36 : Gilang Singgih

83.5K 10.3K 421
                                    

Wenny menatapku kesal, di tangannya terdapat ponselku. Dia mengacungkan benda tersebut, tatapannya perlahan berubah menjadi sedih. "Tega kamu sembunyiin surat ini Mas! Memangnya kenapa kalau aku tahu?" tanya Wenny yang kemudian menitikan air mata.

Aku paham maksud pertanyaan Wenny, dia menanyakan tentang surat peninggalan Sania. Wenny pasti mendapati foto surat tersebut di ponselku. Bukannya aku tidak ingin jujur, aku hanya tidak ingin menambah beban pikiran Wenny.

"Sayang ..."

"Sayang kamu bilang Mas? Orang sayang nggak akan sembunyiin hal kayak gini! Aku kecewa sama kamu, Mas." Wenny memotong perkataanku, dia terduduk di tepi tempat tidur.

Aku berjongkok di hadapan Wenny, mencoba meraih tangan Wenny yang masih menggenggam ponselku. Dia menolakku, Wenny menghindari tanganku. Wajahnya terpaling ke samping kiri, dia tidak ingin menatapku.

"Aku mau ke rumah Ibu, mau nginap di sana," gumam Wenny membuatku terbelalak kaget.

"Wen, kalau ada masalah jangan begini. Apa-apa ke rumah Ibu," kataku pelan.

Wenny berdiri dari duduknya, dia menghempas ponselku ke atas tempat tidur. "Kenapa? Mas nggak suka?" Wenny membentakku.

Aku berdiri dan menatap Wenny tajam. "Iya! Mas nggak suka sama kamu yang kekanakan seperti ini, manja, tidak mau mendengar penjelasan terlebih dahulu," ucapku.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tamparan di pipiku. Wenny menamparku dengan keras. "Tega kamu bilang gitu sama aku Mas! Kalau begitu kenapa kamu nikahi aku? Hah!" teriak Wenny kesal.

Wenny langsung meninggalkan kamar. Aku berusaha menyusul Wenny yang justru membuatku menabrak ujung pintu. Tanganku yang masih digips membuatku meringis. Aku melihat Wenny yang sudah keluar dari rumah, kemudian disusul suara mesin mobil. Sepertinya Wenny pergi ke rumah Ibu dengan diantar Pak Darman.

"Kak Wenny kenapa?" Devan muncul di ruang tamu. Aku melihat beberapa berkas yang Devan bawa, dia ingin meminta bantuanku untuk proyek terbaru. "Berantem lo, Mas?" tanya Devan lagi.

Aku tidak mendengarkan Devan, lebih memilih kembali ke kamarku. Devan menunggu di ruang keluarga. Aku mengambil ponselku yang dihempas Wenny tadi. Mencari kontak Pak Darman di dalamnya.

"Terima kasih ya Pak, tolong diantarkan sampai tujuan," pesanku pada Pak Darman setelah beliau mengatakan Wenny minta diantar ke komplek sebelah yang artinya ke rumah mertuaku.

Aku tidak bisa langsung membujuk Wenny karena aku sendiri masih merasa kesal. Belakangan ini mood-ku tidak begitu bagus. Belum lagi permasalahan di rumah produksi, beberapa produk gagal muncul karena bahan baku yang tidak berkualitas.

Devan, dia membantuku kemarin untuk menyelesaikan permasalahan. Sebagai gantinya aku harus membantunya untuk proyek terbaru miliknya. Aku tidak bisa menolak, ini win-win solution yang baik.

"Lo nggak mau nyusulin Kak Wenny, Mas?" Devan bertanya sembari menyerahkan berkas yang dibawanya kepadaku.

Aku diam saja, memilih mempelajari berkas yang diberikan Devan. Sementara Nayla muncul meletakkan dua cangkir teh manis. Aku melirik Nayla yang melirik-lirik pada Devan.

"Lo pelajarin saja dulu Mas. Gue nggak enak ke sini lo lagi ribut," ujar Devan membuatku menutup map yang sedang aku buka.

Aku meletakkan berkas tersebut ke atas coffee table. "Antar gue ke komplek sebelah!" ajakku pada Devan.

Aku bangun dari dudukku, sementara Devan terlihat akan protes. Aku melirik tangan kananku. "Lo nggak kasihan sama gue? Nggak bisa nyusulin istri sendiri yang lagi ngambek," kataku membuat Devan menghela napas kasar.

"Lo benar-benar berhutang banyak sama gue, Mas!" keluh Devan yang tetap saja menurutiku.

∞∞∞

Devan hanya mengantarku sampai depan rumah Ibu. Dia bilang sedang ada pekerjaan penting dan tidak bisa ditinggal lama-lama. Aku pun juga hanya mengangguk dan membiarkan Devan pergi.

"Wenny ada di kamarnya, Lang." Ibu yang menyambutku langsung memberitahuku dimana Wenny. Aku sudah berpesan pada Pak Darman untuk pulang ke rumah. Sepertinya akan lama untuk membujuk Wenny. Salahku juga yang kelepasan membentaknya, mengucapkan kalimat yang pastinya menyakiti hati Wenny.

Setelah permisi dengan Ibu, aku langsung ke lantai dua dan mengetuk pintu kamar Wenny. Saat aku menekan pegangan pintu tersebut ternyata terkunci.

"Wen!" Aku mengetuk pintu kamar Wenny sambil memanggilnya.

Tidak ada sahutan dari Wenny, tapi aku mendengar suara ponselnya berbunyi. Wenny memutar lagu kencang-kencang. Sepertinya sengaja agar dia tidak mendengar panggilanku.

"Wen ... buka pintunya," ujarku lagi.

"Pulang sana Mas!" teriak Wenny yang mengusirku.

"Nggak mau," ucapku yang tetap berdiri di depan pintu kamar sambil mengetuk-ngetuk di pintu kamar. Membuat irama dari ketukan tersebut. "Kamu rela Mas berdua saja sama Nayla?" tanyaku kemudian sambil mengulum senyum.

Wenny paling kesal dan cemburu jika aku berdua saja dengan Nayla di rumah. Dia bahkan sempat menjuteki Nayla, membuat Nayla sampai ketakutan dengan Wenny. Padahal, aku hampir tidak pernah berdua saja dengan Nayla di rumah, bahkan aku lebih sering ke rumah Ibu jika Wenny kerja.

"Wen ... Mas tungguin di depan pintu," kataku yang akhirnya bersandar di dinding dekat pintu kamar Wenny.

Aku menunduk menatap lantai rumah. Bosan karena tidak ada juga tanggapan dari Wenny yang sepertinya nyaman saja di dalam kamar. Aku menghela napasku pelan, kemudian mengangkat kepalaku dan melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat.

"Mas minta maaf, Wen. Mas nggak berniat menyembunyikannya, hanya tidak mau kamu merasa bersalah. Mas tidak mau apa pun yang berhubungan dengan Sania mempengaruhi kamu." Aku memulai menjelaskannya, perlahan suara musik di dalam kamar mereda. Aku tersenyum tipis bahwa Wenny ternyata mendengarkanku.

"Bukan salah kita Sania pergi, bukan salah kamu menikah dengan Mas. Bukan salah siapa-siapa Wen. Mas nggak pernah berharap buat hal seperti ini terjadi. Menyesal? Mas tidak pernah menyesal bercerai dan menikah denganmu. Merasa bersalah? Jujur dulu Mas sempat merasakan hal tersebut. Sayangnya semua berubah karena Mas cinta sama kamu," kataku panjang lebar.

Tidak ada tanggapan apa pun dari dalam kamar. Hanya suara musik tidak lagi terdengar mengalun. Aku yang lelah berdiri perlahan duduk di lantai dan bersandar di dinding.

"Maaf Mas sudah mengatakan hal yang kasar," ujarku pelan.

Dari tangga aku melihat seorang berdiri di sana, Wika berdiri dengan Irish yang tertidur. Dia tersenyum tipis padaku. "Semangat uncle," tutur Wika berbisik pelan menirukan suara anak kecil. Aku menganggukkan kepalaku, dan melihat Wika masuk ke dalam kamarnya bersama Irish.

"Mas beneran diusir pulang, Wen? Kamu yakin? Mas berdua saja loh nanti sama Nayla," kataku yang sengaja menggoda Wenny agar keluar kamar.

Hampir setengah jam aku duduk di sini dan tidak ada tanggapan apa pun dari Wenny. Sepertinya Wenny benar-benar marah padaku. Dia bahkan tidak menanggapi godaanku perihal Nayla. Mungkin aku harus mencari cara lain agar Wenny mau keluar dari kamarnya.

Bersambung

Yuk ramaikan yuk
Kangen nggak sama aku? hihihi

Yuk ramaikan yukKangen nggak sama aku? hihihi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Reason of Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang