Jangan lupa vomments
Selamat membaca :)
Lamongan, 15 Oktober 2003 pukul 18.15 WIB
Malam itu seusai melaksanakan sholat maghrib, Ayah menggendongku. Dia menimang-nimangku sambil melontarkan candaan lucu ala bayi agar aku tertawa. Bayi memang tidak bisa berbicara. Tapi dia bisa menyampaikannya melalui ekspresi. Kalau mau buang air, lapar, dan mengantuk, bayi akan menangis. Begitu juga denganku yang saat ini sudah menginjak usia tujuh bulan.
"Assalamualaikum Wulan, anak Ayah yang cantik," kata Ayah.
Aku tersenyum. Sebagai seorang anak, tidak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding dipuji oleh orang tua sendiri. Meski aku tidak bisa mengatakan bahwa, "Aku bangga bisa punya Ayah seperti Ayah." Setidaknya lengkungan bibirku yang keatas ini menjadi alasan bagi Ayah untuk menerbitkan senyumnya juga.
"Yah, Yah," kataku.
Ayah berhenti menimangku. Dia menatapku dengan ekspresi bahagia yang begitu tergambar di wajahnya. "Bilang apa tadi, nak?"
"Yah, Yah," ulangku.
"Ibu, Wulan bisa memanggilku, Bu." Ayah berteriak memanggil Ibu yang sebelumnya sibuk di dapur, mempersiapkan makan malam.
"Apa, Yah?" Ibu bertanya, begitu dia berdiri di samping Ayah. Ibu tak kalah senangnya dengan Ayah saat mendengar berita itu.
"Ayo, nak. Kamu tadi panggil Ayah gimana?"
Aku yang saat itu dalam gendongan Ayah, lantas berucap, "Yah, Yah."
"Pintar anak Ayah." Ayah memelukku lebih erat lagi. Dia menimangku seraya terus menerus memujiku.
Hari itu, aku bisa merasakan bagaimana menjadi seorang anak yang dibanggakan oleh Ayah.
Tbc
Dari sini, aku pribadi bertanya, "Waktu kecil dulu, apakah aku sudah bisa membanggakan Ayah dan Ibu seperti ini?"
4 Juni 2020
Tertanda,
Erina Putri
KAMU SEDANG MEMBACA
Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]
أدب نسائيAku menulis ini karena aku sadar, setiap orang punya permasalahan sendiri. Tapi nggak semua orang bisa keluar dari permasalahan itu. Ada yang menghindar, bersembunyi dibalik kalimat baik-baik saja, bahkan ada yang menetap. Aku dilahirkan ke bumi seb...