Bab 16 Kaktus

15 0 0
                                    

Ini kali pertama aku berkunjung kesini, pemiliknya adalah sahabat karib Ayah. Namanya Om Ridwan. Tata kelola cafenya cukup nyaman untuk sekedar ngobrol dan bersantai. Ayah menyarankan untuk bertemu dengan Om Ridwan, setidaknya aku bisa belajar dari beliau. Pribadi yang ramah dan mampu menyesuaikan dengan siapa saja. Tidak kusangka ia begitu kreatif dalam menyampaikan saran-sarannya terhadap keinginanku. Ia cukup berpengalaman dalam mengembangkan usaha makanan siap saji, resto dan cafe. Sedikit banyak ia bercerita tentang pengalamannya dan bagaimana ia merintis semuanya hingga berkembang seperti sekarang. Di balik itu semua, ia tidak serta merta menerima omsetnya untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Lima puluh persen dari hasil usahanya ia donasikan ke salah satu panti asuhan. Hidupnya sangat sederhana, jika melihatnya pertama kali tak akan terpikirkan bahwa ia pemilik cafe ini. Istrinya seorang dokter dan Om Ridwan memiliki dua orang putri yang berumur enam dan empat tahun. Keduanya selalu menemani Om Ridwan ke cafe. Aku sempat bertegur sapa dengan kedua putrinya.

Di sela percakapan dengan Om Ridwan, mataku terkesan melihat desain cafe yang dibuatnya. Terlihat segar. Ia menyarankanku berbagai konsep untuk kemudian aku pertimbangkan. Suasana café sore ini mulai dipadati beberapa pengunjung. Cukup ramai. Menu makanan dan minuman yang disajikan pun hampir sama dengan cafe pada umumnya. Om Ridwan beranjak dari tempat duduknya untuk mengecek beberapa persedian bahan baku.

Aku melanjutkan pekerjaanku, memilah-milah beberapa konsep pas untuk aku tawarkan pada Sarah sembari menyelesaikan bab pembahasan dalam skripsi. Dari arah kejauhan terlihat perempuan berjalan ke arahku. Ia kemudin duduk.

"Maaf telat"

"Tidak apa-apa" jawabku.

"Tumben"

"Apanya?"

"Padahal saya sudah siap dengan kritikan pedas seperti tempo hari".

"Tampaknya kau masih kesal soal itu"

"Iya, kadang kau bersikap aneh. Kalo saya jabarkan kau itu seperti cuaca,mudah berubah-ubah. Tidak jelas. Kadang ramah, kadang dengan mudah menjudge orang lain, kadang tenang, kadang ngelucu, kadang tiba-tiba jadi pendiam dan misterius."

Aku mengangguk dan mendegarakan kekesalan Sarah tempo hari.

"Sudah?" tanyaku.

"Sebenarnya ada apa?"

Aku membahasakannya dengan pelan dan sangat hati-hati kepada Sarah, dari maksud aku mengajaknya bertemu hari ini dan mengajaknya untuk bersama-sama bergerak. Aku tahu kepedulian Sarah dengan orang disekelilingnya, dan itu cukup menjadikan alasan untuk memintanya mengembangkan usaha bersama dengannya. Aku pikir Sarah orang yang tepat untuk menemaniku untuk saat ini dan nanti?. Tapi aku tak ingin terbuuru-buru dalam menyikapi perasaan. Lambat laun waktu akan menjawab semuanya.

"Jadi bagaimana Sar?" Tanyaku.

"Saya masih perlu memikirkan kembali, kenapa mesti saya?"

"Karena kau adalah orang yang tepat untuk menemani saya"

"Maksudnya? Tepat menemani?"

Aku mengeluarkan kalimat yang kurang pas untuk disampaikan kepada Sarah. Kata-kata itu meluncur begitu cepat.

"Maksudnya tipikal orang sepertimu itu sangat pas untuk diajak bekerja sama, punya jiwa kepedulian yang tinggi terhadap orang lain, semangat dan saya percaya kau pekerja keras." Lanjutku.

"Jika kau bergerak untuk kebaikan sesama dan orang lain, saya akan ikut, tapi jika hanya untuk kepentingan diri sendiri. Maaf saya tidak akan mau." Jawab Sarah tegas.

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang