Bab 2 Malam

25 2 0
                                    

Malam sejatinya untuk beristirahat, memilih tidur adalah pilihan beberapa orang setelah lelahnya menyelusuri hari dan sekarang pukul 00.12, tapi mataku belum juga terpejam, ia masih tetap setia melihat beberapa huruf dan kata. Tak bosannya membolak-balikan halaman demi halaman. Kebiasaan yang tak pernah absen kulakukan setiap malamnya, lebih tepatnya tengah malam. Aku banyak menghabiskan malam dengan huruf dan kata.

Aku teringat kata seorang teman yang sekarang tengah melanjutkan pendidikannya di Yogya. Untuk pertama kalinya ia mengucapkan "Tak ada teman yang lebih setia daripada pengetahuan" ia mengucapkannya kepadaku ketika hendak mengantarnya ke Bandara. Sebelumnya aku tak mengerti apa maksud perkataannya, lambat-laun pun akhirnya aku memaknai perkataannya. Ia bermaksud mengatakan bahwa seorang teman bukanlah yang paling setia karena bisa saja ia meninggalkanmu, seperti aku yang tak lagi bisa bersamamu saat ini kawan dan yang paling setia adalah pengetahuanmu. Ia tidak terpisah dengan dirimu, dimanapun kau tetap bersamanya. Aku tak menyangka ia bisa sepuitis itu mengucapkannya kepadaku.

"Arghhhh aku rindu sosoknya" batinku.

Malam yang selalu kulewatkan begitu saja, seperti lembaran halaman buku berganti. Aku hendak menutupnya dan melanjutkannya besok, tetapi membuatku candu dan tak rela menduakannya dengan mimpi. Sebait kata yang kubaca pada bagian atasnya bahwa - Hari ini Untuk Selamanya-.

"Saat aku lelah menulis dan membaca, diatas buku kuletakkan kepala, dan saat pipiku menyentuh sampulnya hatiku tersengat, kewajibanku masih berjebah, bagaimana mungkin aku bisa beristirahat".

Membacanya membuat mataku tak dapat terpenjam, tanggung jawab sebagai seorang terpelajar harus kuemban menyuarakan kepada siapa pun yang mengaku terpelajar dan terdidik seperti ungkapan seorang tokoh dunia "Wahai kaum muda, jika kamu tidak mampu menghadapi susahnya belajar, kelak kau akan menyesal menanggung betapa beratnya kebodohan". Sungguh membuatku terhanyut, aku tak dapat membayangkan jika mereka yang mengaku terpelajar menyerah untuk belajar. Bagaimana nasib negeri ini? Hal ini kerap kali tak mengizinkanku untuk merebahkan tubuh, menyandarkan kepala pada bantal dan segera menutup mata.

Sunyi, tak ada suara. Hanya ada aku dan seseorang yang tengah terlelap disebelahku, diatas kasur merah jambu dengan dinding kamar biru langit dipenuhi beberapa lemari dan rak buku. Di sudut kanan terdapat satu buah televisi yang terpasang, disebelahnya sebuah lemari pakaian versi anak kos. Diatasnya ada beberapa miniatur kecil berupa becak, monas dan lainnya. Kesemuanya merupakan barang pemberian teman. Kamar yang tak begitu luas untuk dihuni oleh dua orang. Di sisi kirinya terdapat sebuah mading, aku menyebutnya dengan "Madpin" sebuah mading Impian. Di dalamnnya berisi berbagai target yang hedak kucapai selama setahun ini. Aku menyukai kamar ini, walaupun tak seelit kamar kos lainnya.

"Sarah, kenapa belum tidur?" ujar Ratih terbangun dengan suara alarm berada disebelahku. "Jangan biasakan begadangnya Sar, sekarang sudah subuh".

Aku tetap mengarahkan pandanganku pada tulisan yang tengah kubaca. "lagi baca, tidurnya bisa nanti" sembari membuka halaman berikutnya. "entah kenapa saya lebih terbiasa seperti ini Tih".

"Tapi setidaknya dikurangin lah Sar.."

Aku hanya mengangguk.

"Iya Tih, mendingan mandi terus siap-siap shalat subuh" Ujarku, mengalihkan perbincangan merupakan salah satu cara agar Ratih tak mempermasalahkan tidurku, ia lebih perhatian kepadaku apalagi melihatku setiap malam bergelut dengan bacaan dan laptop.

Menjelang pagi, aku tetap tak berdamai dengan kantuk. Suara adzan subuh menjadi suara penyemangatku. Bagaimana tidak setiap lafadznya begitu bermakna, setiap lantunannya begitu menyejukkan. Lebih indah dari pada seseorang yang membacakan puisi kepada kekasihnya, karena sesuatu lebih indah dari itu ketika seorang pecinta dengan sungguh merindukan Sang kekasihNya.

*****

"Aku menyukai kopi lebih dari senyummu,

Aku tak tergoda, kopi lebih menenangkanku.

Aku terpikat hanya kepadaNya,

Aku memilih mencinta hanya denganNya

melaluiNya aku mengenal kopi dan kau".

Malam di antara hiruk pikuk perkotaan, aku memilih bersemayam di tengahnya. Menikmati setiap melodi klasik, lampion kuning yang tergantung di setiap sudutnya. Meja panjang tersusun rapi, interior dengan gaya modern memberikan nuansa hangat. Aku sering menulusuri malam di tempat ini, ketika terlalu penat dengan ruang-ruang kepentingan. Semuanya jadi serba otomatis. Terlalu banyak sandiwara lakon-lakon hebat, membohongi hati nurani untuk tetap makan, merasa bisa hingga tak mau menerima kritik. Betapa tidak, dianggap ada hanyalah yang berkuasa.

Secangkir kopi pesananku datang, rasanya agak berbeda sedikit pahit. Mungkin kopi memahami, penikmatnya tak lagi ingin berteman dengan rasa. Ia sedang bermanja dengan realitas. Aku meneguknya perlahan, tiga teguk untuk permulaan. Menikmati kopi bersama Doni, Arya dan Dimas membuka perbincangan kami malam ini.

"Ada yang tahu dengan perempuan ini? Akhir-akhir ini dia jadi perbincangan di angkatan tua" Ujar Doni, memperlihatkan foto seorang perempuan dengan bola mata berwarna coklat, mengenakan jilbab polos berwarna abu-abu.

Dimas melirik. "Ini Sarah, junior dua tahun di bawah kita". Ujarnya ketika hendak meneguk kopinya. "Orangnya cerdas. Jarang ada perempuan seperti dia". Lanjutnya.

"Kalo Sarah, saya kenal malah pernah diskusi dengan dia juga" Ujar Arya

"Kok saya tidak tahu yah" Ujar Doni cengengesan. "Bukannya, perempuan ini yang kita lihat pas diskusi buku beberapa minggu lalu Fakhri? Lanjutnya.

Aku terdiam.

"Dia perempuan, dia pelangi". Ujarku tanpa sengaja, tak bermaksud untuk mengeluarkan kata-kata itu, aku hanya mendengar suara hatiku ketika ia hadir.

Arya, Dimas dan Doni heran mendengar jawabanku.

"Maksudnya?" Ujar Arya. "Tolonglah Fakhr, pertanyaan Doni tak usah dijawab sepuitis itu juga" lanjutnya sambil tersenyum.

"Yahh begitulah. keseringan minum kopi, keseringan menulis syair. Lupa kalo tinggal di bumi" tambah Dimas.

"Yang di ingat cuma pelangi" tutur Doni di iringi gelak tawa.

"Sorry, arah pembahasan kalian sebenarnya apa? Kenapa malah bahas si.. siapa lagi namanya?" ujarku

"Sarah maksudnya?"

"Yah itu". singkatku

"Kenapa ketika kita pada bahas perempuan. Pembawaanmu selalu dingin?" Ujar Doni heran

"Sedingin es batu begitu" timpal Arya.

"Perempuan itu menurutku sosok yang ditinggikan, sangat dihargai dan saya tak ingin berpanjang lebar membahas itu. Intinya kita berdeda dalam menghargai sosok perempuan". Ujarku.

"Kalimat itu lagi" Keluh Doni

"Sudahlah temanmu yang satu itu selalu memiliki persfektif berbeda, pahamilah" tambah Arya.

"Yah setidaknya secangkir kopi ini menyatukan kita malam ini" Ujarku tersenyum simpul.

Kami melewati malam hingga adzan subuh berkumandan, menyempatkan waktu untuk menghadap kepadaNya, bercerita tentang hari ini dan memuji setiap namaNya, karena fitrah manusia itu untuk memuji, meluhurkan, dan memuliakan Dia.

*****

Afeksi KaktusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang