Bab 5 Betapa Indahnya Dunia

18 1 0
                                    

Aku berjalan menelusuri koridor-koridor ruangan, hendak menuju kantin. Menikmati sepiring nasi kuning untuk pagi ini, nasi kuning buatan Bu Tuti. Aku sering makan di tempatnya, lumayan murah untuk uang saku Mahasiswa. Seperti biasa, tempat ini selalu ramai.

Aku kemudian duduk di meja paling belakang. "Bu, nasi kuningnya satu.." Setengah berteriak sembari memberikan isyarat untuk memberitahukannya bahwa tak usah dibungkus. Kebanyakan yang makan di tempat Bu Tuti adalah mahasiswa dari Sastra, Sospol, dan Ekonomi. Tempatnya begitu sederhana, jadi wajar saja kalo di tempat ini tak ada mahasiswa Kedokteran dan anak saintek lainnya. Menurut mereka makan di tempat seperti ini tak higienis. Secara doktrin pemikiran mereka, kalayakan makanan itu juga ditentukan oleh tempatnya. Hal ini juga benar.

Menunggu pesananku datang, aku memilih untuk memutar beberapa lagu di handphoneku. Aku mendengarkan lagu What a Wonderful World dari Louis Armstrong, lagu yang dirilis sekitar tahun 60-an bergenre musik Jazz ini tampaknya kurang populer di telinga anak muda zaman sekarang. Lagu cukup populer di eranya ini penuh makna, lagu yang ditulis Louis dimaksudkan sebagai antidot, mengembalikan harapan akan hidup yang lebih baik, harmonis dan damai karena saat itu kehidupan yang sedang keruh penuh kebencian dan prasangka rasialisme. Aku menyukai sepenggal lirik dari lagu ini.

" I see skies of blue, and clouds of white

The bright blessed day, the dark sacred night

And I think to my self

What a wonderful world"

"oww.. wooww what a wonderful world" aku berusaha mengikuti suara vokal Louis.

Betapa indah dunia menurutku jika itu terwujud.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku

"Volume suaranya tolong dikuranginlah Sar" seseorang itu kemudian duduk di sebalahku.

"Ehh Fira, saya kira siapa"

"Sudah kutebak siapa lagi yang memutar lagu kuno sepagi ini ditengah keramaian kalo bukan kau". Sindirnya.

"Kau ini, jangan salah ini bukan lagu kuno"

"Yah terserahlah". Ia menyimpan tas nya di meja. "Kau sudah pesan?". Tanyanya kepadaku.

"Iya sudah, lagi tunggu pesananku"

Ia mengangguk. "Okay"

Pesananku pun akhirnya datang.

"Makasih yah Bu.." Sahutku ketika Bu Tuti meletakkan sepiring nasi kuning di hadapanku.

Bu Tuti hanya tersenyum kemudian berlalu membawa pesanan makanan ke meja lainnya.

"Sar, kenapa tadi kau tak masuk?" belum sempat sesendok nasi kuning itu masuk ke mulutku. Fira sudah menanyakan ketidakhadiranku di kelas tadi.

"Biasa Fir, telat" Sahutku cengengesan.

"Kau ini, tadi kau dicari sama Bapak"

"Tumben"

"Saya serius ini Sar" Lanjutnya. "gara-gara minggu lalu kau berdebat dengannya mengenai tokoh pemikir barat itu".

"Trus Bapak bilang apa?"

"Yahh mungkin mau memperjelas mengenai hal itu." Fira menghela napas. "Kau sih pembahasannya mengenai sastra malah pembahasannya beralih ke filsafat. Saya jadi pusing sendiri dengan materinya". Keluh Fira

"Kalo pusing minum obatlah Fir, jangan menyiksa diri".

"Sarah, bukan itu maksudku" sedikit jengkel mendengar tanggapanku.

Saat berbicara dengannya, aku suka usil walaupun sebenarnya aku tahu maksud dia mengatakan itu.

"Iya, iya maaf bercanda".

Fira menggeleng-gelengkan kepala. "Serius demi apa dapat teman segila ini" mengalihkan pandangannya ke daftar menu yang sedang dipegangnya.

*****

"Kemudian aku melihatmu

Dan dunia baik-baik saja denganku

Hanya melihatmu sekali

Dan aku tahu itu akan menjadi

Hari yang Indah"-

Mungkin itu arti sepenggal lirik lagu Lovely day yang dinyanyikan oleh Bill Withers, seperti perasaanku saat ini melihatmu di tempat ini menjadikan hari pertama berkenalan denganmu sebagai hari yang indah. Setelah hujan kau hadir sebagai pelangi.

Sedari tadi aku memerhatikan seseorang yang tengah duduk di meja bagian belakang, menunggu pesanannya datang. Sesekali tersenyum, entah dengan siapa ia mengarahkan senyumannya. Ia mendengarkan sebuah lagu era 60-an yang dinyanyikan oleh Louis Armstrong. Aneh!. Masihkah ada seseorang yang mendengarkan lagu tersebut saat semua orang lebih tertarik mendengarkan lagu yang terkesan kekinian. Aku tak memahami konsep kekinian menurut mereka and I do not want to comment on that.

"Fakhr, kenapa kemarin kau tak jadi datang ke rumah Dimas?" tanya Arya setelah menyeruput kopi yang dipesannya

"Iya maaf Bro, kemarin ada yang harus saya selesaikan" jawabku

"Wah skripsimu sudah selesai Bro" sambung Doni

"Ahh belum"

"Trus?" lanjut Doni

"Biasa, ada sedikit masalah di rumah".

Arya dan Doni hanya mengangguk. Mereka berdua paham dengan kondisi keluargaku. Terlebih mengenai sikap keras Ayahku. Jadi mereka tak banyak bertanya ketika aku menyatakan mengenai masalah rumah, pasti mengenai aku dan Ayahku.

"Jadi, bagaimana dengan aksi turun di jalannya Bro?" tanya Doni membuka perbincangan baru, mengingat dua hari lagi adalah peringatan Hari Sumpah Pemuda.

"Anggotanya sudah siap belum?" tanyaku

"Yah kalo soal siapnya pasti sudah siap". Doni memstikan.

"Lumayan ada beberapa kampus yang mau bergabung, beraliansi dengan kita". Sambar Arya

"Okay. Kau atur saja, bagaimana prosedurnya" ujarku. "Asal jangan anarkis". saranku.

"Nah kenapa?, dari tahun-tahun sebelumnyakan memang seperti itu" tanggap Doni

"Pahami substansi dari kau memperingati hari sumpah pemuda Don." Jawabku

"Don, masa kau tak mengerti maksud Fakhri.." ujar Arya memotong pembicaraan.

"Iya, hanya saja di lapangan hal tersebut sangat sulit untuk dikontrol" sambung Doni

"Sebisa mungkin harus Don". Tanggapku. "kau tahu kan Image mahasiswa dimata masyarakat seperti apa. Melakukan hal tersebut hanya memperkeruh bukan malah memperbaiki. Stigma masyarakat tentang mahasiswa sekarang itu buruk. Tahunya cuma demo, bakar ban, dan bikin macet. Padahal sebenarnya kita punya niat bait untuk masyarakat. Mahasiswa memegang peranan sebagai agent of change bukan agent of problem".

"Yahh okelahh" Doni menerima.

Kemudian, perbincangan kami berlanjut. Tak terasa ternyata sudah siang. Mengahabisakan waktu untuk menikmati pekatnya kopi tak sedikitpun menurutku membuang-buang waktu. Semua orang mempunyai kebiasaannya maing-masing, termasuk kami ketika berkumpul menikamti secangkir kopi.

****            

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang