1. Si Rambut Oren

95 17 3
                                    

"Kok gue baru tau sih, kalo punya tetangga yang bening begitu? Hmm, pepet tidak ya?"

-Juniarka Wahyudi-

⊹ ────── •°⋆°• ────── ⊹


"Oh, jadi dia anak tetangga sebelah yang pindah ke sini taun kemaren? Pantesan gapernah liat," kata Jun sambil mengunyah keripik kentang.

"Iya, kenapa sih kamu nanya-nanya terus?" tanya mamanya agak kesal.

"Malu bertanya sesat di jalan, Ma." Jun malah menasehati mamanya.

"Bilang aja kepo," ucapnya galak.

"Ehehe." Jun tertawa garing.

"Awas aja kalau kamu naksir sama dia," ancam mamanya sambil melotot.

"Emang kenapa gitu?"

"Pokoknya jangan," ucap wanita itu penuh penekanan. Kemudian melengos pergi meninggalkan putranya di ruang televisi.



'Semakin dilarang, semakin penasaran,' batinnya.



Jun akhirnya membulatkan tekad buat ngedeketin si tetangga. Daripada tiap hari kerjaannya hape terus, mending dia cari kegiatan baru. Ye gak?

Tapi mulai besok deh, soalnya hari ini dia mau bikin stiker Whatsapp.

+++

Keesokan harinya, Sana kembali merasa gabut. Jujur saja dia rindu sekolah. Bukan rindu pelajarannya ya, apalagi gurunya, melainkan rindu pada teman-temannya. Tapi sebenarnya sih, dia lebih rindu main ke mall.

Ia terus men-scroll Instagram pribadinya, hingga dia mendapatkan ide untuk melakukan sesuatu di sore yang indah ini.

Yap, posting foto baru.

Tapi sebelum itu, Sana memutuskan untuk mandi dulu. Biar enak dipandang.

Setelah selesai memoleskan make up tipis, ia menata rambutnya dan mencari spot bagus untuk berfoto.

Awalnya ia akan berfoto di dinding kamarnya, namun rasanya akan terlalu biasa. Akhirnya ia berjalan keluar kamar dan membuka pintu balkon di lantai dua rumahnya.

Pas sekali ada cahaya ilahi. Ia mengambil posisi duduk di kursi empuk dan mulai mengambil foto dirinya menggunakan handphone merek apel kegigit.

Jun yang tak sengaja melihat pemandangan gadis yang tengah asyik berpose itu pun tertawa dalam hati.

'Emang ya, jodoh gaakan kemana.'

Masalahnya, Jun ragu untuk menyapa duluan. Bukan karena malu, tapi gengsi.

Lelaki itu memutuskan untuk ikut duduk di balkon rumahnya, sesekali ia melirik perempuan dari balik tembok sebatas pinggang.

Satu ide receh muncul di kepala Jun.

Ia membuka Youtube, menaikkan volume, kemudian memutar salah satu video yang sedang trending.








Keke bukan boneka boneka boneka
Keke bukan boneka boneka boneka








Sana refleks menolehkan kepalanya pada sumber suara, matanya menangkap seonggok manusia yang sedang memegang ponsel sambil menahan tawa.

Sadar sedang diperhatikan, Jun buru-buru menghentikan video itu dan berdiri sambil tersenyum canggung.

"Eh, sorry-sorry. Gue ganggu ya?" tanya Jun sok polos, padahal emang sengaja.

"Lo anaknya Bu Indah, kan?" tebak Sana, sambil ikut berdiri.

"Iya, tapi gue juga punya nama kali." jawab Jun dari balkon rumahnya yang hanya berjarak satu langkah dari balkon rumah Sana.

"Terserah, gue ingetnya lo ANAK BU INDAH." Sana mengeraskan suaranya di akhir kalimat, berjalan mendekati Jun sambil berkacang pinggang. Siap diajak ribut.

Pokoknya Sana masih kesal pada kejadian yang menimpanya kemarin.

"Kenalin nih, Juniarka. Anak Mama Indah yang paling ganteng sekomplek." Lelaki itu memperkenalkan dirinya dengan penuh percaya diri sambil menyodorkan tangan.

"Sanadia Maharani. Gamau salaman karena takut Corona," ujarnya terkesan sombong.

Jun segera menarik kembali tangannya yang mengambang di udara.

"Lo suka sama Kekeyi ya?" ledek Sana.

"Nggak, gue sukanya sama lo."













"H-hah? Gimana?" Sana mengeryit bingung.

"Bercanda kali, mukanya biasa aja dong, gausah kaget gitu." Jun terkekeh.











'tetangga laknat emang.' -Sanadia 2020.





"Huh, emak sama anaknya sama-sama rese." celetuk Sana.

"Ahaha, gue selaku anaknya Mama Indah minta maap deh soal yang kemaren," ucap Jun sambil tersenyum.

"Enak aja, sakiiiit hati Sana." Perempuan itu memegang dadanya dengan ekspresi sakit yang dibuat-buat.

"Yaudah, sini gue sembuhin." Jun malah nyepik.

"Emang bisa?"

"Bisa lah,"

"Bisa apa?"

"Bisa gila."

"Ih!" Sana kembali ke tempat duduknya dengan cemberut, membuat Jun kembali terkekeh.

"Sini gue aja yang potoin, gratis kok," tawar si lelaki.

"Emang bisa?"

"Jangan bikin gue ngulang percakapan yang tadi loh."

"Oke, tapi kalo dari situ terlalu jauh," ucap Sana menunjuk tempat Jun berdiri.

Dalam sekali gerakan, pemuda itu melompat ke balkon rumah Sana. Membuat si perempuan membelalakan matanya kaget.

"Mana hape lo?" tanya Jun sesampainya di balkon Sana.

"Heh! Kalo jatoh gimana?!" teriak Sana histeris.

"Ya sakit lah," jawab Jun seadanya.

"Nih, yang bener potoinnya!" Sana menyodorkan ponselnya.

"Iya bawel lu,"

Jun mulai memotret Sana dari berbagai angle. Sesekali ia menunjukkan hasil tangkapan gambarnya pada Sana.

Beberapa kali lelaki itu menahan senyumnya agar tidak mengembang saat memotret si perempuan. Bagaimana tidak, perempuan itu selalu terlihat cantik walau dari berbagai sudut yang berbeda.

Kulit putih, senyum manis, ditambah rambut oranye panjang yang mengkilat terkena cahaya matahari yang tak terlalu terang itu, membuat Jun harus senantiasa mengingat nama Tuhannya dalam hati.


"Bagusan pake hape gue, San." Jun memberi saran.

"Masa? Hape Sana lebih mahal tau,"

"Nih ya cobain."

Jun memotret perempuan itu menggunakan ponselnya kemudian memperlihatkan hasilnya pada Sana.

"Wah, efeknya jahat ini mah." Sana mengamati fotonya dengan teliti. "Tapi bagus ih, Sananya jadi cantik." Gadis itu tersenyum ceria pada Jun.

"Tuhkan, gue bilang juga apa."

"Coba fotoin Sana lagi candid," titahnya.

Jun menghabiskan waktu hampir setengah jam hanya untuk mengambil foto-foto gadis itu. Beginilah cowok kalau lagi naksir seseorang.


Setelah dirasa cukup, Jun yang kelelahan ikut duduk di sebelah Sana. Membuat si cewek agak kaget sepersekian detik.

"Kirimin dong fotonya," pinta Sana pada lelaki itu.

"Boleh, bagi nomer lo."







🏠Cecan Rumah Sebelah🏠

Cecan Rumah SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang