Bab 11 Malino

16 0 0
                                    

Udara segar tempat ini kian terasa, begitu melegakan. Pepohonan rimbun, tanaman-tanaman kecil tumbuh subur. Varian bunga bermekaran. Cuaca dingin, awan berkabut. Seperti berada di daerah puncak. Orang-orang menyebut tempat ini dengan sebutan Malino. Sebuah tempat menyejukkan, berjarak sekitar sembilan puluh kilometer dari kota Makassar. Butuh waktu sekitar dua jam menempuh perjalanan. Dulu daerah ini dikenal saat zaman penjajahan Belanda. Orang-orang di sekitaran sini menyebutnya 'Lapparak' yang jika diartikan dalam bahasa Makassar berarti datar. Jika diartikan lebih lanjut, tempat ini satu-satunya daerah datar diantara gunung-gunung yang berdiri kokoh. Setidaknya Malino sebagai salah satu akses untuk menjelajahi gunung-gunung itu. Sebut saja akses yang dilalui untuk menjelajahi Gunung Bawakaraeng salah satu objek pendakian bagi para pecinta alam, atau sekadar untuk melakukan adventure bagi mereka yang menyukainya. Aku menyukai suasana di tempat ini.

Beberapa orang menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk menghilangkan penat, berlibur dengan keluarga, kerabat atau teman. Di mana dulu tempat ini dibuka sebagai tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah oleh Gubernur Jenderal Caron pada tahun 1927 yang pada saat itu memerintah di 'Celebes on Onderhorighodn' hingga sampai saat ini, tempat ini selalu ramai dikunjungi. Terlebih tempat ini menjadi favorite mahasiswa menyelenggarakan kegiatan kampus seperti musyawarah besar dan segala rangkaian kegiatan di samping kegiatan kampus lainnya.

Namun kali ini berbeda, aku berdiri diantara deretan pohon pinus yang seolah berduri. Batang pohon menjulang naik, dan jika diperhatikan pepohonan ini sangat rapi. Berharap aku bisa mengahbiskan waktu seminggu atau beberapa bulan di sini jika harus kembali ke Makassar, panas, padat dan macet. Hari ini aku menyempatkan waktu untuk kembali memungut dingin, melepas ingin diantara semilir angin. Aku bersama mereka, Cipet, Emen, Azis, Ratih, Fakhri dan teman-teman yang lain. Berlibur.

Melihat pepohonan pinus menjulang, beberapa tanaman wortel, sawi hijau, bawang, tomat dan tentunya strawberry yang masih berwarna hijau mudah nyaris tumbuh subur. Menunggu waktu untuk menuai hasil. Aku beranjak ke sebuah perkebunan teh, orang-orang menyebutnya Malino Highlands dengan luas sekitar dua ratus hektar. Aku melihat seseorang tengah berdiri di ruas jalan kecil perkebunan. Seseorang dibaluti jacket berwarna abu-abu, berdiri tegap memandang ribuan pucuk teh siap panen. Aku mendekat.

"Fakhri" Panggilku.

Ia tak sedikitpun bergeming

Dari belakang aku memukul pundaknya, kesadarannya teralih.

"Iya"

"Tidak gabung dengan anak-anak?" tanyaku

Ia terdiam memandang tegak pucuk teh di hadapannya.

Aku merasakan keanehan pada dirinya, Fakhri. Ada apa dengan dirinya? beberapa hari lalu sikapnya begitu tenang, tak banyak mengeluarkan kata. Seolah kemerdekaannya direbut, tapi entah siapa. Terlalu cepat untuk menilai, pertemanan kami baru sebentar. Tapi cukup tahu bahwa saat ini pikirannya mungkin bercabang. Celotehan pedisnya di perpus, sikap pedulinya pada anak-anak, candaanya di halte dan juga cara ia memandang hidup. Ada apa? Apa yang menghambat pikirannya saat ini. aku tak menemukan jawaban.

"Kalo begitu saya ke sana dulu".

Aku berpikir, ia membutuhkan waktu tuk sendiri. Sebelum sempat melagkahkan kaki, terdengar suara darinya.

"Mengapa kita harus hidup dalam tuntutan orang lain?"

Aku tercengang mendengar kalimat yang meluncur begitu saja.

"Karena hidup memang penuh tuntutan" Sahutku.

"Tuntutan yang mematikan rasa, tak sedikitpun memahami, seolah hidup harus memenuhi target. tak lebih dari patung berjalan yang dipaksa bergerak. Hidup ini lucu".

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang