<Langit>

56 2 5
                                    

Tak terasa jam istirahat berbunyi, Sabit buru-buru membereskan bukunya lalu meninggalkan kelas menuju kelas Bintang. Ia tak memperdulikan panggilan Diba sejak tadi.

11 IPA 1, Sabit sudah sampai di kelas Bintang. Ia mengintip lewat jendela. Dilihatnya Bintang bersama empat temannya sedang ingin beranjak meninggalkan kelas.

Matanya menyipit untuk melihat apa yang Bintang bawa di tangannya, bekalnya. Ia terus mengawasi Bintang.

Ketika Bintang keluar kelas ia mengikuti Bintang sampai langkahnya terhenti ketika Bintang memberhentikan salah satu siswa gendut berkacamata yang entah ia tidak tau itu siapa.

"Woi bre". Bintang merangkul cowo gendut berkacamata.

"A-apa?". Ia sedikit gugup, karena takut Bintang membulynya seperti kemarin-kemarinnya.

"Gue punya makanan nih, mau ga lo?".

"Gendut pasti mau lah ya, secara gratisan". Celetuk Dean, salah satu teman Bintang.

"Ga-ga mau". Cowo gendut itu tampak ketakutan.

"Kalo lo gamau gue tendang lo dari sini sampe noh tengah lapangan mau?!". Bintang meremas lengan cowo itu.

"I- i- i- iya gue ma- mau". Cowo itu meringis.

Bintang mengulurkan kotak bekal yang di kasih Sabit, belum sampai di terima Cowo itu, Bintang membanting kotak bekal itu dengan kencang yang membuat isi dari bekalnya berceceran di lantai. Sontak si Cowo gendut itu kaget, tak kalah dengan Sabit yang mematung dan menatap nanar. Sementara teman-teman Bintang tertawa meremehkan, setelah itu mereka pergi entah kemana.

Sabit menghela nafas lelah, dan menatap jari-jari tangannya yang luka-luka akibat masak bekal untuk Bintang. Ternyata selama ini sia-sia.

Sabit pergi menuju perpustakaan untuk menenangkan diri, karena di sana sepi dan tidak berisik. Ia ingin menenangkan hatinya.

"Hai Sabit". Sapa gadis yang baru saja memasuki perpustakaan.

"Hai". Sabit tersenyum tipis.

"Sendiri aja?, Diba kemana?".  Tanya Rea, gadis yang tadi menyapanya.

Sabit menepuk keningnya pelan, ia lupa bahwa sudah meninggalkan Diba. Bego makinya.

"Em- kantin kaya nya".

Rea hanya menganggukkan kepala pertanda mengerti.

"Gue duluan ya Re". Sabit pun meninggalkan Rea yang menatap nanar kepergiannya.

Ga bisa kaya dulu ya bit? Batinnya.

Sabit menuju kantin untuk mencari Diba, ia merasa bersalah sudah meninggalkan sahabatnya itu.

Ia mengedarkan pandangannya kemudian terhenti ketika Diba sedang bersama Jeje salah satu teman Bintang yang tadi ia lihat bersama Bintang ketika membuly.

Sabit ingin menghampiri Diba namun ada Bintang yang bersebelahan dengan meja Diba sedang duduk manis menikmati makanan.

Ia akhirnya memutuskan untuk membalikkan tubuhnya menuju kelas, namun baru satu langkah Diba sudah memanggilnya.

"SABIT!". Sabit merutuki Diba karena suaranya yang cukup kencang, ia pun membalikkan tubuhnya. Ia menghampiri Diba dengan langkah yang pelan karena Bintang menatapnya tajam.

"Sini". Diba menepuk sisi sebelah kanannya yang kosong agar bisa di duduki oleh Sabit, sedangkan di sisi sebelah kirinya terdapat Jeje yang sedang mendengarkan lagu dengan headset yang terpasang.

"Suara lo kenceng banget bego!". Sabit menoyor kening Diba dengan telunjuknya.

Diba hanya terkekeh, kemudian menyuapkan satu baso ke mulutnya. "Lo pasti takut karena ada dia kan?". Tanya Diba.

"Siapa?". Sabit pura-pura tidak mengerti.

"Bintang".

"Ap-apaan, ngapain harus takut?".

"Bukt-". Ucapan Diba terpotong karena suara Jeje.

"Eh Sabit, dari mana?". Tanya Jeje yang sudah melepaskan headset yang sedari tadi bertengger di telinganya.

"Perpus".

"Lo ga makan?". Tanya Diba.

"Ini gue mau pesen". Sabit baru saja ingin beranjak, namun tangannya di cekal oleh Langit, salah satu teman Bintang.  "Ga usah, sekalian aja sama gue". Sabit mengerutkan kening nya.

"Eh tapi-". Sabit merasa tak enak sedari tadi karena terus di tatap oleh Bintang dengan tajam, betapa sialnya ia ketika teman-teman Bintang cukup akrab dengannya termasuk Langit dan Jeje.

"Ceilah, gas teros Lang". Diba tertawa sambil matanya melirik sinis Bintang.

Untungnya teman-teman Bintang tidak tau tentang pernikannya dengan Bintang, jika sampai tau ia tak tau lagi harus menaruh muka nya dimana.

Sabit menatap jengah Diba dan Jeje yang sedari tadi yang ber mesra-mesraan di depannya. Diba dan Jeje sudah pacaran sejak kelas tiga SMP dan hubungan mereka bisa langgeng seperti sekarang karena sikap Diba yang dewasa juga Jeje yang sama seperti Diba tapi sedikit egois.

Diba menatap Bintang yang sekarang sudah tidak memperhatikannya lagi seperti tadi, Bintang tampaknya sedang berkutat dengan ponselnya. Entah apa yang di lakukannya toh ia tidak perduli karena masih kesal pasal kejadian tadi.

"Nih". Langit menaruh semangkuk bakso dan satu gelas air mineral.

"Makasih Lang". Sabit tersenyum canggung.

"Santai". Langit mengambil duduk di depan Sabit.

"Jeje, gue nanti mau nongki sama Diba boleh?". Ijin Diba.

Sabit hanya mendengarkan sambil menyantap bakso nya.

"Sama siapa lagi?". Tanya Jeje.

"Sama Gara". Cicit Diba.

"Ga". Diba memunculkan puppy eyes nya, ini adalah jurusnya ketika Jeje tidak menuruti kemauannya.

"Ga bakal gue ijinin". Jeje pergi meninggalkan Diba yang mendengus kasar.

"Bit, gimana dong?". Rengek Diba.

"Yaudah ga apa-apa, turutin pacar lo Dib".

Toh ia juga sudah menghubungi Gara jika ia tidak jadi ikut.

....

Sabit menghembuskan nafas lelah, jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang. Sehabis membersihkan lab dan latihan untuk lombanya ia sekarang sedang menunggu angkutan umum yang sedari tadi tidak ada yang lewat.

Ia berdecak karena nanti dirinya akan ke rumah Omah nya Bintang, dan butuh persiapan yang menurutnya akan lama.

"Bareng gue". Tiba-tiba motor sport berwarna hitam terhenti di depannya.









Siapa tuuu?
Next gaa ni?
Jangan lupa vote dan komen!!

Sorry baru up hehe

HurtedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang