Gavin merasakan ada gerakan di sebelah kirinya dan menoleh. Dadanya bergemuruh melihat penampilan Amber. Potongan casual dress yang dikenakannya sungguh pas di badannya. Aurora tidak pernah memakai dress itu setelah membelinya karena sempit. Tapi di tubuh Amber, dress selutut itu benar-benar menonjolkan lekuk pinggang Amber dengan anggun. Dan warna hitam semakin menonjolkan rambut merah Amber. Tak ada make up yang berlebihan di wajah Amber tapi dia terlihat cantik. Gavin tidak berkedip melihat pemandangan di depannya. Hazel pun tampak pantas berjalan berdampingan dengan Amber. Karena Hazel sangat mirip dengan Gavin, maka tidak akan ada yang menyangka jika Amber bukanlah ibu kandungnya.
"Daddy!!! Blink!" goda Hazel yang melihat ayahnya tidak berkedip melihat Amber yang cantik.
Gavin berdehem dan berpura-pura sibuk merapikan majalah bisnis yang tidak sempat dibacanya.
"You look amazing." katanya pada Amber jujur.
"Thanks...baju ini bagus sekali." Amber salah tingkah.
Gavin gemas sekali. Sepertinya dia perlu mendaftarkan Amber ke sekolah kepribadian agar dia bisa menjadi lebih percaya diri. Tapi bukankah Gavin jatuh cinta pada Amber yang rapuh? Ah...nanti saja dipikirkan lagi. Sekarang mereka harus makan dan berbelanja dulu.
"Shall we go now?" ajak Gavin.
"Yes!!!" teriak Hazel antusias sambil menggandeng Amber dan Gavin bersamaan.
Sambil tertawa Gavin dan Amber berjalan beriringan. Ada getaran aneh di dada Gavin. Entah kenapa dia merasa bahwa bersama Amber semua terasa pas. Jika harus mengakui dengan jujur, dia tidak merasa pas dengan Aurora meskipun dia mencintai istrinya. Namun, cinta itu tumbuh begitu lama. Sedangkan dengan Amber, dia tidak menyangka bahwa mereka baru bertemu kemarin. Tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Amber sangat sempurna berada di sampingnya, berada bersama Hazel. Gavin tidak akan berpikir dua kali. Dia akan menikahi Amber secepatnya sebelum wanita itu berubah pikiran dan kabur karena ketakutan akan jatuh di lubang yang sama lagi.
***
Sarapan pagi mereka berjalan menyenangkan. Amber tidak pernah sekenyang ini. Awalnya dia hanya ingin memesan Muffin dan black coffee, selain karena dia terbiasa sarapan Muffin demi mengehemat uang, menu di restoran ini harganya selangit. Dia tidak ingin kelihatan tidak tahu malu. Tapi lagi-lagi Gavin memandangnya dengan tatapan mencela, kemudian memilihkan Sausage and Egg Sandwich dan cappuccino untuknya. Hazel memilih Scrambled Egg dan orange juice, sedang Gavin dengan curangnya memilih Parfait dan black coffee.
"Finish your breakfast, you're gonna need a lot of energy today." kata Gavin ketika Amber terlihat kekenyangan dan hampir tidak sanggup menghabiskan sarapannya.
Setelah mereka selesai sarapan, Gavin mengantarkan Hazel ke daycare. Amber sempat protes kenapa Hazel tetap dititipkan ke daycare padahal Amber tidak masalah jika Hazel ikut dengan mereka, namun Gavin mengatakan justru kasihan jika Hazel ikut karena dia akan kelelahan. Hazel pun sempat merengek ingin ikut dengan mereka, tapi setelah Amber mengatakan kalau nanti mereka akan membelikan Teddy Bear baru untuknya, barulah Hazel tenang.
Gavin diam saja saat di mobil. Entah apa yang sedang dipikirkannya, Amber tidak berani mengajaknya bicara. Dia terbiasa diam dan mendengarkan, jadi dia tidak tahu bagaimana caranya memulai percakapan. Dan sepertinya Gavin pun orang yang tidak banyak bicara, tapi banyak bertindak. Jadi Amber menunggu saja apa yang akan dilakukan Gavin. Selama perjalanan, dia melihat keluar jendela. Sudah hampir 2 tahun Amber hidup di New York, tapi dia tidak pernah benar-benar memperhatikan sekelilingnya. Ternyata kota ini sibuk namun tetap indah di saat yang sama.
Hanya perlu waktu beberapa menit dari daycare ke sebuah toko perhiasan di daerah Fifth Avenue. Amber tidak akan pernah berani membayangkan dirinya memasuki toko yang terkenal dengan kotak birunya itu. Tapi disinilah ia, sibuk berpura-pura biasa-biasa saja padahal jantungnya melompat-lompat tidak karuan. Gavin membimbingnya menuju area cincin dan memintanya memilih cincin pernikahan. Untuk sesaat Amber hanya bisa memandang Gavin dengan tatapan tak percaya. Kemudian Amber mengatakan bahwa dia tidak pintar memilih, tapi dia ingin yang sederhana saja.
***
Gavin sudah menebak apa yang akan Amber katakan, maka dari itu dia memilih sepasang cincin pernikahan sederhana tanpa ada permata yang terbuat dari platinum. Untuk cincin pertunangan, dia memilih sebuah cincin kecil juga terbuat dari platinum dengan permata yang tidak terlalu menonjol tapi memiliki desain unik yang sedikit rumit di sekelilingnya. Cocok sekali dengan kepribadian Amber. Meskipun cincin-cincin itu terlihat sederhana, Gavin tidak akan menyebutkan harganya pada Amber. Wanita itu pasti akan menolak dan mengajaknya pergi dari sana.
Gavin merasa berapa pun uang yang akan dia keluarkan, tidak akan cukup untuk membuat Amber terbebas dari masa lalunya yang kelam. Sudah terlalu lama wanita itu hidup dalam duka. Penolakan ayahnya membuatnya membangun tembok tinggi agar tidak ada penolakan yang lain dan pengkhianatan tunangannya semakin membuat tembok ini berdiri dengan kokoh. Gavin akan berusaha merobohkan tembok ini. Dia ingin menarik wanita itu keluar dari lubang masa lalu. Dia akan berusaha membahagiakan Amber.
Setelah urusan cincin selesai, Gavin membawa Amber memasuki Saks Fifth Avenue. Amber sempat menolak memasuki Departement Store itu dan meminta pergi ke second-hand shop, tapi Gavin menarik tangan Amber dengan lembut dan memaksanya masuk. Amber benar-benar menolak kerja sama. Dia tidak mau masuk kedalam butik-butik yang ada di sana dan hanya berdiri di luar. Gavin hampir saja emosi. Baru kali ini dia bertemu wanita yang tidak suka belanja barang-barang mahal ketika ada kesempatan. Selama ini dia memang menghindari wanita-wanita yang mudah menyerahkan diri demi barang-barang mahal, tapi ketika dia menemukan satu wanita yang sesuai dengan keinginannya, dia harus menahan sakit kepalanya terus-terusan. Ternyata Amber keras kepala sekali. Pantas saja dia masih bisa bertahan setelah sekian lama hidup dalam penderitaan.
"Gavin!" bisik Amber panik. Gavin terpaksa menarik tangan wanita itu memasuki butik dengan logo huruf yang berpunggungan itu.
"What?!" tanya Gavin sedikit emosi.
"What are we doing here?" tanya Amber sambil merapatkan bibirnya karena melihat pelayan sudah berjalan menghampiri mereka.
"Good morning, I'm Cory. How may I help you?" sapa wanita bernama Cory itu dengan senyum ramah.
"She needs clothes, shoes, and everything a woman needs. Casual, cocktail, formal, anything. I hope you understand what I mean." kata Gavin sambil menyerahkan kartu kredit berwarna hitamnya.
"Of course." jawab Cory ceria sambil menerima kartu kredit tersebut.
Gavin memberi tanda pada Amber agar mengikuti Cory. Ketika Amber menggelengkan kepalanya, Gavin menarik tangannya dan berjalan mengikuti Cory. Sepertinya hari ini dia harus merasakan berbelanja seperti wanita. Sekali-sekali tidak apalah, demi Amber. Baru saja mereka akan mulai memilih, Gavin mendengar suara merdu yang dikenalnya dengan baik memanggil namanya.
"Gavin!"
***
YOU ARE READING
Embracing Happiness (On Going)
RomanceAmber adalah seorang wanita dengan masa lalu kelam. Dibuang ayahnya, ibunya bunuh diri, kemudian dia dihamili lalu ditinggalkan pria yang dicintainya. Dia merasa bahwa kebahagiaan bukan bagian dari hidupnya. Gavin adalah pria dingin yang tidak terta...