Bab 12 Bahagia

5 1 0
                                        

Aku memilih untuk mengitari halaman Villa, udara pagi sangat menyejukkan. Tetesan embun memenuhi tempat duduk yang berada di halaman. Agak pelan, aku pun menuruni tangga sekitar empat hingga lima anak tangga. Sepertinya Villa ini memiliki kontur tanah sedikit miring. Dari atas, aku dapat melihat orang-orang berlalu lalang setiap saat. Tepat di hadapan, aku melihat beberapa orang berjalan memegang sesuatu di tangannya, sekantong barang yang berisi sayuran. Selebihnya beberapa pengendara motor menaruh karungan besar di belakangnya dan beberpa mobil pengangkut sayur lengkap dengan beberapa tumpukan karung berisi sayuran. Tempat ini seolah surga bagi tanaman-tanaman untuk tumbuh subur.

Setelah lelah mengitari halaman, aku pun duduk di sebuah gazebo. Tak begitu luas, namun dapat melihat segala sesuatunya dengan jelas. Persis sama dengan makna Gazebo itu sendiri, gase yang artinya memandang, dan ebo yang berarti keluar. Sehingga maknanya menjadi tempat untuk memandang keluar. Ini menjadi pas, ketika berbicara isi kepala. Pikiran-pikiran acap kali terkungkung pada hal-hal dianggap biasa hingga sulit lagi menemukan makna sejatinya. Memandang keluar, bukan karena mata dapat melihat sesuatu itu dengan jelas, menangkap berbagai bentuk, menilainya indah atau pun tidak. Bukan pula telinga yang dapat membedakan suara merdu. Atau hidung yang dapat menangkap setiap aroma. Lebih dari panca indra. Ketika akal dan hati dapat memaknainya lebih dalam lagi. Bukan karena ia memiliki mata, telinga, hidung dan sebagainya, lantas telah mampu memandang keluar. Bagaimana dengan orang-orang yang tak dapat melihat, apakah mereka tak dapat memandang keluar? Bagaimana dengan berjuta orang yang dapat melihat tetapi hatinya tetap tertutup? Setiap pertanyaan menderaku, pertanyaan yang tak akan habis hingga belajar menemukan. Menemukan pandangan baru barang kali. Tampaknya aku telah jauh melangkah pagi ini, karena kaki tak selamanya berjalan mengitari halaman, ia butuh tempat untuk memandang. Tepat di gazebo ini, aku menikmatinya.

"Sar.."

"Bisa temani saya jemput teman, katanya ke sasar"

Aku melirik. "Bisa, tapi saya ambil sendal dulu"

Fakhri meletakkan sepasang sendal tepat di hadapanku. "Sendal yang sepasang". Lanjutnya sembari tersenyum geli.

Aku tersenyum kecut kepadanya. Sepertinya ia tengah meledek persoalan sendal semalam. Kekonyolan apa yang menghampiriku sepagi ini.

Kami berdua pun berangkat.

****

"Sudah lama?"

"Lumayan Fakhr, padahal ngikutin lokasi yang kamu kirim tapi ternayata titik lokasinya beda". Jawab perempuan berambut lurus dengan jenjang kaki yang tinggi bak seperti model.

Ia melirik ke arah ku, seolah ia memerhatikan dari ujung kaki hingga kepala. Aku mengenali perempuan di hadapadanku. Perempuan yang terlihat bersama Fakhri saat di Perpustakaan. Ia bernama Laras. Laras melihat ke arah Fakhri.

"Ini Sarah Ras" Ujar Fakhri

Aku menjulurkan tangan kepada Laras sembari tersenyum.

"Sarah"

"Laras" Jawabnya.

Tampaknya Laras begitu dekat dengan Fakhri, keakraban itu dapat terlihat dari cara Laras memandang Fakhri. Mata indah, kulit cerah dengan rambut yang diikat rapi kian mencuri pandang pada pemilik sorot mata tajam. Aku seakan terasing diantara mereka.

Sesekali ia saling menertawakan, aku bahkan tak mengerti sama sekali apa yang membuat mereka berdua tertawa lepas. Kalimat berulang ketika di Jogja seringkali diucapkan Laras. Setidaknya itu menjadi bahan perbincangan mereka ketika perjalanan kembali ke Villa.

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang