***
Aku berlari dengan sangat kencang. Takku perdulikan lagi beberapa orang yang tidak sengaja ku tabrak bahunya. Jantungku berdegup dengan cepat. Pikiranku telah kosong dan hanya terfokus pada satu hal. Hanya dia yang ada di pikiranku untuk saat ini.
Aku menghentikan langkahku saat diriku sudah berada di pintu kamar. Butuh beberapa saat untuk aku bisa memutar kenop pintu. Ketika pintu itu sudah benar-benar terbuka, aku melangkah maju. Tidak ada orang di sana selain dia dan aku.
Dengan berbagai selang yang terpasang di seluruh lekuk tubuhnya. Begitupula dengan beberapa luka gores di sudut dahi, tangan, dan wajahnya. Bunyi monitor jantung berbunyi senada dengan detak jantung si pasien. Bibir pucatnya tampak kering. Matanya senantiasa menutup tanpa ingin membukanya.
Aku mendekatinya yang sedang terbaring malah di atas tempat tidur. Aku menggigit bibir bawahku, untuk menahan tangis yang sedaritadi ingin jatuh. Tubuhku bergetar dibuatnya.
Aku duduk dengan perlahan di bangku yang berada di sebelah tempat tidur. Aku tidak menyangka jika kamarin adalah hari terakhir aku melihatnya tertawa. Dan sekarang ia malah terbaring lemah dengan keadaan mengenaskan seperti ini.
Aku menggenggam tangannya. “Aku merindukanmu, Liam.” Lirihku. “Apa kau ingat, waktu itu kita pernah membuat sebuah lagu? Asal kau tahu saja, lagu itu sudah kuselesaikan kemarin malam. Sehari sebelum kejadian itu terjadi.” Tuturku, sambil menghela nafas panjang.
Aku masih ingat betapa bersemangatnya saat membantuku menuliskan lirik lagu yang tepat untuk tugas sekolahku. Bahkan ia sampai menginap dirumahku, karena hari sudah terlalu larut untuk pulang kerumah.
Aku masih ingat bagaimana dia yang tiba-tiba saja menanyakan sebuah pertanyaan yang membuatku sedikit merasa gelisah.
“Maddy,” Panggilnya kepadaku yang sedang menutup mata dengan tangan yang disilangan di belakang kepala. Aku bergumam masih dengan posisi yang sama seperti tadi.
“Bagaimana perasaanmu jika aku tiba-tiba saja pergi jauh?” Tanyanya tiba-tiba yang membuatku langsung membuka mata dan bangkit menjadi duduk.
Aku menoleh kearahnya dengan pandangan bingung. “Memangnya kau ingin pergi kemana? Amerika? Atau Australia?” Tanyaku dengan mimik wajah kaget. Liam tersenyum tipis.
“Tidak, mungkin lebih jauh dari itu.”
“Lalu kenapa kau bertanya hal seperti itu?” Tanyaku dengan perasaan bingung begitupula cemas.
Liam terkekeh pelan. “Entahlah, hanya ingin tahu saja. Siapa tahu tuhan mempunyai rencana yang lain. Jadi, apa jawabanmu?” Tanyanya ulang. Aku memajukan bawahku.
“Kau ini, sudah jelas aku akan sangat sedih. Kau tahu, kalau kau adalah satu-satunya teman yang aku punya. Jadi, kalau kau pergi begitu saja, tentu saja itu akan membuatku sakit hati.” Jelasku sambil menaruh kepalaku di bahu Liam. “Um, tapi tunggu dulu, apa maksudmu dengan rencana tuhan itu?” Tanyaku penasaran.
Liam tersenyum sambil melihat ke langit seakan sedang menerawang sesuatu. “Kau tahukan kalau kita tinggal di dunia ini hanya sementara?” Aku mengangguk kikuk. “Jadi, bisa kapan saja kita kembali kepadanya. Mungkin besok, atau seminggu lagi, ataubahkan beberapa jam lagi.” Jawabnya.
Aku mengambil gitar yang sedari tadi ada di belakang punggungku. Entah ini takdir ataupun apa. Yang jelas, seharusnya aku tidak berada di sini. Harusnya aku sedang bernyanyi di ratusan penonton di panggung hari ini. Harusnya aku pergi ke sekolahku, bukan kesini.
![](https://img.wattpad.com/cover/11592221-288-k26833.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot(s)
Historia Corta[Closed Request!] "I don't have time to worry about who doesnt like me, im too busy loving the people who love me." - unknown [#11 ShortStory]