Bab 4 Bijak

15 1 0
                                    

Hamparan langit sore hari ini begitu indah, sejenak duduk bersantai dengan Ratih. Aku menyukai tempat ini, ketika aku rindu suasana kampung. Rindu dengan Ummi dan Abi, rindu dengan pasir putih pantai, laut biru dan udara segar daerah pesisir. Aku penat dengan suasana perkotaan Makassar, jauh berbeda dengan dulu. Berkembang pesat, begitu banyak gedung pencakar langit, arus urbanisasi semakin melonjak, kebanyakan adalah pelajar yang melanjutkan pendidikan, beberapa pekerja memilih untuk bekerja di kota ini dari berbagai asal. Macet sudah sering terjadi, apalagi ketika jam kantor telah usai.

Di pinggiran pantai ini, aku menikmati sepiring pisang epe, makanan yang begitu nikmat di kala senja. Lumayan untuk mengganjal perut ketika seharian belum makan. Beberapa buah pisang kepok yang telah matang digepengkan kemudian dibakar, dibaluti siraman gula merah kental dan taburan keju diatasnya. Hidangan yang manis untuk senja di pinggiran Pantai Losari. Ratih memilih untuk memesan segelas Sarabba, semacam minuman hangat dengan campuran jahe dan gula merah. Begitu menyatu bersama langit sore kemerah-merahan.

"Bagaimana rasanya Tih?" tanyaku penasaran. "setiap kesini kau pasti selalu pesan Sarabba". Lanjutku ketika ia menyeruput minumannya.

"Enak Sar.." jawabnya. "Kau harus coba". Menyodorkan minuman itu kepadu.

Aku menggeleng

"Tidak Tih, saya tidak suka minuman berbau jahe seperti itu. Saya heran saja kenapa begitu banyak orang menyukainya"

"Karena rasanya memang nikmat Sar.." kembali menyeruput minumannya.

Aku hanya mengangguk. Meyakinkan bahwa minuman itu memang enak sekalipun aku tak menyukai bau jahe minuman tersebut. Setiap orang mempunyai selera tersendiri. Aku tak menyukai tapi bisa saja justru orang lain menyukainya. Subjektif dan relatif.

Aku terdiam, memikirkan Abi dan Ummi di rumah. Sedang apa ia, jika senja telah datang. Apakah menghabiskan waktunya untuk saling bercerita di teras rumah sembari meminum teh atau duduk menonton TV di ruang keluarga?. Batinku.

"Sar.." panggil Ratih

"Sarah.." panggilnya kembali

"Iya Tih, kenapa?

"Kau ada rencana balik minggu ini ke kampung?"

Aku tertegun. "Hah, tidak Tih". Ujarku memotong beberapa bagian pisang epe.

"Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan walaupun sebenarnya saya rindu Abi dengan Ummi".

"Sudah beberapa bulan ini kau tak pernah balik Sar, ada apa? Kau ada masalah dengan orang tuamu?"

"Tidak" jawabku singkat

"Lantas apa yang membuatmu berat hati, selama beberapa bulan ini tak pernah balik menemui orang tuamu, tak seperti biasanya" heran melihatku yang tak pernah lagi bolak balik Makassar-Bulukumba, padahal waku tempuhnya sekitar empat hingga lima jam dari kota Makassar.

"Kau tahukan Tih, tanggung jawabku disini lebih besar dibanding harus balik ke rumah hanya untuk melepas rindu". Mengarahkan pandaganku ke langit.

"Manusia itu lemah, jika tak dapat berdamai dengan rindu. Kau harus belajar mengorbankan sesuatu yang kau miliki. Bukan berarti kau tak peduli dan melupakannya karena hidup cukup berat, kau harus tetap survive. Anak mana yang tak rindu belaian kasih sayang orang tuanya setalah sekian lama bersama kemudian terpisah jarak. Saya mulai terbiasa Tih". Lanjutku.

"Tapi apakah itu tak memberatkanmu?"

Aku menatap kearah Ratih "Saya yakin Tih, jika kita melakukan suatu kebaikan maka hasilnya juga suatu kebaikan dan jika kita ikhlas itu tak akan memberatkan".

Ratih mengangguk.

"Kau lebih bisa memposisikan dirimu dengan bijak Sar, saya banyak belajar denganmu"

Aku tersenyum.

"Kita sama-sama belajar Tih"

*****

"Mau kemana fakhri?" terdengar seseorang memanggilku ketika hendak membuka pintu.

Aku menoleh.

"Mau keluar sebentar Ayah" sahutku

"Ada yang ingin Ayah bicarakan"

Aku berpikir dua kali untuk menyetujuinya. "Ada apa Ayah?" aku berjalan mendekatnya. "Fakhri ada janji sama teman di luar"

"Ini lebih penting, daripada kau menemui temanmu" ucap lelaki yang berumur sekitar lima puluh tahun itu, menyimpan koran yang dibacanya diatas meja.

Aku berjalan kearahnya kemudian duduk di sebuah sofa, tempatnya menghabiskan waktu ketika sedang bersantai.

"Sampai kapan kau mau seperti ini Fakhri?"

Belum juga aku duduk, kata-kata itu telah meluncur dari seseorang yang kupanggil dengan sebutan Ayah. "Apa maksud Ayah?" tanyaku kembali.

"Fakhri tak mengerti".

Aku duduk di sebelahnya.

Aku pura-pura tak mengerti maksud Ayah, padahal aku tahu ia akan mengungkit lagi masalah kuliahku yang belum juga beres.

"Bagaimana dengan kuliahmu dan skripsimu?"

"Baik". Singkatku

"Ayah harap dua bulan kedepan kau sudah bisa ujian"

Aku mengangguk

"Iya"

Aku tak menyukai hal-hal seperti ini, duduk berdua bersama Ayah dan membahas diriku yang belum juga sarjana. Menurutku apa yang salah ketika sebahagian orang termasuk aku memilih untuk tidak seperti mereka. Apakah kita harus mengikuti orang lain? Jalan yang dilalui bisa saja berbeda. Itu pilihan. Life is a choice

Ayah sering kali tak mengerti tentang itu. Meminta aku untuk menuruti kemauannya. Dari kecil aku selalu patuh kepadanya, namun ketika aku merasa lelah dengan berbagai tuntutannya. Aku tak mau lagi dijadikan sebagai boneka. Menjajaki bangku perkuliahan, aku merasa menemukan jati diriku. Perlahan aku punya pandangan sendiri seperti apa aku kedepannya, aku bukan lagi seorang anak kecil, bisanya disuap, patuh terhadap perintah Ayah tanpa tahu apakah itu sesuai denganku.

Aku merasa bahwa selama ini hidupku hanya sebuah tuntutan tanpa pilihan. Life is not a matter of choice but demand, sampai akhirnya aku memilih untuk mengambil jurusan sastra. Aku berhak untuk memilih dan menentukan jalanku. Setiap hari aku sering berdebat dengan Ayah untuk hal yang sama. Aku tak banyak berkata, diam dan mendengarkan perkataannya. Sesekali hanya mengiyakannya. Ia merasa lebih tahu aku di banding aku sendiri. Pengaruh umur terkadang membuat ego seseorang semakin besar, tanpa mempertimbangkan apa pun.

"Tak ada lagi yang mau dibicarakan Ayah?"

Ayah hanya diam.

Aku memahami ia berusaha memendam kemarahannya ketika kerap kali mempersoalkan ini. Aku serasa menjadi anak pembangkang, tapi aku tak bermaksud seperti itu.

Ayah berdiri. "Ayah juga pernah muda Fakhri. Kau tak usah terlalu idealis, hingga pada akhirnya kau akan terbentur dengan sendirinya. Mungkin kau mengerti maksud Ayah". Berlalu meninggalkanku.

Aku hanya terdiam tak berkutik

**** 

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang