1.5

391 164 27
                                    

"Ada banyak kekhawatiran yang menyelip di sudut hati. Lantas, bolehkah kutanya lagi, ketika aku jatuh nanti, apa benar kamu akan disisi ini?"

•••••

Sebelah tanganku menggenggam erat ponselku, sementara hatiku sedari tadi bergumam agar Jeno tak memergoki aku yang akan pergi bersama Ren hari ini.

Aku ingin sekali menjaga perasaan pacarku itu, namun juga sudah terlanjur mengikat janji dengan Ren.

"BELEEE!"

Seseorang berteriak dari luar, membuatku keheranan. Seketika aku membuka pintu, kudapati lagi-lagi malah Hyuck dan Ren yang berdiri di depan pagarku. Kalau Ren sih, tidak masalah.

Tapi mengapa membawa manusia tipe monyet bekantan itu ke rumahku?

"Motor lo mana?" tanyaku pada Hyuck. Aku melotot, menyelidik pada si menyebalkan yang sedang tersenyum sok ganteng di depanku. "LO JANGAN BILANG IKUTAN KITA PERGI HARI INI!?" teriakku.

Hyuck membetulkan tatanan rambutnya, memberikanku smirk yang cukup membuatku mual. "Lo harusnya beruntung bisa jalan-jalan bareng cogan kaya gua!"

Aku pura-pura muntah.

"Ren, kenapa pake bawa dia segala?" tanyaku sambil protes pada Ren yang kini memaikai Hoodie seperti biasanya. Dandanan seorang Ren yang indah.

"Udah buruan ngapa sih? Gausah pake nanya-nanya ke Ren segala! Dora lo? Banyak banget pertanyaannya."

Kalau saja tak ada pagar diantara kami, sudah jelas Hyuck akan mendapatkan tamparan rasa omelette prancis olehku. Pria itu benar-benar hanya asal ngomong dan menyebalkan ditelingaku.

Aku berlari, menutup pintu rumah sebelum berteriak pada mama bahwa aku hendak pergi.

Kini aku sudah berada di depan pagar rumahku, menatap pada dua manusia yang karakternya benar-benar berbeda.

"Kenapa dia ikut?" tanyaku lagi pada Ren saat kami bertiga berjalan menuju hakte bus.

Seperti biasanya, Ren hanya menanggapi diriku santai. "Abangnya dia gaada di rumah. Belum lagi orangtua nya Hyuck pada keluar kota, ada kerjaan gitu. Katanya dia bakalan bosen di rumah sendirian, jadi mau ikut."

Aku mengangguk, menatap aneh punggung Hyuck yang berjalan lebih dulu didepan kami.

Pagi ini cuaca kembali berada di pihak Ren. Awan menutupi matahari sehingga cahaya nya tak terlalu menyiksa bagi tubuh Ren.

"Udah berapa lama, ya, Ja?"

Bagai petikan gitar klasik, suara merdu bagai kumpulan melodi itu mengakun mesra di telingaku. Bersamaan dengan angin pelan yang membelai wajah kami, Ren membuka percakapan dengan suasana teduh.

Aku menatap langit penuh awan, kemudian menghela nafas pelan.

"Sekitar sebulan, mungkin...?"

Kudengar sedikit kekehan dari balik masker Ren. Tawa pria albino itu entah kenapa malah terdengar seperti keputus-asaan?

"Ternyata sebentar, ya..."

Aku menoleh, menatap Ren yang hanya lurus berjalan.

"Sepertinya aku sudah gila? Bagaimana mungkin rasanya setahun bagiku saat kita tak lagi jalan bersama?"

Deg!

Aku tak bisa mendeskripsikan betapa aku terkejut mendengarnya. Suaranya yang bagai untaian lagu klasik kini beralih genre, membuatnya seolah terdengar seperti opera penuh kesedihan dan keputusasaan.

REN ✔ | NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang