Bab 18 Putih

8 0 0
                                    

Selepas sholat dzuhur, Ratih mengantarku ke salah satu perumahan elit yang ada di kota ini. Desain dan tata kelola perumahannya sangat asri dan luas. Semuanya terlihat tertata dengan rapi. Untunglah rumah Fakhri berada pada bagian depan dan dekat dengan pintu gerbang perumahan. Ratih memerhatikan bangunan yang berada di depannya. Corak dan warna pada bangunan mewah itu terkesan klasik dengan perpaduan warna coklat dan cream serta halaman rumah yang hijau.

"Kau tidak salah rumah kan Sar?"

"Tidak" jawabku singkat.

Ratih hampir tak percaya. "Fakhri sekaya itu ternyata". Ia menyalakan mesin motornya. "Kalau begitu saya duluan Sar. Semoga kau baik-baik saja sama abang Fakhri"

Aku menghela nafas. "Ratih, bicara apa kau ini". Ujarku mengambil kunci pondok pada bagian dasbor motor. "Kau hati-hati nah Tih". Sambungku.

Ratih berlalu. Berharap penghuni rumah mendengar suara bel yang berbunyi. Seseorang keluar. Ia mempersilakan aku masuk.

Aku berbincang cukup lama dengan Ayah Fakhri, raut wajahnya terlihat bersemangat setelah menenguk segelas air. Sepertinya ia tidak lupa denganku. Senyumannya membawa energi yang pas untuk siang ini. Hangat. Aku seolah merasakan kehangatan seorang Ayah saat berbincang dengan Om Rahman. Ia menyuruhku untuk mencicipi kue barongko, kue tradisional yang sangat nikmat. Saat mencicipinya Om Ridwan tidak dapat menahan tawa, ia melemparkan candaan manis saat pertama kali aku ke sini dan bercerita kalau Ummi sering buat kue seperti ini. Om Rahman meminta aku untuk menunggu Fakhri. Mandi di siang hari sudah menjadi kebiasaan Fakhri saat ia tidak memiliki keperluan untuk keluar rumah. Aku mengiyakan semua hal yang disampaikan Om Rahman. Sesekali membalasnya dengan ungkapan "wajar, anak laki-laki Om". Om Rahman kembali tersenyum dan menimpalinya dengan candaan kalau ia berbeda dengan anak tunggalnya saat masih muda dulu.

Seseorang tetiba muncul. "Lagi bahas apa, seru sekali saya lihat". Ujar Fakhri, mengerikan rambutnya dengan handuk.

"Lagi bahas kau yang malas mandi katanya" jawabku.

"Siapa yang bilang?" Tanya Fakhri.

Aku melirik ke arah Om Rahman yang seketika itu berdiri dari tempat duduknya dengan senyum tipisnya. Beliau meninggalkan kami berdua di teras rumah. Fakhri kemudian duduk.

Aku mengawali percakapan dengan meminta maaf terlebih dahulu kepada Fakhri. Setidaknya mengucapkan permintaan maaf adalah tanda bahwa kita mengakui kesalahan. Fakhri tak mengeluarkan sedikit kata pun setelah mendengar penjelasan dan permohonan maaf dariku. Ia masih terdiam. Tak ada yang luput dari kesalahan. Aku berusaha membahasakannya dengan sangat halus, berharap Fakhri dapat memahaminya. Fakhri seketika melihat ke arahku, bola matanya menyelam begitu dalam namun dengan cepat teralih ketika aku menatapnya.

"Kau tahu Sar, terkadang permintaan maaf begitu memuakkan di telinga" Ujar Fakhri tenang. "Kau mau tahu kenapa?" lanjutnya.

"Saya minta maaf Fakhri" Jawabku.

"Sebagian dari mereka yang meminta maaf kepada orang lain hanya menganggap perlu mengucapkanya karena didasarkan pada perasaan 'tidak enak' terhadap orang tersebut, ketakutannya terhadap hubungannya dengan orang itu tidak harmonis, ketakutan akan dibenci, ketakutan akan merasa terasingkan. Wajar saja, jika kemudian ada seseorang yang tetap mengulang kesalahan yang sama dan mengganggap mengucapkan permintaan maaf sudah cukup. Terkadang kita lupa Sar, makna dibalik kita mengucapkan maaf. Bukan didasarkan pada perasaan seperti itu, tetapi pada diri sendiri yang lapang mengakuinya dan berusaha untuk tidak mengulangnya".

Aku menunduk, berusaha memahami.

"Saya bilang begini bukan karena saya marah. saya ingin kau paham, agar nantinya kau tidak melakukan kesalahan yang sama".

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang