Paragraf tak tersampaikan

638 135 33
                                    

Dari rembulan tanpa cahaya, kepada bumi yang selalu setia.

Ja... Kabarku baik, sebaik senyum cerahmu di tengah hujan bulan Juli waktu itu. Sebaik dan sehangat sentuhan tanganmu di dalam bis biru kala itu.

Juga... Terima kasih sebab memberikanku kehormatan sebagai satu-satunya pria yang kamu kirimi surat.

Aku mengirimimu surat balasan ini seiring dengan beberapa perasaan yang mungkin takkan mampu aku ucapkan.

Sebagaimana kamu yang mengabadikan aku dalam beberapa paragraf di suratmu, biarlah aku mengabadikan perasaan ini pula lewat tulisan yang mewakilkan diriku.

Ja...

Kita hanya manusia bebal dengan rasa sakit, memilih merawat pilu yang lengking suaranya. Rajin memupuk harap yang berbuah kematian.

Kamu tau, Ja?

Aku kira kita adalah selamanya, namun ternyata kita tidak lebih lama dari sebentar.

Ku kira...
Selama apapun, sejauh apapun, seperti apapun, rumah adalah tempat pemberhentian.

Untuk pulang... Selamanya...

Namun, kamu hanya singgah. Menetap sebentar namun menyisakan kisah yang membuat segenap perasaan.

Ku kira...
Selama apapun, sejauh apapun, seperti apapun, rumah adalah tempat pemberhentian.

Untuk pulang... Selamanya...

Ternyata benar. Hanya bukan akulah
rumahnya.

Ja... Perlu kutegaskan.
Aku bukannya menyerah, hanya saja aku berserah.

Aku hanyalah seorang yang biasa, yang punya batas dan bisa berhenti kapan saja, tanpa diduga. Jadi kamu pasti mengerti, bahwa selamanya aku hanyalah ditakdirkan untuk berdiri seorang diri.

Di paragraf ini, aku mengikhlaskanmu. Di bait ini, aku mendeklarasikan pada dunia penyerahan diriku.

Meski aku ingin sekali bilang padamu, bahwa, aku mencintaimu tak peduli apa.

Meski kurasa aku takkan lagi mampu mengucapkan kata itu, maka biarlah kalimat yang tak sanggup bibirku itu ucapkan, kini diabadikan olehku dalam bentuk tulisan.

Perasaanku kepadamu spesial, ja.
Aku juga tak tahu kenapa.

Kamu tahu, kan?

Mengikhlaskan bukan tentang melupakan, tetapi tentang menerima.
Menerima apa-apa yang manusia
rencanakan ternyata tak selamanya sejalan dengan kehendak Tuhan.

"Kita adalah pilu yang sedu.
Pernah bersorai namun merindu."

Benar...

Sebab, mencintai itu penuh ke-ikhlasan, ikhlas yang penuh, dan ikhlas se-penuhnya.

Dan ber-bahagia lah dengan cara yang
menurutmu paling baik, Tanpa perlu kamu jaga seseorang di luar sana.

Karena jika hatimu sadar dan akal-mu
sehat, Seberjuang apapun seseorang; ketika Tuhan berkata "Tidak" maka kalah mendominasi hasil akhir.

Ja...

Terimakasih sudah pernah hadir, walau akhirnya tidak untuk menjadi takdir, senang rasanya bisa bertemu denganmu, saling berbagi kesedihan juga mengetahui apa yang kamu suka dan tau mana yang kamu benci.

Indah...
Ketika kita saling bertukar lagu
favorit, berbagi makanan serta saling berbagi kehangatan dikala kita membutuhkan.

Terimakasih atas pengalamannya dan
segala waktunya, percayalah aku sungguh mencintaimu. Pertengkaran hebat kita waktu itu sungguh menyisakan luka, aku berusaha mempertahankanmu tapi kau memilih tuk pergi.

Senang rasanya sekarang aku
melihatmu tertawa kembali, karena memang begitulah kita seharusnya walau sekarang tak lagi sama.

Terimakasih untuk haru yang berujung pilu. Untuk bahagia yang berakhir luka, sampai tawa yang berakhir nestapa.

Biar aku disini berteman sepi, melangitkan doa-doa yang semoga semesta turut meng-aamiin-i nya.

Ja...

Jika pertemuan dirayakan dengan suka cita, maka perpisahan pun dirayakan dengan selayaknya.

Selamat beranjak setelah memberi jejak.

Terimasih, aku merelakanmu.

Untuk wanita yang ku cintai, yang
mematahkan hatiku beribu-ribu kali. Tapi hatiku masih selalu ada untuk
dipatahkannya lagi.

 Tapi hatiku masih selalu ada untukdipatahkannya lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Guys! Finally, booknya selesai. Well, mungkin bakalan di revisi untuk beberapa kesalahan EYD maupun PUEBI.

Selamat tanggal 10 Agustus! Tanggal dimana hidupku dimulai, dan buku ini berakhir. Tanggal bersejarah dimana ada banyak hal kupikirkan matang-matang, kusemai pelan-pelan, sampai membiarkan jantungku sendiri harap cemas menunggu hasilnya!

Omong-omong, ini buku pertamaku yang dapat selesai. Biasanya hanya tergeletak di kumpulan draf, menjadi sesuatu yang tak tahu kapan akan dipertontonkan. Ternyata menulis tidak hanya healing, tapi juga sumber stressku sendiri. Maka dari itu, aku memutuskan untuk hiatus selama beberapa lama.

Kalian tahu? Mungkin ini jadi hadiah paling mendebarkan yang pernah aku dapat di hari lahirku! Rasanya benar-benar melegakan saat bisa menyelesaikan apa yang sudah kuputuskan untuk mulai!

Juga..
Tanggal ini mungkin akan jadi tanggal terakhir kalian bisa curhat di DM instagramku(?)

*mungkin beberapa lagi masih bisa curhat karena sudah tau nomorku😋

Thanks for always being here, beside me, struggling with all of those things ruined me. Makasih juga buat selalu nunggu ceritanya, semangatin aku di DM instagram, sampe curcol di Whatsapp.

Y'all guys is my strength!

Ren adalah ironi diatas segala yang bisa kalian petik. Ia adalah simbol dari pandangan manusia akan ketidakadilan Tuhan. Sampai akhir, sampai ajal menjemputnya, mungkin banyak yang berpikir kalau hidup sang albino benar-benar digambarkan tidak pernah mendapat keadilan.

Tapi sekali lagi, yang adil itu yang bagaimana?

Kalau kalian menganggap bahwa Ren adalah simbol ketidakadilan itu, maka, sebuah pesan yang sejujurnya sederhana namun harus dipikirkan dalam sudut pandang berbeda belumlah kalian dapati.

Coba pikirkan lagi,
Apa yang sebenarnya sederhana namun selalu dilewatkan manusia?

Well, aku tunggu jawabannya!

~♥~

P.s:  bonus chapter dalam pertimbangan.

REN ✔ | NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang