18. Kisah :: 12 Januari 2011

42 1 0
                                    

Jangan lupa vomments

Selamat membaca :))

Lamongan, 12 Januari 2011 pukul 06.44 WIB

Jujur, aku takut keluar rumah. Tapi mau bagaimana lagi, daripada aku di rumah dan menjadi beban pikiran bagi ibu setiap kali melihatku, aku memilih untuk tetap pergi ke sekolah. Meskipun beban itu masih kubawa di pundak, meskipun masih kudapatkan tatapan aneh dari orang-orang yang melihatku, meskipun cibiran-cibiran itu masih membisiki telingaku, aku tetap yakin dan percaya diri. Tujuanku hanya satu. Aku ingin menjadi anak hebat untuk Ibu.

Baru saja aku masuk ke ruangan kelas, tatapan dan cibiran-cibiran itu semakin menggangguku. Tak terkecuali anak perempuan berwajah bulat yang kemarin menghampiri mejaku dan teman-temannya itu. Sekedar info, dia namanya Dinda sedangkan temannya yang kemarin menyebut ayahku gila, namanya Cica dan temannya yang mendorongku namanya Tasya.

"Ternyata, yang gila bukan ayahnya. Tapi dia sendiri. Eh, apa dua-duanya, ya?" katanya begitu aku duduk di kursiku.

Aku enggan menanggapi. Lebih memilih untuk fokus membaca buku pelajaran Bahasa Indonesia, jadwal pertama mata pelajaran hari ini.

Beberapa menit selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa selain ucapan anak-anak lain yang menimpali. Aku hanya bisa menghela nafas, lelah. Rasanya, begitu berat jalannya hidup yang harus kuhadapi. Aku berusaha kuat, demi ibuku dan adikku. Aku tidak mau Ibu stres dan pada akhirnya akan membahayakan ibu dan adikku. Oleh karenanya, aku selalu tersenyum ketika ibu menatapku.

Aku jelas tahu ibu lebih sakit dari apa yang kurasakan. Melihat anaknya tidak ada yang mengajaknya bermain, mendengar penilaian 'anak kurang waras' hanya karena dia tidak terima dihina, sampai mendapatkan julukan 'tidak becus mengurus rumah tangga'. Apalagi yang menyakitkan bagi seorang Ibu?

Aku mohon. Siapapun, jangan mengatakan itu pada ibuku. Ibu tidak salah. Akulah yang menyebabkan kekacauan semua ini. Akulah yang membawa sial bagi keluarga ini. Akulah sumber masalahnya.

Sakit. Rasanya sakit menahan itu semua. Kurasakan air mata ini sudah tidak bisa ditahan lagi. Aku pun berdiri, hendak ke kamar mandi sebelum jam pertama berbunyi. Dan lagi-lagi, gelak tawa yang kudengar ketika dengan sengaja sebuah kaki terulur untuk menghalangi jalanku dan menyebabkan aku terjembab ke lantai dengan dahi yang mencium lantai.

Rambut panjangku yang terurai jatuh menutupi wajahku, aku gunakan itu untuk mengeluarkan air mata di baliknya.

Tbc

15 Juli 2020
Tertanda,

Erina Putri

Akan Kuceritakan Semua Tentangku [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang