1

22 1 0
                                    

Suatu ketika kau berdoa kepada Tuhan dan kemudian Tuhan mengabulkan doamu di kemudian hari, apakah doa itu tetap berlaku?

Bagaimana jika yang kau minta adalah kematianmu sendiri? Hatimu tak begitu teguh untuk membunuh dirimu sendiri. Namun, secuil keberanian yang salah membawamu kepada doa yang kau impikan. Apakah kebodohan yang kau lakukan akan kau terima di kemudian hari? Jawab itu di masa depan nanti, nanti, ketika kau mungkin menyesali itu, atau mungkin tidak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dunia begitu dingin padaku sekarang, tidak, tidak hanya sekarang. Sudah sejak lama ini terjadi. Hidupku dipenuhi dengan tragedi, konflik, dan perampasan. Desember kemarin usiaku menginjak 18 tahun. Tidak ada hal yang berubah. Kengerian terus saja terjadi.

Bertahun-tahun aku belajar untuk berbohong. Berbohong itu sulit, tapi itu harus dilakukan. Berbohong bahwa aku bahagia membuatku semakin tidak apa-apa dalam kebohongan. Aku sudah lupa bagaimana caranya bermimpi. Sudah lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lupa bagaimana rasanya bersimpati. Semua enyah terkikis tragedi.

Menyedihkan. Aku bersyukur masih memiliki dua sahabat yang berarti, Ayana dan Farida. Sudah 5 tahun aku berteman dengan mereka. Bersyukur mereka selalu menerimaku apa adanya selama 4 tahun ini. Biar kuberitahu untuk jaga-jaga, bahwa buatku mereka adalah bunga. Bunga dalam hidupku yang penuh perampasan. Bunga yang begitu berharga dan memikiki arti. Seperti sebuah bunga yang diberikan kepada Tuhan. Memberikan kebahagiaan yang luas bagai penuh makna meski itu ditengah duka sekalipun.

Jujur saja hidupku sudah hancur, tentu saja sangat hancur. Kehidupan kuliahku berantakan di semester satu dan dua. Hampir saja aku menyerah dengan melempar jas almamterku ke sampah. Sungguh kewarasanku terenggut saat itu. Tapi apa daya mama tak memperbolehkanku keluar dari kampus. Saat itu keluarga sudah tak punya biaya untuk mengkuliahkanku.

Hari sudah larut. Disinilah aku sekarang, menghisapi putung rokokku yang tinggal separuh. Sekarang yang bisa kulakukan adalah bertahan hidup. Dalam film-film yang kutonton, sering kali terdengar kata-kata "dunia ini adalah neraka. Kini aku paham apa artinya itu. Contoh saja potongan kecilnya, yaitu, saat aku hidup dengan banyak orang yang membenciku. Heran rasanya terhadap mereka, untuk apa mereka membenciku yang bahkan aku tidak ingat pernah berbicara terhadap mereka. Ingatan itu membuatku teringat tentang kata-kata seseorang yang menjadi inspirasiku.

"Jika aku melihat pembenci sedang mengobarkan api kebenciannya didepanku dan aku mempunyai sebotol air, maka aku hanya akan duduk sambil meminum air dan melihat mereka bertingkah seperti orang idiot."
- Suga BTS/ Min Yoongi

Aku menyukai kata-kata itu. Tepatnya, sangat mengaguminya. Ingin rasanya sesekali melakukan hal itu. Lucunya lagi adalah ketika mereka yang membenci kita mengajak orang lain untuk membenci kita dan menyebar luaskan hal-hal yang tidak benar tanpa memikirkan logika. Harus kubilang gila atau idiot mereka itu, ck.

Keseharian hidupku merupakan yang terburuk. Katakan saja aku anak broken home, walaupun memang begitu kenyataannya. Keluarga ini pernah merasakan rasanya berlimang harta dan kemiskinan. Seperti sekarang ini, kami harus mati-matian bertahan hidup dari hinaan, cercaan, dan ekonomi keluarga yang tidak menentu. Kuakui untuk menghadapinya kau butuh keteguhan yang luar biasa. Entah bagaimana mama mampu melakukannya.

Keluargaku itu rumit, bahkan sampai silsilahnya. Papaku adalah tipe orang yang menggunakan kekerasan jika kantong uangnya kering. Demi langit dan bumi, dia itu B.O.D.O.H. Dia itu punya kepala, tapi tidak punya otak. Ketika mama sedang lahiran anak terakhirnya, papa justru sedang berbulan madu dengan selirnya. Aku yang baru selesai operasi jantung setelah beberapa harilah yang mengurus dan mendampingi mama hingga akhir lahiran. Ingin rasanya aku berdoa tentang kematian yang mengerikan buatnya. Tapi aku tidak mau terkena karma. Jadi, kucoba untuk bersabar karna tau kalau dia memang seorang bedebah.

Pekerjaannya tidak pernah lancar, tapi selalu menambah modal dengan utang. Manusia bodoh. Sekarang aku dan mama yang harus menanggung semuanya, sedangkan dia berhura-hura diluar sana. Laki-laki berengsek.

Peran papaku yang seperi itu membuatku trauma dan dipenuhi dendam. Selain itu, tidak ada lagi peran sosok "ayah yang menjadi figuran di keluarga ini. Terlebih lagi karna silsilah yang ambigu, aku tidak memiliki paman atau kakek. Membuatku semakin trauma dengan papaku, terutama dengan laki-laki.

Kondisi keluargaku membuatku mengalami depresi yang parah. Semakin parah ketika aku berusaha waras setiap harinya. Aku tidak pernah menangis ketika depresiku datang berkat bantuan musik-musik rock di handphoneku. Setiap malam selalu datang suara-suara yang meneriakiku. Suara itu datang untuk menghancurkanku tentang segalanya. Membuatku ingin mati dalam sekejap. Berdoa setiap malamnya agar Tuhan mencabut nyawaku. Tiap aku bergegas memejamkan mataku suara-suara itu terasa sigap bersuara meneriaki telingaku dan aku akan sangat paham mengapa orang-orang gila suka berteriak tiba-tiba. Jika suara itu datang aku akan bertahan menjaga rasa sakit. Terlalu banyak hingga lebih mirip neraka, bukan lagi rumah. Setiap ada masalah kemana aku harus pulang? Alasan kenapa aku selalu berdoa agar Tuhan mengambil nyawaku adalah karna aku tak memiliki rumah lagi untuk pulang. Tidak ada tempat yang hangat untuk kepulanganku. Mungkin saja disisi Tuhan lebih membuatku tenang dan damai. Hanya di alam sanalah kepulangan terakhir yang kupilih. Mungkin saja dapat berakhir bahagia. Akan tetapi, apa ini??Tuhan tidak pernah mengabulkan doaku. Aku tau akan banyak pertanggung jawaban disana. Aku paham itu. Tapi apa maksud semua ini? Kalian ingin aku terus hidup walau menderita daripada aku mati tapi bahagia?

Biadab kalian.

Hesa, Aku, dan Kami [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang