11

10 1 0
                                    

Mencintaimu adalah hal terberat yang pernah kucoba.
Tapi, bukan berarti tidak mungkin.
Aku akan mencoba semampuku Hesa, untuk tidak mengecewakanmu.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Aku salah apa sama kamu Hesa? Apa pantas kamu berbuat begini?" Kataku penuh amarah dan getir.

"Aku ga suka kamu sedeket itu sama Kak Jordan. Kamu ga tau aja niat apa yang udah dia lakuin." Jawab Hesa tak kalah tinggi.

"Apa kata maaf dia kurang buat ngebuktiin. Dia udah nunjukin ketulusannya. Apa kamu ga bisa hargain itu sedikit? Aku disini berusaha kasih dia kesempatan sekali lagi. Aku mau dia berubah Hesa. Dan kamu juga, apa perlu sampai harus ngelakuin hal kayak gitu. Ini salah."

"GAK. AKU GAK SETUJU. Aku ga bisa biarin kamu deket sama Kak Jordan."

"Oke, terserah kamu. Aku juga minta maaf atas nama Kak Jordan ke kamu atas kejadian ini. Mau ga mau kalian ribut begini juga gara-gara aku. Jadi, sekali lagi aku minta maaf ke kamu atas nama Kak Jordan." Kataku melembut kepada Hesa.

"APA?! Apa harus kamu minta maaf pake nama dia? Mohon-mohon kayak gini ke aku demi dia. Yang bener aja Dira." Ucap Hesa yang semakin meninggi dengan memegang tanganku dengan erat dan tangan sisinya yang lain menyibakkan rambutnya dengan frustasi.

"Aku gak mau kejadiannya makin parah. Kenapa kamu gak nyoba baikan sama dia aja sih. Apa salahnya Hesa?" Kataku yang semakin kesal dengan pemikiran Hesa.

"Terserah. Toh, apa yang aku lakuin ini kamu gak bakal peduli. Bahkan, kamu juga ga bakalan bayangin seberapa besar perasaan aku ke kamu. Seberapa jauh itupun kamu gak akan pernah ngeliat aku. Kamu juga udah lupa tentang apa aja yang udah kita jalanin walau sesingkat apapun." Ucap Hesa.

"Tapi, kamu bahkan bukan siapa-siapaku." Jawabku reflek.

Mendengar kata itu Hesa terpaku. Dia memandangku dengan pandangan kecewa. Tangannya yang menggenggam tanganku, dilepasnya jauh-jauh dariku. Sekarang, bibirnya yang dulu sempat menyentuh lembut bibirku, tersenyum sinis kearahku. Terakhir, dia pergi meninggalkanku melangkah pergi hingga raganya tak terlihat lagi.

Aku pasrah terjongkok di bawah dan menunduk. Kulipat tanganku hingga keatas kepala berusaha menjatuhkan beban yang terlanjur terjadi. Apa maunya? Dan apa mauku? Itulah pertanyaan yang terngiang-ngiang dalam pikiranku.

Sekarang Hesa telah pergi bersama segala kenangan yang ia bawa. Situasi ini membingungkan untukku. Mungkin, daripada memikirkan masa lalu, lebih baik memikirkan kedepannya.

Gontai kakiku melangkah kedepan menjemput Ayana. Kebingungan juga perasaan kehilangan yang baru kali ini kurasakan terasa begitu mengganggu dipikiranku. Bayang-bayang Hesa membuatku lupa akan segala tentang masalah hidupku yang lain.

"Inikah yang dinamakan bahwa cinta itu buta?"tekaku dalam hati.

"Ah?!" Aku tersentak

"Sssttt, udah selesai ngomongnya sama Hesa? Kok tadi waktu dia keluar raut wajahnya gitu Dir?"

"Eh?" Jawabku bingung.

"Lagi ngelamun ya Dir? Hiss, kebiasaan nih."

"Anjir, bikin kaget aja kamu."

"Hehe, kaget ya. Jadi, tadi gimana?"

"Kacau. Nanti aja aku ceritanya ya."

"Iya deh, gak penasaran-penasaran amat juga."

"Btw, kamu ngapain aja dari tadi aku tinggal."

"Tadi sih ngobrol sama anak2 lain. Abis mereka pergi, aku nonton Run BTS. Gila, jaringan di deket barak medis jaringannya bagus banget.

"Ih jahat. Ga ngajak."

Hesa, Aku, dan Kami [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang