Pemuda itu tengah menggenggam sebuket bunga mawar putih di tangan kanannya. Ia membawa kedua tungkainya memasuki rumah duka. Kebiasaan rutin yang dilakukan olehnya untuk mengunjungi mendiang orang tuanya. Dan hari ini tepat terhitung lima tahun peringatan kematian kedua orang tuanya.
Ketika sudah sampai, pemuda bernama Yunho itu baru menyadari guci tempat abu mendiang orang tuanya tidak ada di tempat yang semestinya. Raut wajahnya terlihat kebingungan.
"Permisi, Ahjusshi," Ucap Yunho saat melihat pria paruh baya yang tengah berdiri tidak jauh darinya.
Lantas pria paruh baya itu menoleh, "Ya?"
"Maaf sebelumnya, apakah Anda tahu di mana guci yang biasanya ada di sini?" Tanya Yunho.
"Bukankah itu punya orang tuamu?" Tanyanya seraya menghampiri pemuda yang tengah terlihat kebingungan.
"Oh, yang ini. Apa kau belum tahu? Pembayaran slot ini sudah tiga tahun menunggak. Kami juga tidak bisa menghubungi walinya," Jelasnya.
"Apakah kau membuangnya?" Tanya Yunho lagi. Ia tahu pasti hal ini akan terjadi.
"Tidak. Kami memindahkannya ke ruang penyimpanan." Jawabnya.
Yunho menghela napas pelan. "Bisakah kau mengembalikannya lagi ke tempat semula? Aku janji akan membayar lunas semuanya."
"Maaf, kami tidak bisa. Aturan tetap aturan. Kami akan mengembalikan ke tempat semula jika Anda sudah membayar semuanya." Tambahnya lagi tak terbantahkan.
Yunho memejamkan netranya dengan kepala tertunduk. Terdiam beberapa saat. Tidak tahu apa lagi yang harus ia perbuat untuk menangani semua masalahnya.
"Berapa tunggakan untuk melunasi semuanya?"
"Sudah tiga tahun. Berarti Anda harus melunasi dua juta won." Jawab pria paruh baya itu dengan enteng.
Saat itu juga kedua matanya membola. Jemarinya semakin erat menggenggam buket yang ada di tangan. Bibirnya sedikit menganga, tanda ia ingin berucap. Tapi, ia tidak mampu untuk mengucapkan sepatah katapun. Terlalu kelu.
Tidak perlu waktu lama pria itu berucap, "Kami janji setelah Anda membayar semuanya kami akan mengembalikan guci itu ke tempat semula." Lalu melenggang pergi meninggalkan pemuda itu yang masih bergeming.
Yunho mengusap wajahnya kasar setelah ia menatap punggung pria paruh baya yang semakin jauh.
"Huh, bodoh." Gumamnya seraya meletakkan buket mawar di samping bingkai foto mendiang kedua orang tuanya.
Jemarinya terangkat mengusap pelan foto keluarganya termasuk dirinya sendiri. Tapi, itu dulu. Waktu jumlahnya masih lengkap. Sebelum kejadian buruk datang menghampiri.
Pemuda itu mengawali kalimat dengan senyuman. "Bagaimana kabar kalian?"
Yunho terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya.
"Apakah di sana kalian bahagia?"
Masih dengan hal yang sama. Ia tahu betul semua pertanyaan yang ia lontarkan tidak akan pernah dijawab barang sedikit pun.
"Kuharap kalian bahagia. Bukankah di sana sangat indah?"
Ia menghela napas pelan, bibirnya mencoba mengukir senyuman. Walaupun harus dipaksakan.
"Apa kalian ingin tahu bagaimana kabarku dan Yena?"
Sekali saja ia menunduk, bisa dipastikan sesuatu akan jatuh dari pelupuk matanya.
"Yena, dia baik-baik saja. Dia menjalani kehidupan seperti biasanya. Seperti tidak ada beban sama sekali," Ucapnya pelan.
"Tapi, tidak denganku. Aku di sini sedang tidak baik-baik saja," Yunho mendongakkan kepalanya, berusaha menahan sesuatu yang sebentar lagi akan jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leaf and Rod [Jeong Yunho] ✔
Fiksi Penggemar[Completed] Namanya Jeong Yunho. Pemuda berusia dua puluh satu tahun. Jika kau bertanya siapa dirinya, mereka semua akan menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang kelewat biasa. "Ia adalah pemuda dan kakak yang hebat, mengalahkan orang-orang yang...