Part 2 - A Helping Hand

93 8 0
                                    

Gavin mencoba untuk menenangkan Hazel yang terus meronta dan berteriak. Dia ingin sekali berteriak pada Hazel bahwa wanita itu bukan ibunya tapi dia tidak mungkin melakukannya. Segala rayuan dikeluarkannya sampai akhirnya dia merasa ada sekelebat bayangan di belakangnya. Dia berbalik dan wanita itu sudah ada di belakangnya.

"May I?" tanyanya.

"Mommyyyyyy!!!!" tangan Hazel berusaha menggapai wanita itu. Gavin hanya bisa pasrah dan menyerahkan Hazel padanya.

"Sorry..." hanya itu yang bisa dikatakannya dengan salah tingkah.

"Heeyyy...why are you crying?" tanya wanita itu lembut. Dan ajaibnya tangisan Hazel berhenti. Tangan kecil itu memeluk leher wanita itu dengan erat.

"I wanna go home with you..." jawab Hazel pelan setengah merengek.

Gavin menggaruk kepalanya kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Wanita itu duduk di kursi tunggu di depan NICU masih sambil menggendong Hazel.

"Awww...poor baby. It's okay sweety... You go home with daddy, okay? Mommy has to wait for Ruby for a while."

"Then I'll wait too." jawab Hazel keras kepala.

"Okay then, let's sing a song while we're waiting, okay?"

Kemudian wanita itu menggoyang Hazel dalam gendongannya dan menyanyikan sebuah lagu yang Gavin tahu bukan lagu anak-anak. Tapi anehnya, mata Hazel terlihat berat dan akhirnya dia tertidur. Gavin pun duduk tak jauh dari wanita itu.

"Percayalah, dia biasanya tidak begini..." kata Gavin.

"Tidak apa-apa. Aku suka memeluknya, jika kau tidak keberatan." jawab wanita itu. Matanya sedikit berkaca-kaca.

"Sure, no problem." jawab Gavin cepat. Kemudian dia bertanya dengan pelan dan agak ragu, "what happened to her?" sambil menunjuk ke ruang NICU.

"Fetal trauma. Aku terserempet mobil ketika kandunganku berusia 7 bulan. Dia terpaksa lahir prematur. Dokter sudah mengatakan bahwa dia tidak mungkin bertahan tapi aku memaksa mereka untuk membuatnya tetap hidup. Aku berharap banyak pada keajaiban. Tapi...mungkin memang keajaiban tidak ingin bersahabat denganku..." jawabnya dengan pandangan kosong. Dia tertawa, menertawakan kebodohannya sendiri.

Mengatakan bahwa dia ikut berduka akan terdengar seperti omong kosong, dan Gavin yakin bukan itu yang ingin didengar wanita cantik itu saat ini. Jadi Gavin justru menanyakan namanya.

"What's your name?" tanya Gavin.

"Amber. You?"

"Gavin. And this is Hazel." jawab Gavin sambil menunjuk Hazel yang terlelap nyenyak di gendongan Amber.

"I know her name. Dokter Dewitt sempat memanggil namanya tadi." Amber tersenyum. "Kenapa Dokter Dewitt tahu namanya?"

"Oh...aku sering menginap di rumah sakit ini. Let's say, I'm a regular." gurau Gavin. "Dan Hazel sering sekali kesana kemari, hampir semua dokter dan perawat mengenalnya."

"You're a regular?" tanya Amber bingung.

"I'm an alcohol intolerant. Masalahnya, kadang aku tidak sadar telah menelan alkohol apalagi yang tercampur makanan."

"Oh wow...pasti susah sekali berusaha bebas dari alkohol." kata Amber bersimpati.

"Tell me about it." jawab Gavin setengah tertawa.

Entah sejak kapan dia mulai alergi alkohol. Yang jelas dia baru tahu kalau dia tidak bisa mengkonsumsi alkohol dalam bentuk apa pun adalah saat prom night. Pesta kelulusan dan alkohol sudah satu paket, dan dia percaya diri menenggak satu gelas besar bir. Padahal hanya segelas bir, tapi saat itu dia hampir mati. Dokter sampai harus mengeluarkan bir dari tubuhnya dengan paksa dan rasanya sakit sekali.

"Oh, by the way, I don't mean to be rude, but I think you'd better go home while she's sleeping." kata Amber sambil menunjuk punggung Hazel.

"Oh..yeah, you're right." kata Gavin mengambil Hazel dari gendongan Amber. "Maaf merepotkanmu."

"Aku tidak merasa direpotkan. Aku malah senang..." jawab Amber. Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu, maka Gavin menunggu.

"Listen...I'm sorry for asking this, but can I see her...sometimes? If you don't mind, of course." tanya Amber ragu.

Untuk sesaat Gavin tidak bisa memahami pertanyaan Amber. Tapi kemudian dia mengerti. Amber membutuhkan Hazel. Dia pasti akan sangat merindukan putrinya dan memeluk Hazel dapat meredakan kerinduan itu.

"Sure." jawab Gavin. "Give me your phone, I'll keep my number there. Anytime you want to see Hazel, you tell me." Gavin menyodorkan tangannya.

Amber terkejut Gavin memberi ijin dengan begitu mudah, tapi dia toh memberikan telepon genggamnya kepada Gavin. Setelah mengetikkan nomornya, Gavin mengembalikan telepon itu kepada Amber.

"Call me, so I can save your number." Gavin mengeluarkan teleponnya dari saku jasnya. Setelah nomor Amber muncul di layar teleponnya, dia menyimpannya dengan tulisan 'Hazel's Mommy' tanpa sepengetahuan Amber.

"Oh...where do you live? Can I drop by anytime Hazel wants to see you?" pertanyaannya bermakna ganda. Di satu sisi, Gavin yakin Hazel pasti ingin menemui Amber lagi. Di sisi lain, dia memang ingin mengetahui tempat tinggal Amber.

"Oh wow...sure. I'd be happy if she comes to see me, but I live in Downtown Brooklyn. I don't think it's save for her..." jawab Amber dengan sedih. "Look, anytime she wants to see me, you call me. I'll come for her."

"Text me your address." Gavin mengeluarkan suara yang biasa digunakannya kepada pegawainya. Dingin dan tak terbantahkan.

Untuk sesaat Amber melongo kaget. Tapi kemudian mengetikkan alamatnya dan mengirimkannya kepada Gavin.

"Okay, I have to go now. Text me when you get home, okay?" Gavin berdiri, tapi tidak beranjak. Dia menunggu jawaban Amber.

"Okay..." jawab Amber pelan. Kemudian Gavin melambaikan tangannya dan pergi.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Gavin mampir ke bagian administrasi dan meminta rincian tagihan pembayaran Amber. Tidak sulit bagi Gavin melakukannya karena rumah sakit ini adalah milik keluarganya. Tagihan Amber lumayan mahal karena sejak Ruby dirawat tahun lalu, Amber baru membayar seperempatnya. Gavin melunasi semuanya kemudian pergi sebelum Hazel terbangun.

***

Setelah kepergian Gavin dan Hazel, Amber mendesah. Kembali pada kesendirian, keheningan. Dia yakin Gavin dan Hazel tak akan mengingatnya dan dia pun tidak berharap demikian. Dia tak ingin menaruh harapan lagi. Setelah menenangkan diri, dia beranjak menuju ruang administrasi rumah sakit untuk menanyakan tagihan yang harus dibayarnya. Entah bagaimana dia akan membayarnya, mungkin dia bisa meminjam uang pada pemilik supermarket tempatnya bekerja.

Dokter Dewitt sudah bertanya apa yang dilakukannya pada jasad Ruby. Amber sudah memutuskan ingin mengkremasinya. Dia tak sanggup membayangkan tubuh putrinya membusuk dan akhirnya tersisa tulang belulang di dalam tanah. Pihak rumah sakit bisa melakukan kremasi untuknya. Dan Amber pun memasrahkan semuanya pada Dokter Dewitt.

Setelah tiba di ruang administrasi, Amber diminta menunggu sebentar. Kemudian datang seorang wanita yang sepertinya kepala administrasi dan memberitahunya bahwa seluruh biaya rumah sakit telah dibayar lunas. Termasuk segala hal yang akan dilakukan Amber untuk jasad Ruby.

"Has been paid? By who?" tanya Amber tidak percaya. Di New York ini dia tidak punya saudara. Ada seorang wanita yang pernah membantunya setelah kecelakaan tapi wanita itu bukanlah orang yang kaya raya.

"We aren't allowed to tell you." jawab Mrs. Scott, kepala administrasi itu.

"Please, jika seseorang telah membayarnya untuk saya, jelas saya berhutang pada orang ini. Saya tidak mau mati dengan membawa hutang. Tolong beri tahu saya siapa orangnya. Saya mohon..." pinta Amber memelas.

"Well...but please don't tell him that I've told you, tell him you just know it. Do you agree?"

"Him? Who is "him"? Amber semakin tak mengerti.

"Mr. Gavin Cafaro." jawab Mrs. Scott pelan.

***

Embracing Happiness (On Going)Where stories live. Discover now