan aku lupa membawa payung, acap kali kubawa ketika pergi.
"Sarah percepatlah langkahmu" batinku.
Hujan pun tak menungguku, ia turun begitu deras. Aku mencari tempat berteduh. Di ujung sana terdapat halte terdekat, langkah kaki ku semakin cepat kemudian berlari kecil. Hampir saja terpleset karena jalan licin. Tetiba ada seseorang yang menahanku dari belakang. Sontak aku menoleh ke belakang.
"Hati-hati, jalanan licin..." Ujar seseorang yang mukanya tak asing bagiku.
Ia melepaskan tangannya dari bahuku. "Maaf, tak bermaksud macam-macam".
Aku termenung beberapa saat. "Ohh iya" kemudian beranjak menuju halte, jaraknya tak begitu jauh dari tempatku berdiri.
Aku kemudian duduk di halte, menunggu hujan segera redah. Tak kusangka seseorang yang menolongku tadi duduk bersebelahan denganku. Ia menoleh ke arahku.
"Akhir-akhir ini Makassar sering diguyur hujan" Ujar laki-laki berambut gondrong itu sembari mengarahkan pandangannya keatas, melihat hujan belum juga redah.
Aku memandangnya, entah dengan siapa ia berbicara. Kami hanya duduk berdua di halte, tak ada orang lain.
"Apakah ia berbicara sendiri? Atau berusaha mencairkan suasana yang sedikit kaku ini?" Ujar batinku.
Aku pun menyahut, "Ohh iya.."
"Hmm. Cuaca seperti ini kenapa tidak membawa payung?"
"Payungnya ketinggalan di pondok" ujarku
Aku menatap tepian jalan yang sedikit mulai digenangi air, hujannya begitu deras, tak kala air dengan sengaja ditumpahkan.
Ia mengarahkan pandangannya kepadaku dengan tatapan seolah pernah melihatku sebelumnya. Sementara aku begitu familiar melihat wajahnya.
"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanyanya
"Sepertinya pernah, tapi tak tahu dimana." Ujarku, berusaha mengingat-ingat kembali pernah bertemu dengan seseorang ini.
Ia kemudian terdiam dan sontak membuatku kaget.
"Ohh iya, kita pernah bertemu di sekitar pelataran, saat diskusi buku tiga minggu lalu" ujar laki-laki berambut gondrong itu lagi.
Aku berusaha mengingat diskusi buku tiga minggu lalu dan aku baru mengingatnya ia senior dua tingkat diatasku, namanya Fakhri. Mahasiswa semester akhir yang belum juga wisuda.
"Ohh iya, maaf tidak mengenali" sahutku
Ia tersenyum tipis. "tidak apa-apa." Ujarnya sembari mengikat rambutnya yang sedikit basah. "Lagi pula tampang begini pasaran jadi susah dikenali, asal jangan disebut preman saja." Lanjutnya.
"Wahh kalo preman terlalu biasa, mungkin seorang pencuri anak" timpalku
"Tapi kenyataannya seorang mahasiswa yang belum juga sarjana" Ujar lelaki yang kerap disapa Fakhri sembari tertawa.
Aku pun tak mampu menahan untuk tertawa. Tak menyangka ia begitu jujur mengatakan sesuatu yang harusnya tak perlu ia ceritakan kepada orang lain.
"Yah begitulah, namanya juga hidup. Setiap orang pasti memiliki pencapaiannya masing-masing, tergantung orientasi hidupnya".
seketika aku terdiam mendengar kalimat yang baru saja diucapkannya.
"Terkadang orang lain ingin melihat kita bisa sukses, tapi memaksakan konsep sukses menurutnya kepada kita. Apakah dengan menyelesaikan studi dengan cepat, mendapat IPK cumlaude itu dikatakan sukses?" Lanjutnya.
"Tidak juga, itu sangat subjektif. Kadang kala yang terjadi memang seperti itu. Sebahagian dari kita memiliki cara pandang berbeda dan tentunya mempunyai alasan tersendiri. Itu persoalan pilihan." Ujarku dengan spontan, entah apa yang menggerakan lidahku untuk mengeluarkan susuanan kata tersebut.
"Cara pandang seseorang tergantung pengetahuannya, mana mungkin anak kelas satu SD dengan mudah paham mengenai logaritma. Ujarnya melepaskan jaket berwarna merah maroon yang dikenakannya karena basah.
Aku kembali terdiam, apa maksud ucapannya?. Berbicara dengannya sangat berbeda dengan kebanyakan orang, sementara hujan sudah mulai redah. Aku menjulurkan tanganku ke depan, memastikan bahwa hujan ini berubah menjadi rintik yang tak lagi menusuk kulitku.
"Hujannya sudah redah.." ujarnya ketika melihatku menjulurkan tanganku ke depan.
Aku merapikan tasku dan beberapa lembar kertas yang berada di map, untung saja tidak basah. Ia memerhatikan seluruh barang bawaanku. Aku kemudian berdiri, mengusap-usap tanganku. Aku merasa kedinginan, sekujur tubuhku seakan dibisukan oleh dingin hingga ke ujung jari sembari melihat angkot yang tengah berhenti dihadapanku menunggu untuk segera naik.
"Saya duluan" ujarku segera naik ke dalam angkot.
"Iya" balasnya singkat.
*****
"Seakan aku melihat pelangi setelah hujan. bukan, di tengah hujan pun ia masih saja malu mengatakan bahwa ia adalah pelangi". Ujarku dalam hati.
Bertemu dengan sosok perempuan seperti dirinya, membuatku lupa untuk mengenal siapa namanya. Singkat, sesingkat senja menuju malam. Bagaimana mungkin aku tak mengetahui namanya, wajah yang sering terlewatkan olehku. Aku tahu, hujan kali ini begitu picik merenggut senja, tapi terlalu picik untuk melihat pelangi di hari ini.
Pikirku tak ada lagi waktu untuk berdiam disini, di sebuah halte tempatku duduk sekarang ini. Tempat yang mengisahkan percakapan telah usai, perkenalan tak tuntas dan perjumpaan yang disemogakan. Aku tetiba saja terkejut, klakson kendaraan beroda dua tepat dihadapanku memecahkan bayanganku.
"Pppiiiipppp Pppiiiipppp.."
"Woiii.." Ujar seseorang yang belum juga turun dari motor.
"Woiii Fakhri.." Ujarnya sekali lagi, dengan nada suara cukup keras.
"Ehhh iya, Don."
"Buruan naik, kebururu macet"
"Iya"
Hujan di sore ini, mempersilahkanku untuk melihat pelangi menyisakan jejak-jejak warna untukku mencari sejatinya ia sebagai pelangi. Laju motor kemudian membawaku pergi meninggalkan bekas pelangi munuju malam yang gelap.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi Kaktus
SpiritualNovel ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Sarah, penyuka Kaktus. Ia mengalami berbagai masalah dalam hidupnya dan belajar memaknai hidup. Ia percaya puncak dari mencintai adalah melepaskan.Ia pun merasakan afeksi, berharap bait yang rump...