Aku terbangun saat matahari sudah tenggelam. Karena kaget, kepalaku menjadi pusing. Aku memegang pelipisku sambil duduk di atas tempat tidur. Saat aku menunduk, aku melihat tas ransel hitam yang biasa dikenakan Gilang.
"Mas Gilang!" seruku kaget. Teringat bahwa aku sudah punya suami. Memang terkadang aku masih bingung dengan statusku, suka lupa dan masih merasa sendiri.
Cepat aku mengikat rambutku asal-asalan, kemudian keluar dari kamar. Menuruni tangga dengan sangat terburu-buru, aku menuju meja makan. Di sana ada Gilang yang sedang memainkan ponselnya.
"Kok nggak bangunin aku, Mas?" tanyaku sambil menyalami Gilang. Perasaanku menjadi merasa bersalah.
"Kamu capek kayaknya, nggak tega Mas mau bangunin," jawab Gilang.
Aku melihat Gilang kembali mengecek sesuatu di i-pad miliknya. Mataku berkeliling mencari penghuni rumah lain. Tapi, aku tidak melihat atau mendengar suara yang lainnya. Hanya ada Keiko yang berkokok sesekali.
"Yang lain kemana, Mas?" Aku berdiri di belakang Gilang. Memijat pundak Gilang perlahan, pijatan alakadarnya ini.
"Ke rumah keluarga Saladin, kakak tertua Putra mengundang makan malam."
"Astaga!" pekikku begitu aku teringat soal ini. Tadi siang Ibu dan Wika sudah memberitahu soal ini. Aku memiringkan kepalaku menatap Gilang yang diam saja. Aku jadi merasa bersalah karena ketiduran. "Kok Ibu sama Wika nggak bangunin aku? Kamu juga Mas kok nggak bangunin aku? Sampai kamu ditinggal sendirian begini," ujarku.
Gilang menoleh padaku, dia tersenyum tipis. "Nggak papa, Mas tadi sudah bilang dengan Putra dan dia memaklumi," kata Gilang membuatku tersenyum lega.
Aku berdiri dengan benar, kembali memijat Gilang. Mengintip ke layar i-pad Gilang yang menampilkan laporan, sepertinya laporan keuangan. Aku tidak begitu bisa membacanya.
"Sudah makan Mas?" Aku ingat Gilang pasti ditinggal dari sore tadi. Dia pasti tidak enak membangunkanku untuk mengajak makan.
"Belum." Nah! Benarkan.
Aku menyudahi acara memijit Gilang, kemudian beranjak menuju dapur. Di dapur ada sop ayam yang tadi siang aku masak dengan Wika, kemudian di dalam lemari alumunium ibu ada bakwan jagung dan juga sambal goreng kentang.
Aku memanaskan sop ayam sembari meletakkan lauk pauk yang lain ke atas meja makan. Habis diomeli Wika dan Ibu tadi siang, sepertinya otakku mulai bergeser ke arah yang benar. Aku juga sebenarnya kasihan dengan Gilang jika harus terus-terusan beli makan di luar.
"Abstrak banget, Wen." Gilang bergumam pelan saat aku meletakkan semangkuk sop ayam di depannya.
"Udah makan aja, Mas. Jangan lihat apa-apa dari bentuknya. Don't judge a book by its cover." Aku menatap Gilang yang menatapku dengan bibirnya yang berkedut pelan, pertanda dia menahan tawa. "Jadi, jangan judge sop buatanku karena bentuknya abstrak. Yang penting Mas nggak kelaparan dan nggak keracunan makannya," pungkasku berhasil membuat Gilang tertawa lepas.
Aku mendengus pelan melihat Gilang yang puas tertawa. Aku mengambilkan nasi, dua bakwan jagung yang betuknya sama anehnya dengan sop ayam dan sambal goreng kentang sedikit. Hanya sambal goreng kentang yang bentuknya bagus dan cantik, karena dari awal sampai akhir Wika yang mengerjakan.
"Ketawanya dilanjut nanti, makan dulu Mas." Aku mengangsurkan sepiring nasi kepada Gilang.
∞∞∞
Selesai makan, aku membereskan meja makan. Sementara Gilang ke kamar, dia bilang ingin mengerjakan sesuatu di laptop yang masih di ranselnya. Setelah membereskan meja makan, aku menyusul Gilang ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Reason of Love (Selesai)
ChickLit(Spin Off Cinta Over Time, Bisa dibaca Terpisah) Wenny Kharisma, punya pengalaman pahit mengenai jatuh cinta. Sosok Wenny berubah, dari perempuan manja menjadi seorang yang pendiam dan terkesan dingin. Keluarga Wenny khawatir dengan kondisi Wenny sa...