Bagian 24 [Terima Kasih, Najwa]

22.2K 1.8K 124
                                    

"Bahagia itu bukan hanya tentang bahagia untuk diri sendiri, tapi bahagia juga tentang bahagia untuk orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bahagia itu bukan hanya tentang bahagia untuk diri sendiri, tapi bahagia juga tentang bahagia untuk orang lain."

_Malaika Farida Najwa_

_Malaika Farida Najwa_

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~MUN 2~

Apa aku pantas merasa malu untuk pergi? Pertanyaan itu kuajukan untuk diriku sendiri. Gamis berwarna tosca itu tergantung tepat di depanku. Aku menatapnya cukup lama, tanpa berniat untuk memakainya. Padahal sebentar lagi aku dan mas Fadlan akan pergi ke acara resepsi pernikahan Jihan dan kak Adnan. Aku menghela nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tanganku menumpu di atas ranjang, menahan berat badanku agar tak jatuh. Aku benar-benar bingung sekarang. Apa aku harus pergi?

Aku takut tidak berani menatap Jihan dan kak Adnan

Ingatan tentang kejadian hari itu kembali menguap. Aku menunduk, menutup mata rapat-rapat untuk menenangkan diri. Ucapan kak Adnan hari itu kembali terngiang dalam telinga, membuka kembali ingatan yang tak ingin kusimpan dalam fikiran. Aku masih mengingat jelas bagaimana perpisahan kami hari itu. Aku memilih pergi tanpa menanggapi pernyataannya. Aku memilih kabur tanpa menoleh ke belakang. Semua itu kulakukan karena aku terlalu takut untuk menerima kenyataan. Kenyataan jika kak Adnan ternyata memendam perasaan terhadapku. Sebuah perasaan yang lebih dari sekedar perasaan adik kakak. Perasaan cinta.

Tok tok tok

Pintu kamar diketuk, aku segera berdiri dan membuka pintu. Tatapan mas Fadlan menjadi pemandangan pertama yang kulihat. Laki-laki itu sudah rapi dengan setelan batiknya, namun aku justru masih mengenakan gamis yang sudah kupakai sejak pagi.

“Kenapa belum siap?” Mas Fadlan bertanya. Ia menatapku dari atas sampai bawah. Aku hanya menunduk, berusaha menghindari tatapannya.

“A—apa aku boleh tidak ikut, mas?” Aku menatap mas Fadlan, memohon padanya dengan cara yang halus. Laki-laki itu meraih tanganku, membawaku masuk ke dalam kamar. Kami duduk di atas ranjang dengan mas Fadlan yang berada tepat di depanku.

“Kamu ada masalah?” Aku menggeleng, tidak membenarkan pertanyaan mas Fadlan itu. “Lalu kenapa?”

Aku menggerakkan jari tidak karuan untuk meminimalisir rasa gugup yang menelusup dalam jiwa. Aku tidak berani mengatakan kebenaran pada mas Fadlan.

Tasbih Hati (MUN 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang