14

18 2 0
                                    

Dear Hesa,

Hiii! This is me. Just me, I think.

Sulit untuk memahimu dari mata kehidupanku, begitu juga sebaliknya. Kita saling tidak tau-menau mengenai masa lalu ataupun masa depan. Entah itu milikmu atau juga milikku. Begitu banyak beban yang tak bisa kita bayangkan dari kedua masa itu.

Tapi sudahlah, aku disini untuk meminta maaf padamu. Manusia memang selalu memiliki kesalahan, namun aku menulis ini dengan tujuan untuk memperbaiki kesalahanku. Maafkan aku yang teledor mengesampingkan perasaanmu dan lebih mengutamakan hantu-hantu yang datang pada masa lalu. Aku bersalah untuk kata-kata itu. Aku menyesalinya.

Jujur, masih terasa sulit untukku membuatmu masuk ke dalam kehidupanku yang penuh keperihan. Trauma membawaku pada ketakutan untuk membawamu lebih jauh dalam kisah ini.

Meski begitu, aku selalu bersyukur untuk tiap perasaan yang begitu menghanyutkanku atupun kita. Perasaan yang selalu kau bawa dan kau selipkan di sela-sela hidupku akhir-akhir ini. Aku berterima kasih untuk waktu yang sesingkat itu. Meskipun singkat, bersamamu adalah ingatan berharga yang akan sulit aku lupakan.

Kasihku,

Dira.

***

Tak lama kemudian Hesa duduk disampingku. Kami berdua duduk di tepi air terjun dan melihat-lihat foto di kameraku satu demi satu. Betapa malunya aku saat Hesa membuka foto ketika dirinya sedang mengarahkan para peserta di persawahan tadi. Foto itu diambil olehku untuk menutupi rasa canggungku tadinya. Ukhhhhh. Hesa hanya cengingisan melihatnya.

Air yang menyejukkan terasa dingin di kaki kami. Suaranya membawa suasana yang tenang di hati dan pikiran. Duduk menikmati suasana yang begitu berharga bersama seseorang yang berharga. Bersamanya, bersama Hesa.

"Kluk." Aku menyandarkan kepalaku di bahu Hesa. Bahunya yang lebar membawaku pada perasaan hangat. Mataku terpejam bersamaan dengan tanganku yang ikut melingkar pada lengan Hesa. Tenang, damai, hanya itu yang kurasakan.

"Dira. Turun yuk! Anak-anak udah ada yang pada turun. Takutnya kita telat."

Refleks aku mendongak menatap Hesa. Astaga?! Telinga Hesa merah. Berbanding terbalik denganku yang merasa tenang dan damai. Di dalam hatinya Hesa meledak-ledak tak karuan, perasaannya campur aduk karena kelakuanku barusan ternyata.

"Pfffffttttt."

Hesa tak bergeming. Dia memalingkan wajah dan menutupi wajahnya dengan tangan. Bahkan, dia tak berpaling ketika aku menertawainya.

"Ayo! Aku udah siap."

"Bentar, gue gak mau lo basah-basahan gini. Lepas jaketnya. Lo pake kemeja gue aja, biar gue yang bawain jaket lo."

"Ooh." Aku baru sadar kalau ternyata Hesa memakai kemeja.

Pelan-pelan kami menuruni jalanan yang sama seperti tadi. Menikmati waktu dan saling menjaga satu sama lain. Akan tetapi, sesuatu tak terduga mengagetkanku. Tak sengaja aku melihat amplop surat yang kubuat di saku jaket Hesa.

"Anjirrr. Kapan Ayana kasih itu surat?! Kok Hesa gak ngomong apa-apa tadi."

Aku marah. Aku memang marah tapi kupikir lebih baik aku mencoba untuk menunggu. Mungkin Hesa ingin menentukan waktunya sendiri untuk membicarakan hal ini.

Kami sampai di barak sekitar pukul 14.00 WIB. Aku telah melihat Aya duduk manis di tempat tidurnya di barak panitia. Bersama handphonenya dapat kutebak dia sedang menonton BTS.

"Ay, sorry ya tadi aku tinggal."

"Oh, ga papa. Tadi aku rame kok sama anak-anak lain. Lagiankan bukan gara-gara kamu. Gara-gara si curut satu itu geret kamukan. Udah aku dibuat ditinggalin, terus dia minta tolong lagi. AWAS AJA DIA!" Ucap Aya dengan senyum yang tak terdefinisikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hesa, Aku, dan Kami [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang