12 : Gilang Singgih

90.5K 11.3K 660
                                    

"Saatnya melunasi hutang nih," gumamku sambil tersenyum tipis pada Wenny.

Dia menatapku sambil mengerjapkan mata. Senyum simpulnya pun mulai terbit, dia terlihat lebih cantik saat tersenyum. Wenny bahkan terlihat seperti remaja saat mengenakan pakaian kasual seperti sekarang.

"Mas pernah menikah, umur pernikahan tidak lah lama. Keputusan pengadilan keluar saat tepat usia pernikahan kami satu tahun." Aku memulai cerita sambil menatap Wenny. Memperhatikan ekspresi wajahnya yang terlihat sangat menyimak setiap kata yang aku lontarkan.

"Siapa yang menggugat?" tanya Wenny.

"Dia ..." Aku melihat Wenny sedikit kaget. Tapi, dia langsung menyesuaikan ekspresi wajahnya kembali. "Jujur, waktu itu Mas ingin mempertahankan pernikahan kami. Tapi, dia lebih memilih dunia ketenaran dan selingkuhannya yang juga seoarang model," ucapku.

Wenny berdeham pelan, dia seperti ingin bertanya tetapi ragu-ragu. "Sebenarnya salah Mas juga, terlalu sibuk dengan pekerjaan. Waktu itu Mas juga sedang kuliah S3, sedangkan dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai model," lanjutku.

"Dia pasti menyesal karena sudah berselingkuh," tutur Wenny.

Aku menggerakkan bahuku. "Entahlah. Sepertinya itu tidak benar, dia seorang model terkenal, kehilanganku bukan hal besar baginya," kataku. Aku menggapai tangan Wenny yang ada di atas meja, menggenggamnya lembut. "Kamu nggak tanya nama mantan istri Mas siapa, Wen?" Aku memperhatikan raut wajah Wenny yang tiba-tiba berubah menjadi tidak enak. Aku yakin dia pasti sudah mendengar selentingan rumor tentangku.

"Sebenarnya, orang-orang di kantor ada yang cerita-cerita gitu soal Mas dan mantan istri Mas. Aku tahu dia Sania Tanjaya kan?" Wenny memarken deretan giginya yang rapi, dia tersenyum lebar.

"Ya." Aku mengusap pelan punggung tangan Wenny dengan ibu jariku. Makanan yang kami pesan belum juga sampai sejak tadi.

Aku juga sudah mengabari Devan, dia berkata akan segera menyusul setelah mengurus beberapa urusan kantor. Aku tidak tahu, Wenny tahu atau tidak bahwa orang yang sebenarnya ingin dijodohkan dengan dirinya adalah Devan.

"Mas masih kontak dengan Sania? Maksudku kalian berpisah dengan baik-baik, bukan?" Wenny terlihat penasaran.

"Tidak ada komunikasi apa pun, tapi kalau bertemu pernah. Mungkin sekitar dua bulan yang lalu, saat dia menjadi dosen tamu di kampus," jelasku sambil menyelidiki ekspresi wajah Wenny. Tidak ada kesan kesal, dia terlihat santai saja.

Apa yang aku harapkan? Wenny cemburu? Sepertinya itu terlalu dini untuk diharapkan.

Wenny justru menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Ceritakan soal Devan," pinta Wenny kemudian.

"Devan?" tanyaku sedikit tidak yakin, Wenny menganggukkan kepalanya. "Kami cukup dekat, tapi tidak sampai mengetahui urusan satu sama lain. Yah, aku dan Devan suka menonton bola bersama, atau sekedar hangout bareng. Beberapa temanku juga teman Devan," jelasku.

Aku sebenarnya bingung bagaimana harus menceritakan soal Devan. Kami sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan pribadi masing-masing.

"Kata Wika ..." Wenny berhenti sejenak, aku menaikkan alisku memintanya melanjutkan kalimatnya. "Mas lebih ganteng dari Devan." Wenny berkata dengan sangat cepat dan dia langsung mengalihkan pandangannya saat aku tersenyum.

"Kata Wika? Jadi menurut kamu Mas nggak lebih ganteng dari Devan?" Aku menggoda Wenny sambil memainkan cincin pertunangan kami yang ada di jari manis Wenny.

"Aku kan belum pernah bertemu, Devan!" sungutnya.

Aku tertawa pelan melihat reaksi Wenny yang malu-malu seperti ini. Aku seperti melihat sisi lain dari Wenny, bahwa dia sebenarnya bisa bersikap manja. Aku kira Wenny ini seperti perempuan dingin yang sulit sekali diajak bercanda, ternyata aku salah.

"Sebenarnya, tadinya Ibu ingin menjodohkan kamu dengan Devan. Bukan dengan Mas," kataku memberitahu informasi ini pada Wenny.

Mata Wenny melebar kaget. Tetapi, kemudian dia mendengus pelan dan berkata, "Aku nggak suka brondong!" Aku sukses tertawa melihat Wenny yang seperti ini.

∞∞∞

Aku dan Wenny membahas banyak hal, lebih banyak tentang diriku. Tentang Wenny, dia hanya akan bercerita jika aku tanya. Tadinya, aku ingin bertanya soal pria yang ribut dengannya di depan mini market, tetapi terhalang karena Devan datang.

Tidak lama setelah Devan bergabung, makanan juga mulai tersaji di atas meja. Kami pun memilih makan terlebih dahulu setelah perkenalan singkat antara Devan dan Wenny. Adikku yang tidak tahu malu itu bahkan sempat menendang pelan kakiku di bawah meja. Entah apa maksudnya, aku tidak paham.

Sebuah garpu mampir ke atas piringku, ada lalapan rebus di atas piringku. Tentunya juga ada terong rebus, yang berbentuk seperti tomat tetapi berwarna ungu. Wenny mengambil alih terong tersebut, menukarnya dengan buncis rebus miliknya.

Kemudian, aku menyendokkan sambal milikku dan memindahkannya ke piring milik Wenny. Aku tidak bisa makan sambal begitu banyak, bisa-bisa aku akan kebanjiran keringat dan kemudian disusul oleh sakit perut.

"Ehem!" dehaman itu terdengar dari arah Devan. Dia membuat suara dehaman sangat besar dan sepertinya sengaja.

Wenny menundukkan kepalanya malu, dia melanjutkan makan dalam diam. Sementara aku menendang kaki Devan yang ada di bawah meja. Memberinya kode untuk tidak berbuat hal yang aneh-aneh.

"Emang bener deh Kak Wenny dijodohin sama lo, Mas. Kalau sama gue yang ada rebutan terong dan sambal terus." Devan berkata demikian karena dia memang sangat menyukai sambal. Tidak pilih-pilih makanan juga seperti diriku.

Aku melirik Devan, memberinya peringatan untuk tidak berkata hal yang aneh-aneh. Tapi, namanya juga Devan. Dia tidak akan menyerah begitu saja.

"Mas Gilang ini pemilih banget kalau makan, Kak Wen. Dia tidak terlalu suka yang banyak-banyak minyak, terus juga maunya yang matang sempurna. Nggak suka pedas, sukanya yang manis-manis." Devan menggelengkan kepalanya dramatis sambil berdecak pelan di ujung kalimat.

Wenny menatapku dan tersenyum, dia sepertinya tidak kaget dengan hal yang dikatakan Devan. "Sudah tahu, beberapa kali makan bareng Mas Gilang aku sudah bisa lihat hal itu kok," sahut Wenny membuatku tersenyum bangga.

"Kalau sudah menikah nanti, Kak Wenny bakalan melihat segala macam sifat Mas Gilang yang menyebalkan," tambah Devan yang masih saja berusaha menjatuhkan image-ku.

"Sepertinya justru aku yang akan terbongkar semua kelakuanku. Mas Gilang harus banyak bersabar sama aku kayaknya." Wenny menampilkan senyum manisnya. "Aku nggak bisa masak, ngurus rumah juga jarang tapi kayaknya bisa. Terus nggak bisa bawa kendaraan, kemana-mana harus diantara dan dijemput," lanjut Wenny membuat Devan kini berdeham pelan.

"Gue bisa bayangin, siapa yang bakal pusing di sini," gumam Devan membuatku tersenyum tipis. Sementara Wenny meringis malu.

"Saat sedang makan jangan terlalu banyak berbicara," ujarku.

"Nah! Ini nih yang nggak asik. Lo tuh seperti orang tua, Mas." Devan terlihat sebal.

Aku diam saja dan melanjutkan makanku, Wenny juga mengikuti ucapanku. Dia tidak lagi menimpali Devan, sehingga Devan juga diam saja. Kami menghabiskan makanan dan melanjutkan acara dengan ngobrol santai dengan dua gelas kopi susu dan satu gelas ice lemon tea.

Bersambung

Hari ini aku update kayak makan obat ya, tiga kali sehari~

Hari ini aku update kayak makan obat ya, tiga kali sehari~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Reason of Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang