Dua hari lagi acara pernikahan aku dan Wenny akan diberlangsungkan. Hari ini aku sudah sampai di Jakarta. Sayangnya, aku tidak bisa bertemu Wenny sampai hari H tiba. Kami hanya bisa berkomunikasi melalui chat.
Saat aku sampai di rumah, hal pertama yang mengagetkanku adalah sebuah mobil yang aku kenal terparkir di halaman rumah. Mobil yang seharusnya tidak perlu lagi berada di sini. Pintu rumah yang terbuka lebar, membuatku mendengar sekilas percakapan di ruang tamu.
"Kamu kira semudah itu? Masih punya nyali kamu?" Itu suara Ibu. Nada suara Ibu terdengar meninggi.
Ada isakan pelan terdengar mengiringi ucapan Ibu. Hatiku mencelos mendengarnya, suara yang dulu selalu aku ingat. Orang yang selalu aku usahakan untuk tidak menangis dan terus bahagia denganku. Sayangnya, semua itu hanya masa lalu.
"Bu ..." Aku melihatnya bersimpuh di dekat Ibu yang duduk di single sofa. "Maafkan Sania Bu," gumamnya di antara isakannya.
Ibu enggan menatap Sania yang menangis dan bersimpuh di dekatnya. Aku meletakkan koper kecil milikku di depan pintu dan berjalan masuk sambil mengucap salam. Ibu menoleh menatapku, begitu pun dengan Sania yang mengangkat wajahnya.
Wajah cantik itu penuh dengan derai air mata. Wajah Sania terlihat bertambah tua dari beberapa waktu lalu, sepertinya dia sedang banyak pikiran dan pekerjaan.
"Mas Gilang ..." Sania memanggilku pelan. Aku memeriksa reaksi hatiku, tidak ada getaran apa pun seperti dulu. Tidak ada lagi perasaan senang karena dipanggil demikian oleh Sania.
"Bangunlah, Sania." Aku meminta Sania untuk bangun. Untunglah dia menurut dan duduk di sofa yang aku tunjuk dengan tanganku. Aku duduk di single sofa lain, tidak bergabung dengan Sania yang berada di sofa panjang. "Ada apa kemari?" tanyaku kemudian.
Sania memandangku dengan matanya yang sayu, dia mengusap jejak air mata yang ada di pipinya. Sementara Ibu, mendengus sebal dan membuang pandangannya ke arah lain.
"Dia mau minta rujuk sama kamu." Ibu yang buka usra pertama kali sambil membuat gerakan mencibir. Selanjutnya, aku yakin Ibu akan mengomel habis-habisan. "Dia kira kamu itu terminal? Seenaknya saja pergi terus datang lagi, orang ke terminal juga pasti beli tiket buat naik bus. Giliran tahu kamu mau menikah dia tangan mau minta rujuk, dimana otakmu Sania?" Kini Ibu menatap Sania tajam.
Aku menghela napasku pelan, aku sudah paham dengan watak Ibu. Beliau memang tidak pernah menyukai Sania, bahkan dari sejak aku berpacaran dengan Sania dulu. Ibu selalu tidak menyukai pekerjaan Sania yang seorang model.
"Mas, kamu harus tahu aku tidak pernah berselingkuh. Itu semua hanya sandiwara karena aku sakit Mas. Aku mohon kamu percaya sama aku, Mas." Sania menatapku, dia memohon dengan kedua bola matanya.
Aku melirik Ibu yang hanya memijat kepalanya pelan, sepertinya darah tinggi Ibu kambuh.
"Maksud kamu apa?" Aku bertanya karena memang tidak paham dengan penjelasan Sania. Dia menjadikan pernikahan kami seperti panggung seni maksudnya?
"Aku sekarang sudah sehat Mas. Aku mencintaimu, Mas. Aku mohon kamu jangan menikah dengan perempuan itu, Mas." Sania mengangsurkan sebuah surat kepadaku.
Aku mengambil surat tersebut, isinya merupakan laporan kesehatan dari sebuah rumah sakit terkenal di Jakarta. Aku menatap Sania dengan alis terangkat, meminta Sania untuk menjelaskan maksudnya.
"Aku sakit kista, Mas. Aku nggak bisa kasih tahu kamu dan milih buat ninggalin kamu. Aku kira, aku bisa kembali lagi saat aku sudah sehat," tutur Sania yang kembali menangis.
"Maaf Sania. Pernikahan bukanlah sebuah permainan, sepertinya kita memang tidak berjodoh lagi," ucapku seraya mengembalikan hasil pemeriksaan Sania yang isinya tidak aku pahami sepenuhnya, karena berisi istilah medis yang lumayan sulit untuk dicerna pada saat seperti ini.
Sania kembali menangis pilu, dia beberapa kali memintaku untuk membatalkan pernikahanku dengan Wenny. Ibu bahkan sampai mengusir Sania, membuat perempuan itu bertambah menyedihkan di mataku.
Akhirnya, aku memilih untuk meminta bantuan manager Sania. Aku mengabari manager-nya dan meminta dia menjemput Sania.
"Mas!" panggil Sania saat dia dipaksa oleh sang manager untuk pergi dari rumahku.
Ibu, beliau mengusap bahuku dengan berdiri kokoh mendampingiku. Saat Sania akhirnya pergi, Ibu orang pertama yang menghela napas lega. Beberapa kali Ibu menepuk pundakku dan berlalu ke dalam.
Entah kenapa, ada rasa bersalah menyusup di dalam hatiku. Pikiran jahat seolah-olah mulai melingkupi kepalaku. Mendengar penjelasan Sania tadi seolah-olah di sini Sania lah korbannya. Tapi, hatiku menolak. Aku tidak ingin menyakiti Wenny.
∞∞∞
"Gue dengar dari Ibu, Si model ke sini Mas?"
Aku menatap Devan yang sepertinya baru pulang kerja. Aku sedang berada di perpustakaan mini milikku. Sejak kepergian Sania tadi, aku hanya menyibukkan diri dengan nilai-nilai mahasiswa dan materi-materi pembelajaran.
"Lo kasih undangan ke dia?" Aku melihat Devan mengangguk.
"Daftar namanya kan dari lo. Gue cuma nyuruh orang buat nyebarinnya." Devan kemudian membela diri.
Aku menganggukkan kepalaku paham, tidak akan lagi memperpanjangnya. Daftar nama itu aku dapat dari daftar undangan reuni angkatan perkuliahanku dulu. Sepertinya aku tidak mengecek lagi nama-nama yang tertera dan juga aku lupa jika Sania dan aku satu kampus.
"Lo percaya dengan Sania, Mas?" tanya Devan yang kini duduk di kursi depan meja kerjaku.
Aku gamang atas jawaban untuk pertanyaan Devan. Jujur saja, ada sebagian kecil di dalam diriku untuk percaya pada Sania. Tapi, mengingat bagaimana penghianatan Sania dulu sepertinya ada hal yang tidak bisa aku percayai.
"Lo mau gue selidiki? Nggak bisa dalam waktu dekat sih," usul Devan yang melihatku diam saja.
"Nggak perlu," gumamku pelan. Devan menatapku dengan alis berkerut, dia memintaku untuk menjelaskannya lebih rinci. "Gue percaya dan yakin, Wenny jodoh gue," ujarku membuat Devan mendelik.
Aku tertawa pelan melihat Devan yang membuat mimik wajah jijik. Aku menarik ujung bibirku sedikit. "Gue nggak tahu kalau lo jago ngerayu, Mas," ujar Devan sambil bergidik pelan.
"Soal Sania, tolong Wenny jangan sampai tahu. Ibu tadi sudah aku peringatkan juga," kataku pada Devan yang mengangguk pelan.
"Jadi, Kak Wenny nggak tahu soal mantan istri lo itu ..."
"Bukan itu. Jangan sampai Wenny tahu Sania datang meminta rujuk. Soal siapa mantan istriku, dia sudah tahu semuanya," jelasku membuat Devan menghela napas lega.
Aku membenarkan letak kacamataku. Kembali menatap layar laptop yang ada, sedangkan Devan membuka ponselnya. Selama beberapa menit, tidak ada pembicaraan di antara kami.
"Besok gue pindah ke apartemen, Ibu dan Bapak juga langsung pulang setelah acara resepsi kan?" ungkap Devan dan aku hanya menganggukkan kepala pelan.
Aku dan Wenny akan tinggal di rumah ini setelah menikah nanti. Aku berharap pernikahan kami berjalan dengan baik.
Bersambung
Maaf ya kemarin aku nggak update. Aku lagi banyak kerjaan banget soalnya nih. Jangan lupa vote dan komentarnya ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Reason of Love (Selesai)
Literatura Kobieca(Spin Off Cinta Over Time, Bisa dibaca Terpisah) Wenny Kharisma, punya pengalaman pahit mengenai jatuh cinta. Sosok Wenny berubah, dari perempuan manja menjadi seorang yang pendiam dan terkesan dingin. Keluarga Wenny khawatir dengan kondisi Wenny sa...