05 : Wenny Kharisma

91.9K 11.2K 473
                                    

"Irish sayang cepat besar ya, biar bisa main sama aunty," ujarku pada Irish yang sedang tengkurap di atas tempat tidurku.

Sejak siang tadi Wika dan Irish ada di rumah, ketika aku pulang kerja aku menemukan Irish sedang tidur di kamarku. Sedangkan induknya sedang membantu Ibu di dapur, aku kini bertugas menjaga Irish yang sudah terbangun.

Aku sudah rapi, dengan dress simpel dan make up tipis. Beberapa jam lagi keluarga calon suamiku akan datang. Kata Ibu dan Ayah, tidak ada acara lamaran hanya pertemuan keluarga. Langsung membahas mengenai pernikahan, aku dan calon suamiku yang katanya bernama Gilang Singgih sudah sama-sama setuju untuk menikah.

"Kak ..." aku mendengar suara Wika. Saat aku melihat ke arah pintu Wika berdiri di sana. Sedangkan Irish, dia sedang membelakangi pintu kamar, sehingga sibuk mencari asal suara Mamanya. "Lo beneran yakin?" Wika bertanya sambil mendekat ke arahku dan Irish.

"Kata lo orangnya ganteng. Gimana sih," cibirku sambil tersenyum tipis.

Wika menatapku dengan senyuman, dia mengangkat Irish. "Gue maunya lo bahagia Kak. Kalau orangnya ganteng tapi lo nggak bahagia gimana?" tanya Wika dengan raut wajah yang sedih. Dia menatap Irish yang sedang berusaha memasukkan kepalan tangannya ke dalam mulut.

Aku berdiri dan mencium Irish gemas. "Kebahagiaan itu apa sih Ka?" Aku menatap Wika yang hanya diam, menunggu aku melanjutkan kalimatku. "Kebahagiaan itu datang ketika kita ikhlas dan bersyukur dengan apa yang sudah diberikan kepada kita. Kebahagiaan gue ya gue yang ciptakan sendiri," lanjutku.

Wika menghela napasnya pelan. "Tapi ..."

"Nggak ada tapi-tapian. Selama gue ikhlas dan bersyukur, gue pasti bahagia," tuturku memotong ucapan Wika.

Akhirnya Wika hanya menganggukkan kepalanya. "AAAAA...." saat itu terdengar suara Irish yang berteriak tidak jelas dan berceloteh sendiri. Aku mengusap pelan pipi gembul Irish dan kemudian meninggalkan kamar.

Aku turun ke lantai satu, di sana ada Ayah yang sedang mengobrol dengan menantu kesayangannya –Putra Mahesa. Selalu seperti itu, jika mereka tahu Irish sudah bangun maka Irish akan ikutan duduk di pangkuan Putra, mendengarkan cerita kedua pria beda generasi itu mengenai dunia bisnis.

"Ada yang bisa Wenny bantu, Bu?" tanyaku pada Ibu saat masuk ke dapur. Maklum saja, karena aku dulu sangat manja jadi aku tidak bisa memasak. Aku terbiasa dimanja oleh semua orang yang ada di rumah.

Di antara aku dan Wika, sudah pasti Wika yang lebih mandiri. Jangankan memasak, aku membawa kendaraan saja tidak bisa. Kemana-mana harus diantara, nebeng, naik angkutan umum atau naik ojek.

Ibu menatapku dengan senyum yang tersungging lebar, baru kali ini aku melihat senyum bahagia Ibu untukku. Sebelumnya Ibu selalu tersenyum seperti ini pada Wika, saat adikku menikah, Wika hamil dan saat Irish menyapa dunia.

"Ibu sayang banget sama kamu, Wen," ujar Ibu yang kini berdiri di depanku. Beliau memegang kedua lenganku, mengusapnya pelan. Ada senyum di bibir beliau, tapi matanya berkaca-kaca.

Aku menjadi tidak bisa untuk tidak ikutan berkaca-kaca. Melihat Ibu yang seperti ini membuatku ingat bagaimana beliau sering membelaku. Bagaimana Ibu menguatkanku selama ini untuk terus menata hatiku dengan baik.

Aku memeluk Ibu, membuat tangisku dan Ibu pecah. "Maafkan Wenny, Bu. Wenny banyak berbuat kesalahan dan menyakiti, Ibu." Aku berbisik di sela-sela tangisanku.

Saat ini, aku hanya ingin Ibu tahu bahwa aku menyayangi beliau. Aku tidak bermaksud membuat beliau selama ini sedih dan khawatir dengan diriku. Aku percaya bahwa pilihan Ibu pastilah yang terbaik untukku.

∞∞∞

Ruang tamu malam ini terlihat lebih ramai, ada Ayah, Ibu, Wika, Putra dan Irish yang duduk anteng di pangkuan Putra. Tidak hanya ada keluargaku sebenarnya, keluarga calon suamiku juga telah sampai.

Ya, yang duduk berhadapan denganku sekarang memang Gilang Singgih. Dosen tampan idola Mbak Mayang dan Mbak Virni. Di sebelahnya duduk kedua calon mertuaku.

Wika yang duduk di sebelahku menyenggol pelan lenganku. "Yang gue lihat kemarin bukan Ini, Kak," bisiknya. Aku menatap Wika dengan heran. "Tapi, ini lebih ganteng. Auranya itu loh, lebih kalem," lanjut Wika.

Aku tidak membalas apa pun ucapan Wika, lebih memilih menatap ke depan dan mendapati Gilang yang juga sedang menatapku. Aku pun berusaha untuk menarik senyum sopan, setidaknya kami sudah saling kenal. Aku kira dia tidak akan membalas senyumku, namun ternyata aku salah, Gilang juga tersenyum tipis sebentar, sangat sebentar.

"Pernikahannya dilangsungkan dua bulan lagi bagaimana?" tanya calon mertuaku –Om Ridwan Singgih.

Dua bulan? Itu waktu yang singkat, aku bahkan belum terlalu mengenal calon suamiku. Wika sibuk menjawili tanganku, tapi aku diam saja, lebih memilih menunggu jawaban Ayah dan Ibu.

Ibu yang paham menepuk pelan punggung tanganku, beliau mengangguk menenangkanku. Tapi, entah kenapa aku merasa tidak bisa berpikir dengan tenang. Dua bulan, aku kira paling cepat itu tiga atau empat bulan ke depan.

"Boleh saya berbicara dengan Wenny sebentar?" tiba-tiba sebuah suara berat menyela, aku menatap Gilang yang kini menatap Ayah. Dia meminta izin pada Ayah untuk berbicara denganku.

Ayah menganggukkan kepalanya, Ibu pun mengangguk juga padaku. Keduanya mengizinkanku dan Gilang untuk berdiskusi secara mandiri. Aku pun bangun dari dudukku, begitu pula dengan Gilang.

Aku berjalan lebih dahulu menuju teras depan, Gilang mengikutiku. Kami menempati tempat duduk di teras rumah. Gilang terlihat berbeda malam ini, dia tidak terlihat seperti seorang dosen. Kalau aku tidak tahu dia dosen, aku pasti akan mengira Gilang seorang pengusaha sukses seperti Putra.

Benar kata Wika, dia punya aura yang berbeda.

"Jika kamu keberatan dengan waktu dua bulan, tidak apa-apa. Saya bisa memahami itu," ujarnya membuka suara. Aku menatap Gilang, dia juga menatapku.

Entah kenapa, aku menjadi berubah pikiran. Seperti kata banyak orang bahwa niat baik harus segera dilaksanakan, tidak baik menunda-nundanya. Bukankah pernikahan termasuk ke dalam niat baik?

"Saya tidak keberatan, bagi saya dua bulan cukup untuk mempersiapkan semuanya," sahutku akhirnya.

Gilang tersenyum tipis dan jujur saja dia terlihat sangat tampan. Aku mengerjap pelan dan kemudian mengalihkan pandanganku dari Gilang. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Sebenarnya, menurut saya satu bulan pun sudah cukup. Tapi, saya tidak mau membuat kamu kaget dan justru kabur ketakutan." Nada suara Gilang terdengar lebih lembut, aku tertawa kecil mendengar candaannya tersebut.

Tapi, sebenarnya aku ingin menyetujui ucapannya itu. "Ya, saya bisa kabur karena tidak siap," timpalku.

"Sepertinya, selama dua bulan ke depan saya akan sedikit merepotkan kamu untuk urusan pernikahan kita." Gilang menoleh padaku, aku pun juga menoleh padanya. "Saya ada penelitian ke beberapa desa, kemungkinan memakan waktu hampir dua bulan. Tapi, saya akan sesekali pulang," lanjutnya.

Aku ingin sekali mengumpatinya, protes dengan keras. Pernikahan ini, bukan hanya aku yang akan menjalaninya. Jika tahu begini, lebih baik diundur saja sampai waktu yang lebih tepat.

Bersambung

Ramaikan ya guys! Nanti agak malaman lagi aku update 1 bab lagi~

Ramaikan ya guys! Nanti agak malaman lagi aku update 1 bab lagi~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Reason of Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang