8. Ketemu Ayahnya Sana

50 13 3
                                    

"Lagian kita cuma tetangga, kan?"

-Sanadia Maharani-

⊹ ────── •°⋆°• ────── ⊹


Jun dan Sana fokus menatap jalanan di depan mereka. Keduanya bersiap mengayuh pedal sepeda mereka masing-masing.

Sepeda Jun berwarna hitam, sedangkan sepedanya Sana berwarna pink.

Kalau disatuin jadi BLACKPINK.

Jun kemudian mulai memberi aba-aba.

"1!"
.
.
.

"2!"
.
.
.

"3!"
.
.
.

"2!"

Sana yang hendak maju di hitungan ke-3, lantas tidak jadi. Ia kembali memundurkan sepedanya. Perempuan itu kesal dan menjitak kepala Jun yang cengengesan.

"Yang bener dong kalo ngitung!" teriak Sana dari balik maskernya.

"Iya-iya." Jun mulai menampilkan wajah serius sambil menatap ke depan.

"3."

"2."

"1."

"GO!!!"

Dengan sekuat tenaga, Sana mengayuh sepedanya menyusuri komplek. Pokoknya ia harus menang supaya ditraktir Jun.

Posisi Jun masih ada di sebelah Sana, mengayuh sepedanya dengan santai. Sesekali Jun melirik si perempuan yang kelihatannya sedang mengeluarkan seluruh tenaganya itu, kemudian Jun tersenyum simpul.

"Ih, celana trainingnya ganggu!" Sana menyingkapkan celananya ke atas agar tak menyentuh rantai sepeda, tentu saja masih sambil mengayuh sepedanya heboh, tak mau kalah.

Faktanya, mereka janjian pake celana olah raga. Lagi.

Sana mempercepat laju sepeda saat matanya menangkap kedai es krim yang tinggal beberapa meter lagi di depan.

Akhirnya, Sana memenangkan lomba balap sepeda ini.








'Gapapa Jun, yang penting dia seneng.' -Juniarka si soft boy.








Sesuai kesepakatan, Jun harus mentraktir Sana es krim.

Sana buru-buru memarkirkan sepedanya dan masuk ke toko dengan riang, diikuti oleh Jun.

Setelah memesan banyak es krim, mereka berdua duduk di bangku depan toko.

"Jun mau lanjut kuliah nggak?" tanya Sana saat membuka bungkus es krim.

"Iya," jawabnya.

"Dimana?"

"Unpad."

"Udah keterima?"

"Udah."

"Wah masa?!!!" Tanya Sana tak percaya. Jun mengangguk singkat sambil menatap lawan bicaranya.

"Kok bisa?!" Tanya Sana sekali lagi.

"Jangan-jangan lo pikir gue sama bodonya kayak lo, ya?"

"Iya," cicit Sana.

Jun membelalakan matanya. Sana tersenyum lebar tanpa dosa.

"Tapi beneran deh, Sana nggak tau harus masuk mana," curhatnya.

"Lo sukanya apa?" tanya Jun menatap Sana.

"Sana nggak suka belajar."

"Sama dong."

"Tuhkan, Jun pasti sama bodonya kayak Sana."

"Nggak suka belajar bukan berarti bodo."

"Terus apa dong?"

"Males."

Sana kembali menyantap es krim sambil cemberut.

"Sana nggak punya tujuan buat kedepannya gimana, Sana juga nggak tau mau jadi apa."

"Nggak apa San, kalo lo belum nemu tujuan," kata Jun sambil menyendokkan es krim manis ke mulutnya. "Lo cuma perlu nyari tujuan itu dari sekarang."

Mereka saling bertatapan. Sana kaget saat Jun tiba- tiba menyentuh kepalanya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Tapi pelan-pelan ya mikirnya, takutnya kepala lo nggak kuat."

"Ishh!" Teriak Sana, kemudian memukul lengan pemuda itu dengan gemas.










TINNN TINNN!!!














Ceritanya suara klakson.











Sana terlonjak kaget saat tengah memukuli Jun. Refleks, perempuan itu memeluk si lelaki.

'Ni cewek demen banget deh peluk-peluk. Heran gue mah.' -Juniarka si ambyar boy

Sana dan Jun menoleh ke sumber suara. Beberapa langkah di depan mereka, terparkir sebuah mobil hitam mengkilat yang dibeli tanpa cicilan, alias cash.

Kaca depan mobil itu perlahan terbuka, menampilkan seorang pria dengan setelan jas rapi.













"Ayah?" cicit Sana, kemudian melepaskan diri dari Jun secepat kilat.












"Sana? ngapain kamu di sini?" tanya pria itu.

"Beli es krim, Yah." Dengan riang, Sana memamerkan es krim di tangannya.

"Oh iya-iya. Itu di sebelah kamu siapa?" tanya ayah Sana heran, menunjuk Jun.

"Eh, saya Juniarka, Om," jawab Jun agak canggung.

"Tetangga kita, Yah." Sana menambahkan.

Ayah Sana mengangguk-angguk, sambil tersenyum. Dibalas dengan senyum gantengnya Jun.

"Yaudah, pulangnya jangan kesorean ya," pesan ayah Sana sebelum melajukan mobilnya.

Sana melambaikan tangan pada mobil yang mulai menjauh itu. Jun berdecih.

"Bapaknya sultan tapi anaknya doyan gratisan," sindir Jun pada gadis di sebelahnya.

"Biarin, wle." Sana menjulurkan lidahnya.

.
.
.
.
.
.
.

Setelah menghabiskan es krim-es krim itu, mereka segera pulang menaiki sepeda. Tapi kali ini mereka tidak balapan lagi. Capek, kata Sana.

"Katanya sultan, tapi gapunya sepeda." Lagi-lagi Jun menyindir.

"Hujat aja terusss, hujat. Jun nggak ikhlas ya minjemin sepedanya?!"

Jun terkekeh, "ikhlas kok, Mba."

"Katanya adik Jun laki-laki, tapi kok sepedanya warna pink?"

"Siapa bilang itu punya adek gue?"

"Loh, bukan punya adik Jun ya? Terus ini punya siapa dong?"





"Punya Mama."





Sana kaget. Jun ngakak pas liat Sana nge-rem mendadak.

Bukannya apa-apa, tapi Sana masih gedeg aja sama mamanya Jun.

"Kenapa nggak bilang?" tanya Sana mencoba mensejajarkan posisinya lagi dengan Jun.

"Emang kenapa?"

"Gapapa sih," jawabnya singkat.

"San," panggil Jun.

"Apa?"

"Ayah lo tau nggak kenapa ibu kita musuhan?" tanya Jun melirik Sana sekilas.

"Sana nggak pernah tanya tuh. Sana juga baru tau kalo ibu kita musuhan."

"Bisa nggak lo tanyain ke dia?"
















🏠Cecan Rumah Sebelah🏠

Cecan Rumah SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang