🍮45. This is a Happy Ending―isn't it?🥧

1.1K 123 40
                                    

TERKADANG melalui beberapa teori lawas yang mengusik kepala, jauh terkubur dalam nakas memori usang, Wonwoo sering teringat bahwa semua hal yang digenggam tak selamanya akan tinggal dalam kehidupan―beberapa sekadar singgah; beberapa ikut menabur afeksi dan tawa, sebelum akhirnya berpaling dan menggores luka.

Waktu dapat menjadi bumerang paling hebat, kau tahu? Barangkali atas dasar itulah, seseorang tidak diperkenankan untuk terlalu bermegah atas tiap kelimpahan, sebab siapa yang dapat menerka kemana alur kehidupan akan membawanya kelak? Senyum yang diulas semenit lalu bisa berubah menjadi sendu, gelak tawa menggelegar tahu-tahu bertransformasi menjadi duka, sementara luka yang menggenang tak selamanya pula akan mencucurkan darah.

Kebahagiaan, senyum, tawa, dan luka―semua bersifat tentativ dan dangkal.

Semua hanya bertahan sementara.

"Apa aku pernah mengatakan bahwa wajahmu saat melamun tampak seribu kali lebih seram dibanding sapi pucat?"

Lamunan itu pecah. Wonwoo lantas mengerjap, tak dapat mencegah kedua sudut bibirnya untuk tidak terangkat lebar-lebar kala menoleh ke arah ranjang. Bau obat pahit, kamar yang pengap, dinding putih pucat; semua jelas masih sama dengan suasana rumah sakit lama yang mampu menukik sesak.

Namun kini, atmosfirnya berbeda.

"Tidak pernah, tuh." Terkekeh samar, pemuda itu beranjak dari sofa, melangkah ke sisi ranjang untuk membantu Changie mengambil segelas air putih di atas nakas sembari membalas, "Barangkali kakak harus menambahkan kalimat itu dalam list 'Pujian untuk Wonwoo'―ah, bagaimana kalau nanti lebih banyak orang menyukaiku? Dengar-dengar, pria berotak genius itu seribu kali lebih seksi, lho."

"Aku tidak ingat pernah mengatakan 'pintar', apalagi 'genius'." Changie memutar bola mata, tetapi tetap menerima pemberian air putih Wonwoo disertai seulas senyum geli yang ditahan-tahan. "Katakan, selama aku koma, tidak ada yang mengingatkanmu untuk mandi dan mengorek kuping, 'kan?"

"Astaga," Wonwoo berkata dramatis, "apa kakak benar-benar berpikir aku sejorok itu?"

Kini, nyaris membuang napas sementara kakaknya meledak dalam buncahan tawa, Jeon Wonwoo diam-diam dapat merasa sepercik kelegaan merembes hati, luapan bahagia serta rasa hangat berpendar memenuhi tiap sudut kamar. Benar, pemuda itu mengulum senyum. Semua hanya perkara waktu.

Butuh bertahun-tahun untuk menyingkap kebenaran atas kematian ayahnya dulu, butuh bertahun-tahun direnggut duka dan diterkam kesendirian sebelum akhirnya Wonwoo sadar, dulu sekali ia telah menyia-nyiakan beberapa malam berharga dengan menangis serta mempertanyakan rasa sayang Changie.

Tanpa sepenuhnya sadar, bertahun-tahun yang sama, kakaknya dirundung oleh penyesalan yang hebat.

Menggeliat sebentar dan berusaha untuk mengubah posisi duduk, Changie nyaris tersentak saat tiba-tiba Wonwoo berjengit panik, "Kakak! Tidak ingat pesan dokter Ong? Kakak masih tidak boleh banyak bergerak, bekas jahitannya masih akan terasa sakit, kenapa bandel sekali, sih?"

"Bodoh, bokongku juga sakit kalau terus-terusan duduk di posisi yang sama selama tiga jam berturut-turut. Aku ingin berbaring sebentar."

"Belum juga seminggu setelah kakak sadar, sudah banyak tingkah. Tidak heran sikap hiperaktifku menurun dari siapa." Wonwoo berdecak tak paham, menggumamkan sesuatu di bawah hela napasnya yang melongos kasar.

Kendati demikian, pemuda itu tetap membantu Changie; melebarkan lengan menggenggam bahu kakaknya, membantu mengambil dua bantal di sofa dan menumpuknya pada senderan kasur, tetapi tak henti mencipta keributan dengan berkata, "Kakakkk, infusnya jangan ditindih! Astaga, kak. Pelan-pelan!" Hingga lagi-lagi Changie menukas jengkel, "Kau niat membantu tidak, sih?"

Sweet Taste [Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang