29 : Wenny Kharisma

80.4K 10.3K 403
                                    

Kepalaku terasa pusing, sepertinya ini akibat aku menangis. Terlalu lelah menangis aku sampai pindah ke tempat tidur dan masuk ke alam mimpi begitu saja. Bagun pagi Gilang sudah tidak ada di sebelahku.

Aku hanya menemukan sebuah chat di ponselku. Dari Gilang, dia mengatakan bahwa dia harus ke rumah produksi pagi-pagi. Saat melihat ke atas nakas tempat tidur aku menemukan semangkuk bubur ayam dan teh hangat. Sepertinya Gilang baru saja pergi, karena asap dari teh masih terlihat olehku.

Ponselku berdering saat aku saja masih berusaha untuk duduk di atas tempat tidur. Tertera nama Wika di layar ponsel. Aku tahu, anak ini pasti akan menjadi reporter dadakan. Ibu pasti cerita soal kedatangan Febriko kemarin.

Aku mengabaikan panggilan Wika, tidak ingin membahas masalah kemarin dulu. Aku saja belum membahasnya dengan Gilang yang justru pergi bekerja. Kesal saja, aku dibiarkan begitu saja dan dia lebih memilih bekerja.

"Sabar Wen, sabar." Aku bergumam pelan.

Setidaknya Gilang masih ingat untuk memberiku sarapan. Aku mengambil mangkuk bubur ayam, membawanya ke pangkuanku. Memakan bubur ayam yang ternyata lumayan enak, aku menghabiskan bubur ayam dengan cepat. Efek semalam aku tidak makan, terlalu sibuk menangis saja.

Setelah pusingku agak mereda aku turun dari tempat tidur. Membasuh wajahku di wastafel, mengikat rambutku dengan baik. Baru kemudian turun ke dapur dengan piring dan gelas kotor.

Sengaja aku meninggalkan ponselku di kamar, malas saja mendengar suaranya yang terus menjerit dan memamerkan nama Wika. Aku akan masak makan siang, siapa tahu Gilang pulang saat makan siang. Karena, di hari Sabtu jika Gilang tidak ada jadwal ngajar dia akan pulang saat siang.

Aku melihat isi kulkas yang menyedihkan, tidak ada sayuran di sana. Hanya ada ayam ungkep dari ibu dan sebungkus bakso ikan. Aku pun naik lagi ke kamar, mengambil dompet dan juga ponselku. Sepertinya Wika sudah menyerah menghubungiku.

∞∞∞

"Bu Wenny hari ini ikut arisan kan? Di rumah Ibu Parwita." Aku bertemu Bu RT saat sedang membeli sayur di Mang Dadang yang kebetulan sedang berhenti di depan rumahku.

Ada juga beberapa ibu-ibu yang turut membeli sayuran. Sudah berapa bulan ini aku ikut acara arisan RT dan komplek. Arisan RT akan diselenggarakan hari ini untuk bulan ini, sementara arisan komplek sudah pada hari Sabtu minggu lalu.

"Iya Bu, nanti saya ikut," jawabku sopan.

"Wen ntar kasih tips dong kok bisa mukamu mulus begitu," tutur Bu Dian yang memang selalu memandangku dengan lekat setiap berpapasan.

Aku hanya tersenyum bingung, bagaimana memberikan tipsnya? Menjabarkan bedak dan skin care apa saja yang aku gunakan? Itu sama saja aku membongkar pengeluaran wajahku.

"Pak Gilangnya kemana Bu? Saya jarang sekali lihat Pak Gilang di rumah." Kali ini Bu Nila yang bertanya. Beliau janda dua anak yang kabarnya suka menggoda bapak-bapak komplek sini.

Bu RT dan Bu Dian kompak berdeham pelan, sepertinya wajahku sudah tidak mengenakan karena Bu Nila yang menanyakan suamiku. Panas dong jelas! Janda ngapain nanya-nanya suami orang?

"Sedang ada pekerjaan. Maklum, suami saya memang sibuk. Kemarin baru pulang dari luar kota." Aku memberikan senyum terbaikku, sedikit memaksa memang. Biar si janda ini tahu bahwa yang dia tanya itu suamiku!

Tiba-tiba sebuah mobil keluaran terbaru berhenti di dekat pagar rumahku, jaraknya cukup dekat dengan gerobak sayur Mang Dadang yang sejak tadi menyimak obrolan kami. Aku tahu itu mobil siapa, sudah jelas itu milik Putra Mahesa.

Tidak lama kemudian Wika keluar dari mobil sambil menggendong Irish. Dari sisi kemudi Putra turun menyusul Wika, mengabil alih Irish. Penampilan keluarga itu membuat silau mata. Tidak ada yang tidak silau jika melihat penampilan Wika dan Putra yang selalu modis.

"Masih hidup Kak?" Wika bertanya dengan nada sinis. Tangan Wika mengambil dua buah terong, mengangsurkannya kepada Mang Dadang. "Buat sambal terong Kak. Putra pengen katanya," lanjut Wika.

"Siapa juga yang mau ngasih makan lo sekeluarga?" Aku mengambil kembali terong yang ada di tangan Mang Dadang, mengembalikannya ke tempat semula. "Mas Gilang nggak suka terong," tuturku membuat Wika mendengus dan tertawa mengejekku.

Aku tersenyum canggung pada ibu-ibu dan Mang Dadang karena keributan yang aku buat dengan Wika. Aku mendelik pada Wika, kemudian memberikan kode ke arah rumahku. Putra dan Irish bahkan masih berdiri di depan pintu rumah.

Wika yang paham akhirnya menyusul Putra dan Irish. Sementara aku menyelesaikan acara belanja, membayar sayuran yang aku beli. Terakhir berpamitan pada ibu-ibu yang lain dan langsung menyusul Wika.

∞∞∞

"Kok ada Irish?" Gilang bertanya saat aku membukakan pintu rumah sambil menggendong Irish. Di tangan Gilag ada terdapat dua bungkus keripik pisang cokelat.

Wika dan Putra datang rupanya ingin menitipkan Irish. Ibu dan Ayah sedang pergi ke acara kondangan. Sehingga tidak ada yang menjaga Irish. Sementara orang tua Irish yang petakilan itu pergi ke rumah Maya dan Varol. Irish tidak dibawa karena Azura –anak Maya dan Varol sedang sakit flu.

"Dititipin mak-bapaknya," sahutku sambil bersusah payah menyalami Gilang.

Aku sebenarnya masih kesal pada Gilang, tapi tidak mungkin berdebat dan ribut di depan Irish. Bayi ini pun sepertinya mulai mengantuk. Wika tadi menyusui Irish sebelum pergi, dia juga meninggalkan asinya di dalam botol susu untuk Irish.

Gilang meletakkan dua bungkus keripik pisang cokelat di atas meja di ruang keluarga, dia kemudian langsung menuju kamar mandi. Sepertinya mencuci tangan dan kaki. Baru kemudian dia mengambil Irish dari gendonganku.

"Jagain sebentar ya, Mas. Aku siapin makan siang dulu," kataku pada Gilang yang menghalangi jalanku. Aku mengernyit heran menatap Gilang yang justru tersenyum. Tiba-tiba Gilang mencium pipiku singkat.

"Terima kasih," ucapnya yang hanya aku jawab dengan anggukkan.

Aku meninggalkan Irish bersama Gilang di ruang keluarga. Aku hanya tinggal mengeluarkan dan menata masakan di atas meja makan. Tadi aku memasak dibantu Wika yang ternyata ada maunya.

Dari meja makan aku bisa melihat Gilang yang sedang menggoda Irish dengan mengusap dagunya ke tangan Irish. Gilang memang belum bercukur, sehingga ada janggut halus di dagunya.

Aku tersenyum menatap Irish yang tertawa geli, begitu pula dengan Gilang. Dia sudah terlihat seperti seorang ayah yang sedang mengajak bermain putrinya.

"Astaga." Aku bergumam pelan karena sadar sudah melamun.

Aku memulai menata kembali makanan di atas meja makan. Tetapi, aku teringat bahwa Gilang biasa minum teh madu jika pulang kerja. Semalam, dia melewatkan rutinitasnya karena sedang marah-marah.

"Mas ...." ucapanku terhenti saat kembali ke ruang keluarga dengan secangkir teh dan justru mendapati Gilang tidur dengan Irish. Keduanya tertidur atas karpet bulu yang cukup tebal, bantal sofa dijadikan Gilang sebagai bantal kepala untuk Irish.

Bersambung

Fans-nya si Irish mana nih? Bocah ini banyak banget yang nanyain, padahal belum bisa ngomong juga dia-_-
Lunas ya 3  bab aku hari ini~

Fans-nya si Irish mana nih? Bocah ini banyak banget yang nanyain, padahal belum bisa ngomong juga dia-_-Lunas ya 3  bab aku hari ini~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Reason of Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang