3

7 1 0
                                    


.
.
.
.
.
.
.

Sudah berhari-hari semenjak kejadian itu. Setelah pembicaraan dengan Mas Sofian mama menceritakan hal itu padaku. Hal ini cukup membuat depresiku makin parah. Suara-suara yang datang setelahnya lebih parah lagi. Akan tetapi, insomnia dan alunan musik rock menyelamatkanku dari mereka. Sisi buruknya kondisi fisikku semakin buruk.

Hari ini aku akan berangkat untuk acara makrab. Kami berangkat hari Jum'at pukul 14.00 WIB. Kesepakatan bersama makrab akan diadakan di Bantir. Aku tak terlalu paham mengenai tempat tersebut. Sesuatu yang kuketahui, tempat itu merupakan tempat semacam barak tentara jaman dahulu. Tapi, sekarang lebih aktif disewakan untuk kegiatan kepramukaan, dan lainnya.

Tidak banyak barang yang kubawa. Jaket angkatan, dua baju, sikat gigi, sabun cair, sabun muka, dan segala keperluan lainnya yang kugabungkan dalam satu ransel. Aku terkejut ketika melihat barang bawaan Ayana. Astaga?! Dia membawa satu ransel dan masih membawa koper.

"Ayana itu barang bawaan kenapa bisa banyak gitu? Udah kayak mau diusir aja." Kataku

"Kamu aja yang aneh. Barang bawaanmu bisa-bisanya cuma sedikit. Dira kamu pasti ga bawa selimut ya?"

"Kan udah ada jaket."

Mendengar itu Dira hanya menepuk jidat sambil geleng-geleng kepala. Kupikir, panitia nanti tak mungkin sesibuk ataupun seribet para maba-kan. Lagipula kenapa harus membawa banyak bawaan. Cukup satu ransel dan satunya lagi ransel kameraku.

Sudah banyak terlihat transportasi bis mini yang datang untuk mengangkut para maba. Artinya, sebentar lagi kita akan berangkat. Sambil menunggu anak divisi kepesertaan mengurus kehadiran maba, aku dan Ayana duduk bareng di bawah pohon.

"Motor kamu parkirin dimana Dir?" Tanya Ayana

"Aku parkirin di parkiran yang belakang, deket gedung Korea. Soalnya disini parkirannya buat parkir bis."

"Ya udah. Aku jadi bareng kamukan?"

"Jadilah."

Aku dan Ayana sepakat untuk naik sepeda motor bersama. Ada beberapa anak panitia yang naik sepeda motor, ada juga yang ikut gabung naik bis. Kebanyakan laki-laki yang naik motor, tapi karna aku dan Ayana sudah sering pergi ke daerah itu jadi diperbolehkan oleh divisi keamanan, hehe.

"Ay? Ini barang bawaan kamu banyak banget ya?"

"Terus gimana?"

"Ya engga gimana-gimana" cengirku.

"Kok ngeselin sih." Gerutu Ayana

Hal yang membuatku frustasi adalah koper Ayana. Meskipun bukan koper yang berukuran besar tapi itu membuatku tidak bisa duduk nyaman. Aku merasa selamat setelah Ayana menitipkan kopernya bersama teman yang naik bis. Syukurlah. Untuk kameraku aku taruh di dalam jok motor. Agar tidak terguncang aku manfaatkan saja selimut Ayana untuk mengisi ruang kosong dalam jok.

Perjalanan cukup panjang menurutku. Untunglah kami memakai masker anti debu. Bersaing dengan truk-truk berpolusi tebal membuatku kepanasan dan sesak napas. Ditambah matahari siang yang terik ini membuat semua menjadi sempurna. Semoga saja kulitku yang berwarna kuning langsat tidak berubah menjadi gosong.

Kami sampai setelah isya'. Terlihat ada sebuah lapangan di dalam area barak. Ada barak utama dan jika turun kebawah akan terlihat juga barak-barak lain. Terlihat mengagumkan.

Posisi jalan setapaknya menurun, jadi dari atas aku bisa melihat ada bis yang sudah sampai lebih dulu. Terlihat juga ada banyak maba yang sedang berkumpul di lapangan menunggu kehadiran mereka lengkap. Setelah memarkir motor, aku dan Ayana ikut berkumpul dengan panitia lain sambil menunggu bis berikutnya. Tepatnya juga sambil menunggu koper milik Ayana.

Mahesa sudah sampai terlebih dahulu ketimbang aku. Aku manatapinya aneh, mata kami saling bertemu tapi tak sedikitpun dia memalingkan pandangannya. Baju kotak-kotak, rambutnya yang ia kuncir kuda, dengan seputung rokok yang dihisapnya. Ada apa sih dengan anak itu? Aneh.

Saking senangnya berada disini, aku cengar-cengir dari awal setelah kami sampai. Ayana sampai heran dan kesal melihat tingkahku. Lucu sekali.

"Hei, gak usah cengar-cengir bisa?" Ucapnya.

"Enggak"

"Seneng banget ga sih Ay, berasa liburan ya kan." Ucapku antusias.

"Enggak tuh." Balas Ayana singkat, padat, dan jelas.

"Hiss, Ayana pelit."

"Apa?"

"Pelit katalah, masa jawabannya cuma segitu."

"Biarin."

Tidak lama Ayana berlari menuju ke salah satu teman kami. Ternyata dia hendak mengambil kopernya. Astaga. Sebenernya apa isi koper itu sampai-sampai Ayana membawa banyak barang.

Posisi barak panitia sudah ditentukan. Kamipun bergegas untuk masuk dan menata barang. Tidak terlalu sepi di barak panitia, setidaknya separuh barak terisi. Aku sangat takut dengan gelap. Maka dari itu akan sangat mengerikan kalau hanya ada beberapa orang di dalam barak.

"Ay, tidurnya jangan di pinggir ya. Agak tengahan aja." Kataku dengan nada takut.

"Iya-iya. Dasar anak TK."

"Enak aja. Emang kamu ga takut ya. Kadang kalau gelap kan suka kebayang hantu-hantu gitu."

"Aku mah enggak, hehe" kata Ayana mengejek.

"Cih, sial."

Ayana menjitak kepalaku dengan wajah mengejek. Dasar anak itu bisa-bisanya dia menjengkelkan. Sejak kecil aku memang takut gelap. Ketika gelap aku akan terbayang hal yang tidak-tidak. Sesuatu yang terparah adalah jika bayangan-bayangan orang itu datang. Orang-orang yang memiliki penghiburan atas penderitaanku. Tertawa terang-terangan ketika aku jatuh.

Sangat menyakitkan, tetapi aku tak boleh menagis ataupun lemah. Pilihan terbaik adalah berpura-pura bahagia membuat mereka tertipu dengan penampilanku yang tegar dan kesal sendirinya. Karna hanya penderitaan yang terjadi padaku yang membuat mereka terhibur. Itu lebih baik daripada lebih tersakiti lagi.

Aku dan Ayana adalah orang yang terakhir masuk ke dalam barak. Untung saja masih ada tempat di tengah. Memang tidak terlalu tengah, mungkin hampir di pinggir. Bersyukurlah aku.

Hesa, Aku, dan Kami [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang