Bab 7 Nasi Biru

8 2 2
                                    

"Tih, kau balik duluan saja ke pondok". Ujarku ketika hendak mengambil tas. "Sepulang dari sini saya mau singgah dulu beli makanan, kau belum makan kan? "

Ratih mengangguk."Biar kutemani kau Sar, ini sudah jam sebelas lewat loh"

"Tak usah Tih, tidak apa-apa. Belinya juga cuman didepan gerbang dekat pintu masuk perumahan".

"Nanti ada apa-apa Sar, apalagi kau sendiri. Daerah sini sudah rawan begal"

"Kau ini Tih kayak tidak tahu saya saja, belum terlalu larut juga. Okay."

Ratih hanya diam, pertanda ia setuju denganku.

"Ohh iya Tih, kayaknya kau tadi juga lupa bilas pakaianmu. Sebelum kesini tadi saya mampir ke pondok, saya lihat ada pakaian yang direndam".

Ratih Mengingat-ingat pakaian yang direndamnya siang tadi sebelum kesini.

"Oww Astaga Sar, saya memang merendam pakaian".

Aku hanya tersenyum. "Kebiasaan kau Tih, pasti airnya tiba-tiba mati lagi kan"

Ratih tersenyum malu.

Aku kemudian menyalakan mesin motor, bergegas meninggalkan Rumah Baca."Kalo begitu saya duluan yah Tih, Aziz, Ucep" berpamitan dengan mereka.

Sementara Ratih juga bergegas meninggalkan Aziz dan Ucep yang tengah duduk di halaman depan, menikmati secangkir kopi hitam khas Toraja. Setidaknya mereka berdualah penghuni tetap Rumah Baca. Ketika anak-anak yang lain selepas isya sudah balik ke rumahnya masing-masing.

*****

Malam yang menyejukan, udara malam kota semakin terasa. jalan tak begitu sepi masih ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Setidaknya di kompleks perumahan ini tak sesunyi kompleks perumahan pada umumnya. Sudah banyak toko dan beberapa warung makan yang buka hingga tengah malam, bahkan 24 jam, ini menjadi efektif ketika perut tak lagi bisa berkompromi seperti perutku sekarang, sedari tadi bernyanyi menyuarakan lapar. Aku menghentikan laju motor, berhenti di dekat mobil yang terparkir di pinggiran jalan. Sebuah mobil berwarna putih dengan bagian bagasi dibuka. Ada beberapa deretan kursi disampingnya dihiasi beberapa lampu putih. Di bagian belakangnya tampak spanduk bertuliskan Nasi Biru. Nasi yang banyak diminati oleh orang-orang di kompleks sini karena memiliki rasa berbeda dari nasi biasanya. Kesan warna birunya menarik perhatian, warna biru pada nasi berasal dari ekstrak bunga Telang yang dipadukan dengan ayam goreng, perkedel kentang, tempek orek juga sambal menjadikan ciri khas dari nasi ini, apalagi hanya dapat dinikmati ketika malam hari.

Aku segera duduk."Pak nasi birunya dua, satunya dibungkus yah Pak" ujarku ketika mengambil segelas air putih.

Aku melihat hanya ada dua pengunjung selainku, sepertinya sepasang kekasih yang tengah menikmati makan malamnya, melahap sepiring nasi biru diiringi dengan candaan. Sesekali memukul pundak sang lelaki karena menggodanya.

"Wah romantis era dua ribuan, ternyata tidak jauh berbeda dengan era delapan puluan" batinku.

Sebuah motor berhenti di hadapanku, tepatnya di pinggiran jalan. Turun dan memesan sepiring nasi biru juga.

"Pak nasinya satu, makan disini" seseorang itu duduk di hadapanku. Ia melihatku. "Makan disini juga yahh". Sapanya.

Aku mengangkat alis, heran melihatnya dan menjawab "Iya"

Pesananku akhirnya datang dan melahap sesendok nasi biru, sementara ia menatapku begitu aneh.

"Kenapa?" tanyaku ketika ia memerhatikanku makan.

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang