"Aku tuh paling nggak bisa kalau disuruh milih!"
-Sanadia Maharani-
⊹ ────── •°⋆°• ────── ⊹
"Ngapain Ayah ke sini?" tanya Sana saat pintu kamarnya terbuka.
"Ih judes," ledek Anwar sambil mendudukan dirinya di kursi depan meja belajar Sana.
"Lagian kamu marahnya sama Ibu, bukan sama Ayah, kan?" lanjut pria itu.
Sana mendengus, masih menatap ponsel sambil tengkurap di atas kasur.
"Udahan dong marahnya, kasian Ibu kamu nggak bisa tidur dari kemaren."
"Nanti ah, belum 3 hari," celetuknya ngawur.
"Tapi seenggaknya keluar kamar kek atau ngobrol sama Ibu. Ayah pusing ada ditengah-tengah betina yang lagi marahan gini." Anwar malah curhat.
"Gak," tolak Sana mentah-mentah.
"Kamu masih marah soal Jun yang kemarin?"
"Iya! Sana nggak ngerti lagi sama Ibu, emang Jun sama mamanya itu salah apa sih? Lebay banget." Sana berbicara dengan jutek dan tak sedikit pun melirik ayahnya.
"Ayah juga nggak paham. Padahal anaknya baik."
"Kok Ayah tau dia baik?"
"Ya iyalah, orang kamu sampe marahan sama Ibu gara-gara belain dia, kamu juga sampe galau 2 hari gara-gara nggak ketemu dia, kan?"
Sana tertegun. Jarinya yang sedang mengetik, tiba-tiba berhenti. Sana menoleh pada ayahnya.
"Sok tau," katanya singkat kemudian kembali menatap ponselnya. Mencoba fokus namun malah makin kepikiran.
Anwar tertawa renyah, "jadinya sama Jun atau sama Wisnu nih?"
Sana mengambil ancang-ancang untuk melempar bantal pada ayahnya.
"Eits, keluar deh galaknya." Anwar mengangkat tangannya ke depan wajah. Jaga-jaga agar tidak kena timpuk putrinya.
"Apa sih? Ayah nggak jelas!"
"Loh, Ayah bercanda kok. Kamu aja yang dibawa serius."
Sana menjatuhkan bantal dari tangannya, mendadak pipinya memanas.
"Sana nggak galau!"
"Apa dong? Kangen Jun? Apa kangen Wisnu?"
"Ayah! Keluarrrr!" Sana berjalan ke arah ayahnya dan memukulinya dengan bantal. Sampai pria itu mengalah dan segera keluar dari kamar putrinya sambil tertawa puas.
Sana cemberut, kembali berbaring menatap langit-langit kamarnya sambil berpikir keras. Belakangan ini, Sana yang phobia berpikir itu dipaksa untuk terus berpikir.
Ia sering berpikir kenapa ibunya bisa semarah itu pada Jun. Kenapa ibunya anti sekali pada tetangga sebelah?
Dan yang paling aneh yaitu, sejak kapan Sana sepeduli itu pada masalah ibunya dengan tetangga sebelah?
Mungkin yang diucapkan ayahnya barusan ada benarnya. Sana selalu membela Jun, karena Sana yakin kalau dia orangnya baik.
Kalau perihal Sana yang galau karena lama tak bertemu dengan Jun? ah itu agak rumit.
Sana biasa mengobrol dengan Jun setiap hari, Sana biasa bercanda dengan Jun setiap hari, Sana biasa bercengkerama dengan Jun setiap hari.
Semuanya sudah jadi kebiasaan, Sana juga sudah terbiasa dengan kehadiran lelaki itu. Sekarang, bagaimana kebiasaan itu bisa hilang begitu saja?
Tanpa di sadari, Jun telah mengisi hari-hari Sana. Tapi, apakah boleh Sana merasa seperti itu?
Di sisi lain, nama 'Wisnu' selalu saja ikut melintas di benaknya saat ia memikirkan Jun. Membuatnya semakin bingung.
Siapa sebenarnya yang ada di hati Sana?
Jelaslah Wisnu, pacarnya. Tapi, kenapa belakangan ini Sana jadi sering mempertimbangkan Jun juga?
Pernah nggak sih kalian suka sama dua orang sekaligus? Begitulah kira-kira rasanya.
Namun, rasa suka pada dua orang sekaligus tentulah akan ada perbedaanya, meskipun sedikit.
Yang jelas perasaannya pada Wisnu, bisa dibilang lebih kuat.
+++
🔪: Lo belum putusin Wisnu kan?
🔪: Kalo gitu gue punya hadiah buat lo
🔪: Gue udah taro hadiahnya di belakang rumah lo😳Lagi-lagi pesan darinya. Tepat di jam 00.00.
Sana awalnya ingin mengabaikan saja pesan sampah seperti itu, namun ia malah menyimpan nomornya. Ya, namanya juga Sanadia.
Kemarin, ia mengirimkan kata-kata yang sama. Bedanya, dua hari yang lalu ia hanya mengirimkan foto darah dan pisau dengan kata-kata mengancam.
Hari ini nampaknya lain.
Sana mendadak gemetar ketakutan. Namun, gadis itu juga penasaran.
Dengan cepat, Sana beranjak dari ranjangnya dan menuju ke belakang rumah.
Sial.
Orang itu nampaknya sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Di belakang rumahnya sudah tergeletak sebuah kotak berukuran kecil yang diberi pita merah.
Dengan ragu, Sana mendekati kotak itu. Ia mengangkatnya sambil melirik sekitar, memastikan tak ada siapa-siapa di sekitarnya.
Perlahan, Sana mulai mengangkat penutup kotak itu.
Ia terkejut saat melihat fotonya bersama Wisnu yang diambil saat classmeeting itu bersimbah darah dan tersobek menjadi dua bagian.
Sana menjatuhkan kotak di tangannya, kemudian menutup mulut dan hidungnya agar tidak muntah.
Bau darah itu amis sekali. Darah apa yang ia gunakan?
Sana segera berlari ke dalam rumahnya. Ia mencoba meredam tangisnya agar tak terdengar oleh ibu maupun ayahnya.
Sana tak bisa terus diam dan menyimpannya sendiri lagi. Ia harus memberitahu Wisnu kalau dia diteror!
🏠Cecan Rumah Sebelah🏠
KAMU SEDANG MEMBACA
Cecan Rumah Sebelah
FanfictionBerawal dari disuruh nganterin paket yang salah alamat, Sanadia berakhir menjadi bahan nyinyiran ibu tetangga di sebelah rumahnya. "Belum mandi ya?" "Itu kenapa rambutnya pake diwarnain oren begitu?" "Ckck, mana bajunya nggak sopan lagi." "Jun! Ngap...