"Kamu kenapa, Wen?" Gilang bertanya saat aku masih berada di balik selimut. Rasanya kepalaku pusing dan pagi hari selalu merasa dingin.
"Pusing, Mas," gumamku.
Aku duduk bersandar di atas tempat tidur sambil memijat pelan pelipisku. Gilang yang sedang mengancingkan tangan kemejanya menatapku. Dia terlihat khawatir, karena sejak beberapa hari ini aku merasa lemas dan mudah lelah.
"Tidak apa-apa Mas tinggal? Atau Mas ..."
"Nggak papa." Aku memotong cepat ucapan Gilang, tahu dia akan membolos bekerja. Dia punya tanggung jawab moral yang besar sebagai dosen.
Gilang mendekat padaku, dia mengusap pelan kepalaku. "Istirahat, Mas akan segera pulang. Kebetulan hanya dua kelas," jelasnya yang aku jawab dengan anggukkan.
Aku kembali berbaring di tempat tidur, Gilang menyelimutiku. Dia mencium dahiku pelan sebelum akhirnya berpamitan pergi bekerja. Aku sudah memanggil Wika sejak tadi pagi. Aku mau minta antar Wika ke dokter.
Selama lima belas menit aku masih tidur-tiduran, melamunkan banyak hal tentang pertemuanku dengan Gilang. Tentang bagaimana perlakuan Gilang yang cukup baik dan lama kelamaan manis. Manusia tidak ada yang sempurna, wajar jika aku dan Gilang melalui fase dimana saling meng-upgrade diri sendiri.
Seiring berjalannya waktu aku jatuh pada pesona Gilang. Bagaimana sabarnya Gilang menghadapiku yang manja. Gilang yang bahkan tidak pernah protes ketika aku suruh beli makan di luar. Gilang yang tidak pernah bawel karena aku lebih banyak bermalas-malasan jika di rumah.
Benar kata orang, mencintai itu tentang bagaimana kita saling menerima pasangan. Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dipandang bagaimana?
Dari Gilang aku belajar satu hal, ketika kita bersama dengan orang itu maka cintai dan sayangi dia. Tidak akan ada yang tahu kira-kira penyesalan apa yang terjadi jika kita hanya mempermainkannya.
Aku selalu berharap kehidupan pernikahanku dan Gilang selalu baik-baik saja. meskipun ada perselisihan, semuanya dapat dilalui dengan baik. Komunikasi selalu menjadi hal utama yang perlu dalam sebuah hubungan.
Ponselku berdering pelan, aku memang memasang alarm agar aku tidak kebablasan. Tadi subuh, saat Gilang masih terlelap aku sudah terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Menjelang siang, aku justru mengalami pusing.
Aku turun dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi. Aku akan bersiap untuk pergi ke dokter. Wika pasti akan muncul tepat waktu, dia memang cerminan dari seorang Putra Mahesa yang selalu on time.
∞∞∞
"Kak HP lo mana? Hubungi Mas Gilang deh," tutur Wika semangat.
Demi menemaniku, Wika meminta Putra membawa Irish bekerja. Ini karena Ibu dan Ayah sedang keluar kota, mengunjungi orang tua Gilang. Rencananya aku dan Gilang akan menyusul lusa nanti.
"Nanti saja, ini kan belum tentu hasilnya hamil," ujarku sambil merogoh mencari ponselku di dalam tas. Tadi, saat aku dari dokter umum justru dirujuk ke dokter kandungan. Katanya aku kemungkinan besar sedang hamil. Tentu aku bahagia luar biasa. "HP gue kayaknya tinggal," gumamku sata tidak menemukan ponselku di dalam tas atau dikantong celana.
Wika bedecak pelan. "Pakai HP gue aja kalau gitu, Mas Gilang suruh nyusul ke sini." Wika menyodorkan ponselnya padaku.
"Nanti saja, kalau hasilnya sudah keluar." Aku masih bersihkeras ingin menunda mengabari Gilang yang pasti sedang mengajar. Aku bisa mengabarinya nanti, butuh hasil yang pasti dulu. Aku tidak ingin Gilang kecewa jika hasilnya berbeda.
Aku dan Wika duduk di kursi tunggu. Jelas aku gugup menunggu namaku dipanggil, aku bahkan meremas-remas tanganku. Untunglah ada Wika yang menemaniku, dia mengusap bahuku, menenangkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Reason of Love (Selesai)
Literatura Feminina(Spin Off Cinta Over Time, Bisa dibaca Terpisah) Wenny Kharisma, punya pengalaman pahit mengenai jatuh cinta. Sosok Wenny berubah, dari perempuan manja menjadi seorang yang pendiam dan terkesan dingin. Keluarga Wenny khawatir dengan kondisi Wenny sa...