6

8 1 0
                                    

Tidak semua kebahagiaan mampu menghapus luka masa lalu
.
.
.
.
.
.
.
.
"Gilak, Dira kenapa ni Sa?" Ucap Lalak yang merupakan salah satu tim medis.

"Tadi jatuh di jurang belakang barak panitia cewek, terus mimisan." Jawab Hesa buru-buru.

"Kalian berdua ngapain di belakang barak panitia cewek?" Tanya Tito.

"Aku tadi teriak minta tolong waktu Hesa mau ngambilin power bank Riana di barak." Sahutku.

Beberapa orang mulai panik mengobatiku. Mereka begitu panik melihat bajuku yang penuh dengan bekas darah mimisanku sebelumnya. Darah yang keluar di hidung juga tidak keluar lagi. Sebenarnya sudah tidak keluar lagi sejak peristiwa ciuman Hesa.

Jujur saja, aku tidak banyak tersentuh atas ciuman kami tadi. Dari awal aku memang hanya memiliki sedikit rasa empati, tak banyak sentuhan bahagia yang kurasakan. Mungkin lebih tepatnya kebahagiaan itu hanya lewat dalam perasaanku. Keberanianku tidak cukup untuk menyimpan kebahagiaam tersebut. Aku tidak tega rasanya membiarkan Hesa menyukaiku seperti ini, sebab ini akan sulit buatnya. Karna akan lebih dari ini untuk membuatku terkesan. Ini juga yang membuatku sedih. Maafkan aku Hesa.

"Dira!!!!!" Panggil Ayana dengan mata yang sudah hampir penuh dengan amarah.

Aku menelan salivaku tak bisa berkata-kata. Hal yang lebih mengerikan datang padaku ketimbang beribu masalah lain sekarang. Ingin rasanya kabur saja. Tamatlah riwayatku.

"Ngomong gak!!!" Bentak Ayana yang sudah duduk di sampingku dengan memicingkan matanya.

"Ini tadi eummm...., jatuh di belakang barak panitia cewek. Sehabis jatuh aku mimisan Ay." Ucapku pasrah kehabisan kata-kata.

"Kelihatan banget bohongnya. Udah pinter bohong?" Kata Ayana memojokkanku.

"Engga gitu, aduhhh" kataku sambil menggigit bibir bawah.

"Jangan-jangan karna manusia ini?" Ucap Ayana menilisik ke arah Mahesa yang sedang duduk di depanku.

"Kalo iya kenapa?" Balas Hesa cuek.

"Kamu apain dia?"

"Udahlah Ay, sekarang mending kondisiku dulu deh, udah lemes banget ini." Ucapku lesu.

"Ya udah, kamu istirahat. Buat dokumentasimu serahin ke aku aja, gak papa. Sekarang yang penting kamu istirahat."

"Btw, ngapain kamu masih disini?" Tanya Ayana kepada Hesa.

"Mau jagain Dirakan." Jawab Hesa santai.

"Ga usah biar aku yang jagain." Ketus Ayana.

"Loh, katanya tadi mau gantiin tugas Dira dulu. Itu acarakan belum selesai."

"Lah, kamu ngapain disini? Kamukan keamanan juga?"

"Keamaman mah banyak, gue gampang. Lah, loe malah disini padahal mau gantiin Dira? Loekan tau sendiri Dira bagian dokumentasi lho. Harus gercep (gerak cepat)."

"Cih" Tukas Ayana kalah telak.

Setelah itu, Ayana pergi meninggalkan kami berdua dengan wajah menginterogasi padaku dan Hesa. Selamat sih tapi kok merasa bersalah ya. Sudahlah. Meski begitu anak itu begitu peduli padaku. Kabar buruknya aku jadi berdua saja bersama Hesa.

Dalam barak medis kami hanya berdua. Memang ada beberapa orang lain, tapi mereka terpisah oleh tirai dan beberapa ranjang dari kami. Sudah lelah, jadi aku memustuskan untuk tiduran.

"Kriiiieeetttttt" suara kursi

"Hesa ngapain?"

"Geret kursi"

Hesa, Aku, dan Kami [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang