5

9 1 0
                                    

Daripada pergi ke barak medis, langkahku berbelok menuju barak panitia. Darah yang keluar dari hidungku tak kunjung berhenti. Dengan asal aku menyeka darah itu seadanya dengan kaos yang kukenakan. Terdapat remang-remang lampu di luar sekitaran barak. Kuluruskan langkahku menuju bagian belakang barak. Tidak ada seorangpun disana. Kupikir mungkin sekarang hampir seluruh wajahku merah karna darah yang kuseka dengan asal.

Kukeluarkan selusin rokok yang sengaja kusimpan dalam saku jaket. Rokok adalah salah satu obat yang dapat menyingkirkanku dari kegilaan dunia selain bar, wine, dan narkoba. Setidaknya itu alternatif termudah. Kuhisap sekuntum rokok dengan penuh hikmat. Sesekali aku menyeka darah yang keluar dari hidungku. Jika orang melihatku, aku tak bisa bayangkan seberapa muaknya mereka terhadapku.

Saat aku kecil, aku pernah berpikir tidak apa-apa untuk menderita demi orang lain. Tidak apa memilih menderita jika orang lain dapat bahagia dengan penderitaanku. Polos sekali, ck. Terlalu menderita sampai berpikiran begitu. Sekarang harapan pergi meninggalkanku atas nama kebahagiaan. Membuatku terpaksa pincang bersama derita. Haruskah sekarang kubilang kebagiaan itu indah atau kejam? Indah dengan kehangatannya, pergi dengan kejamnya.

Setelah ini Ayana pasti darah tinggi mengomeliku. Lihat saja, bajuku sekarang penuh dengan bekas darah. Sangat berantakan. Aku melepas jaket yang kukenakan. Membuat kaos tipis lengan panjangku menghembuskan udara dingin. Angin malam benar-benar berhembus kencang dengan kabut tipis.

"Srettt"

Aku tidak sanggup untuk kaget lagi melihat Hesa yang menyesuaikan duduknya di sampingku. Terlalu lelah untuk melihat kenyataan. Sebodoh amat ada orang yang melihatku. Tak akan kuhiraukan lagi. Sekarang seluruh pandanganku hanya terbatas pada masa lalu yang menghantuiku. Toh, aku tidak akan segan memperlihatkan wajah asliku kepada mereka. Persetan dengan orang-orang.

Hesa mengambil rokok yang tengah kuhisap dan menghisapnya. Hal itu membuatku sedikit marah, tapi tak kupedulikan. Tanpa peduli ia  aku mengambil kembali rokok yang baru. Pikiranku teralihkan kepada Hesa. Apa yang dipikirkan cowok tampan berotak konslet ini padaku. Mataku terarah padanya yang kusembunyikan dibalik tangan dalam tubuh yang terdekap. Rokok masih terpajang di tangan kiriku. Rasa penasaranku terlalu besar untuk tidak ditanyakan. Akhirnya, kalimat itu terlontar dari mulutku.

"Kamu kenapa sering ngelihatin aku?" Tanyaku penuh mata kepolosan dengan rokok yang kuhisap.

Cowok itu tak menjawab pertanyaanku. Ketika aku memandangnya, dia tengah fokus kepada rokok yang dia nikmati. Bahkan, matanya terpejam ketika menghembuskan asap dari benda laknat itu. Entah apa yang ada di pikirannya. Intinya tiba-tiba aku merasa tidak hanya aku yang sedang membawa beban. Aku tidak bersedih sendirian dan ini membuatku merasa nemiliki teman. Teman sepersedihan.

"Lo mau tau kenapa gue ngeliatin lo?"

"Eh?" Ucapku yang terkejut ketika Hesa tiba-tiba menjawab pertanyaanku.

"Lo mau taukan?" Ucapnya serius.

"Ya udah jawab aja." Ketusku

Sekali lagi Hesa menghisap rokoknya dalam-dalam, memejamkan matanya dan mengerutkan dahinya. Aku menatapnya penuh keraguan. Hal yang Hesa lakukan membuat perasaanku tidak enak. Kutatapnya dengan tatapan tajam, menelisik ke dalam gerak-geriknya mencoba mencari tau apa yang akan dia lakukan.

Cowok itu menghembuskan panjang asapnya, berusaha melepas beban yang ia pikirkan. Tangannya dengan cepat meraih tengkukku dan mendekatkan bibirnya dengan tidak sabar pada bibirku. Sial, mencoba melepaskan diripun aku tidak bisa. Tangan kananku terlanjur digenggam kuat-kuat oleh Hesa. Sedangkan tangan kiriku tak mampu mendorong tubuhnya lebih kuat lagi.

Bodohnya aku yang membuka mulut menuruti kemana alur bibir Hesa akan mengulumku. Bagus, sekarang kami benar-benar berciuman. Lidahnya tak membiarkan satu ruang kosongpun lepas. Bibirnya bergerak kemana ia mau mencicipi setiap inci dari bibirku. Kami saling bertukar saliva dan berbagi ruang pada mulut kami. Permainan yang diciptakan Hesa sangat mendesak juga memojokkanku secara halus. Membuatku jatuh dalam candu yang tak terbayangkan. Ketika aku tak sanggup menahan dorongannya, dia tak segan mendekatkan tengkukku lebih dekat lagi dengannya, yang justru membuat Hesa lebih gencar menarikku. Benar-benar tak membiarkanku lolos sedikitpun.

Kelembutan yang dibawa oleh Hesa, membuatku tersadar. Sadar akan kehangatan yang dia ingin sampaikan padaku. Kehangatan yang membuatku begitu terbuai dan akan selalu menginginkan hal ini. Tanpa kusadari aku terbawa suasana hingga perasaanku larut dalam kehangatan yang Hesa tawarkan. Begitu hangat hingga aku akhirnya pasrah dengan membalas ciuman Hesa. Pasrah dengan perasaan yang membawaku.

Nafas kami saling memburu, sampai pada akhirnya Hesa melepas tautannya dari bibirku. Aku menatapnya sendu, melihat air mata yang jatuh di sudut kirinya. Melihat matanya yang sudah memerah siap untuk melepaskan air mata.

Penampilanku sendiri berantakan. Kerudungku terlepas dan sepertinya dengan sengaja Hesa melepaskan ikat rambutku. Mataku juga masih sembab tak karuan. Lihat Hesa! dia masih amat rapi dengan jaket angkatan, rambut gondrong halusnya, dan segala keindahannya. Sial.

Mataku melihatnya sendu menatap kosong kearahku, membuatku tak tega terhadapnya. Membuatku tersadar akan kesedihanku. Tapi yang kurasakan kali ini berbeda. Aku sedih karna melihatnya ikut terluka. Seakan perasaannya tersampaikan padaku, aku mencium Hesa dengan lembut. Begitu juga Hesa, menciumku penuh pengertian dan penghayatan. Tanpa kami sangka air mata sudah membasahi kedua pipi kami. Semakin dalam dan semakin deras.

"Dira, maafin gue. Gue dari awal emang udah suka sama lo. Maaf kalo cara gue suka ke lo salah barusan. Jujur gue sebenernya ga ada niat. Gue ga tau banyak tentang lo, andai gue bisa ngurangin beban lo, gue berharap di dunia ini gue bisa jadi tempat kepulangan lo yang hangat. Maafin gue barusan."

Kepala Hesa masih tersandar tertunduk di bahuku. Aku pun juga diam membeku seribu bahasa. Tak tau harus menganggap pria ini bajingan atau brengsek. Entah juga kenapa di kepalaku bisa ada pemikiran begitu. Jelas sekarang yang aku rasakan campur aduk. Pengakuan Hesalah alasan utama yang membuatku begini.

"Gara-gara puisiku tadi ya? Udah gak usah dipikirin, cuma puisi kok."

"Dir kalo lo butuh gue, please jujur aja, buat gue berguna di hidup lo. Gue ga masalah lo bergantung sama gue. Gue justru lega dengan lo begitu."

Mulutku bergetar mendengar kata yang keluar dari seorang laki-laki bernama Mahesa Nanda ini. Seumur hidup tidak ada orang yang pernah begitu mengharapkanku. Memperbolehkanku bergantung padanya. Memberikan kehangatan pada mataku yang sendu. Sungguh, aku berterima kasih.

Air mata lagi-lagi mengalir dari mataku. Kali ini sudah tak terbendung lagi. Berusaha kutahan, namun justru isakanku yang semakin terdengar. Aku menangis di hadapan Hesa tanpa jeda. Membuatnya mengulurkan tangan, membawaku ke dalam pelukannya sekali lagi. Aku terlalu terluka hingga bahagia dengan apa yang dikatakan Hesa. Beribu syukur yang ada di kepalaku sekarang. Bersyukur aku pergi kemari, bersyukur Hesa membacakan puisiku tadi, bersyukur Hesa ada disini, dan bersyukur tentang banyak hal. Setelah berapa lama akhirnya aku tenang...

"Makasi udah ngomong gitu ke aku. Serius, aku bersyukur karna ada kamu. Thank you so much." Kataku

"Dir, gue serius ke lo. Menurut lo gimana?" Tanya Hesa dengan tatapan takut-takut.

"Gue ga tau Hes. Gue masih belum yakin. Gue masih takut." Ucapku terus terang.

"Ya udah, gue anter lo balik. Kita ke ruang medis dulu ngobatin mimisan lo tadi."

"Entar kalo ditanya bilang aja jatuh terus mimisan." Titahku kepada Hesa.

"..."

Setelah itu, kami meminta maaf terhadap tempat ini atas tindakan kami tadi. Takut-takut di tempat seperti ini mungkin terjadi sesuatu. Sebab, kata beberapa warga tempat ini termasuk ke dalam tempat angker dan bersejarah. Jadi, kami tak ingin membuat masalah.

Hesa, Aku, dan Kami [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang