Bab 9 Senja & Cerita

9 1 0
                                    

Langit seolah bernyawa, mengajakku bersenyawa tanpa mengawang-awang. Tak lagi menjadi awam, biarkan terbawa menyatu dengan alam karena cinta akan membawa, bukan sekadar kata yang terbawa.

*****

Getaran itu kembali hadir, ia mengusikku lagi. Kata yang tak habis untuk aku katakan, berhasil menyelinap di ruang hampa tak terusik. Aku merasakannya lagi. Ada apa? Mengapa kepada perempuan ini aku merasakannya? Tolong jangan mengusik ku lagi. Bisakah kita bersepakat untuk tidak saling menyambut lagi. Biarkanlah terpenjara dan tak ingin menyambutmu lagi pada siapa pun itu, biarkan aku merdeka dari getaran membuatku jatuh, sehingga lurus itu sebuah perjalanan sampai ia berhenti pada titik. Aku kalah tak dapat melawan. Akan kubiarkan ia kembali mengusikku, menggerogoti, atau mungkin membunuhku. Afeksi.

Aku teralih, tetiba perempuan di belakang menepuk pundakku. Jari-jari panjang dan halusnya menunjuk sebuah rumah tepat di sudut kiri. Aku menoleh.

"Tempatnya disana". Ujarnya

Aku berhenti tepat disebuah rumah yang tak begitu luas. Di sebelahnya terdapat tanah lapang dipenuhi rerumputan liar. Cukup membuat mataku terganggu. Beberapa tumbuhan merambak ke pagar rumah, terkesan tak terawat. Sarah mengajakku masuk, melihat lebih dekat tempat itu. Suasananya berbeda dari apa yang aku pikirkan sebelumnya. Berjumpa dengan beberapa orang di teras rumah, tak seorangpun kukenali. Mereka menyambutku dengan hangat.

"Silakan masuk". Ujar seorang lelaki barambut ikal, tengah duduk menikmati secangkir kopi

Aku tersenyum.

"Temanmu Sar? Ajak gabung disini sama kita" tanya seseorang lainnya, tengah duduk di sebuah kursi panjang sambil memainkan ponselnya.

"Iya Cep, kenalan dulu lah.."

Sarah melirik kepadaku, tanpa pikir panjang aku bersalaman dengan mereka.

"Fakhri" ujarku.

Aku berkenalan dengan mereka, namanya sangat mudah tuk dihapal. Seseorang berambut ikal namaya Emen, satunya lagi namanya Ucep, dan disebelahnya Ucep ada Aziz. Mereka begitu asyik juga santai. Mataku melirik ke dalam, beberapa anak saling bercerita dan bermain pancasila lima dasar. Permaianan yang sekarang sangat jarang dimainkan oleh anak-anak pada umumnya. Apalagi di kota ini, kini telah tersentuh oleh berbagai hiburan teknologi canggih, game online , situs-situs jejaring sosial, menghipnotis untuk hidup dalam dunia maya. Melihatnya, membuatku teringat masa kecilku. Masa dimana kutahu hanya ada kelereng, congklang, dan permainan bola.

. "Ayo masuk.."

Kami berdua menghampiri mereka, tampak raut wajah kebingungan ketika melihatku bersama Sarah. Mereka menatapku, memerhatikan setiap hal melekat padaku. Celana jeans biru pada bagian bawahnya digulung setinggi tumit, kaos oblong ditutupi jaket berwarna hitam, juga rambutku diikat dengan rapi. Aku pikir mereka tak akan mengganggapku sebagai preman. Semoga.

Sarah mendekat bersama mereka. "Selamat sore dek, bagaimana kabarnya?" Ujarnya menampilkan senyuman manis, walau tak semanis gula.

"Baik kak.." Sahut mereka bersamaan.

Seorang anak menyahut. "Kak Sarah, yang disebelah kakak itu siapa?". Ujarnya melirik ke arahku.

"Pacarnya Kak Sarah yah" sambar anak lainnya.

Sarah kembali tersenyum. "Masih kecil kok tahu namanya pacaran. Ini teman kakak, teman kuliah. Namanya Kak Fakhri, salaman dulu sama kak Fakhri ".

Aku menyalami mereka, menatap wajahnya hingga mampu membedakannya satu per satu, walaupun belum dapat menghapal keseluruhan namanya. Mereka tampaknya bahagia ketika bertemu dengan Sarah. Menggnggapnya sebagai teladan untuk mereka. Ada semangat disetiap senyum yang ditorehkan. Aku menyukai suasana ini. Tak ada sepi, ketika aku banyak memilih untuk sendiri, atau memilih keramaian sebagai pelarian untuk tidak merayakan kesendirian. Itu lebih baik, kataku.

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang