Bab 8 Kecantikan Fantasi

24 0 0
                                    

Pagi ini aku teringat kata-kata Ummi di kampung, saat fajar telah menampakan sinarnya, saat rerumputan kembali menari dan suara riuh tetangga kamar kembali terdengar. Aku terlambat. Matahari mendahuluiku. Ia tersenyum. Katanya anak perempua tidak boleh kesiangan, hal yang menurutku lumrah dikumandangkan oleh seorang ibu kepada anaknya. Mengisyaratkan anak perempuan harus bangun pagi walaupun itu hanya untuk menuangkan secangkir teh, membersihkan tempat tidur, menyiapkan sarapan atau paling tidak untuk meneguk segelas air putih dan membuka jendela rumah. Kalimat-kalimat yang sering aku dengar ketika dulu aku lebih suka bersantai dan bermanja-manja.

Hal serupa ketika Nenek menegur saudara perempuan ummi yang belum juga menikah lantaran sewaktu gadis sering bangun kesiangan. Aku menganggapnya sebagai lelucon. Aku pikir apa hubungannya jodoh dengan terlambat bangun. Pikiran anehku tak dapat kutepis ia bermunculan seperti icon lampu benderang di atas kepalaku. Berusaha menghubungkan keduanya, orang tua selalu punya cara untuk melihat anaknya menjadi lebih baik. Setidakya dengan kalimat penuh makna yang terkadang tidak ada hubungannya. Agar kita menjadi lebih baik. Bentuk kasih tak harus dengan tindakan tetapi lebih bermakna, karena kata-kata bisa lebih manis daripada gula atau ia bisa lebih pahit daripada kopi. Tapi Aku lebih memilih meneguk segelas air putih pagi ini. Melegakan.

Ketika pagi ini aku harus menemui seseorang aneh, tampak kharismatik dan lumayan tampan, kata mereka. Menurutku ada yang salah pada inderanya. Seseorang berambut gondrong dengan sorot mata tajam, persis sama ketika menatapku. Menerkam dengan cepat, menyerang terlebih dahulu. Puas membuatku tak berkutik. Sepertinya ia paham betul strategi menyerang, paling tidak ia paham tentang strategi perang Sun Tzu, atau hatam membaca karya- karya Machiieveli, atau rajin membaca artikel seputar cara menaklukan seseorang dengan tatapan. Aku semakin bingung.

****

Berada disini seakan menyulapku menjadi penyair, seketika ingin menulis beberapa baris kata tentangnya.

Kau seperti bintang, disaat langit gelap tak bernada kau bercahaya

Ku seolah terbawa pada sinarmu, menemukan tanda bahwa itu kau.

Mengapa kau baru menampakan cahayamu?

Aku pikir kita....

"Aku pikir kita harus bicara sekarang". Kata seorang perempuan berkaos hitam bertuliskan kartini pada bagian dadanya.

Aku berhenti menulis, melihat seorang perempuan berdiri di sampingku, menatap kearah kertas di meja dan sebuah pulpen di tanganku. Perempuan ini mengejutkanku.

"Sudah lewat 15 menit, penilaianku tepat. Tipikal perempuan yang kurang on time". Gubrisku mengarahkan pandang pada sorot mata indah itu.

Perempuan berkaos bertuliskan kartini itu adalah Sarah. Perempuan kaktus, begitu kaku. Sedari tadi aku menunggunya, sepertinya ia siap untuk mengeluarkan sepatah kata perlawanan padaku atau pembenaran atas keterlambatannya. Perempuan itu seolah membawaku pada sinarnya.

"Silakan berasumsi" jawabnya.

"Bukankah itu suatu penilaian"

"Penilain tak bersadar lebih tepatnya"

"Silakan duduk dulu" ujarku sembari menari sebuah kursi.

Sarah kemudian duduk.

Ia membuatku jatuh, jatuh sedalam-dalamnya. Bagaimana mungkin aku dapat melihatnya kembali. Saat pertama kali melihatnya sebagai pelangi, aku siap menjadi langit.

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang