Perkenalkan namaku Teresa, cukup hanya nama panggilan saja karena aku tidak menyukai nama lengkapku yang dimana akhir namaku ada marga ayahku.
Aku adalah mahasiswi tingkat akhir dan aku benar - benar bekerja keras untuk menyelesaikan pendidikanku ini.
Bisa berkuliah dengan jurusan pilihanku adalah sebuah keajaiban yang bahkan tak berani aku harapkan, tapi Tuhan selalu memberikan jalan bagi hambaNya yang selalu berusaha dan pantang menyerah sehingga kini aku sudah hampir 4 tahun melanjutkan pendidikanku di kampus ini.
Aku tinggal di kosan dekat kampus dengan fasilitas yang awalnya kurang memadai namun seiring berjalannya waktu tempat itu aku ubah menjadi tempat yang nyaman untukku berpulang setelah berkecimpung dalam materi - materi yang entah kenapa semakin sulit.
Aku sudah terbiasa hidup mandiri sejak tamat SMP. Ibuku bercerai dengan ayahku tanpa aku tau sebab jelasnya dan hal yang justru membuatku sedih adalah tak satupun dari mereka yang berniat mengasuhku, membiarkanku terombang - ambing dalam peliknya kehidupan.
Saat itu aku benar - benar sedih, menangis hampir setiap malam. Anak - anak seusiaku belajar, bermain, dan berpergian sedangkan aku bekerja part time untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa bulan setelah itu aku menjadi seseorang yang penuh tekad dan ambisius. Aku belajar dengan giat agar bisa mendapatkan beasiswa full di kampus impianku.
Aku ingin sukses dan membuktikan pada mereka bahwa aku bukanlah beban untuk mereka, aku bisa berdiri sendiri dan aku bisa membiayai hidupku.
Sedih itu telah berubah menjadi percikan benci dan aku tau bahwa hal itu tidak seharusnya tumbuh di hatiku namun entahlah hatiku kian membusuk setiap hari jika mengingat perbuatan mereka.
"Boleh duduk disini?"
Suara itu membuyarkan lamuanku, aku mendongak sedikit hanya untuk melihat siapa gerangan yang ingin duduk bersamaku.
Ah! Aku sangat tau siapa orang ini. Siapa tidak kenal dengan Damara? Mantan ketua BEM yang memiliki kharisma dan pesona yang sulit ditolak.
Aku melirik sekitar, ternyata semua meja penuh. Pantas saja orang ini ingin duduk di depanku, hanya ini meja yang masih menyisakan kursi kosong.
"Boleh." Sahutku.
Dia mengucapkan terima kasih kemudian duduk dengan santai di depanku.
Aku memandang setiap gerak - gerik yang ia lakukan.
Apakah dia tidak canggung duduk berdua dengan orang asing?
Aku menggelengkan kepalaku pelan, untuk apa aku memikirkan hal yang tidak penting?
Aku kembali melanjutkan membaca novel yang memang baru 2 hari yang lalu aku beli di toko buku dekat kampus.
"Aku pernah baca novel itu." Celetukan itu mengalihkan atensiku.
Aku menaikkan sebelah alisku, bingung.
"Novel yang kamu baca, aku udah pernah baca."
Aku mengangguk.
Ia mendesah pelan. Apa masalahnya? Apa dia berharap aku akan membalas dengan antusias hanya karena kita membaca novel sama yang memang menjadi best seller?
"Mau aku spoiler endingnya?"
Aku sontak menggeleng.
"Ehhh enggak usah!" Kataku sedikit keras.
Enak saja dia mau spoiler bagian ending, kalau begitu novel ini tidak menarik lagi dong kalau aku baca karena sudah tau akan berakhir seperti apa.