Part 1 - Little Angel's Hands

114 8 0
                                    

Amber mengangkat wajahnya dan melihat seorang malaikat kecil yang sangat cantik. Untuk sesaat dia tak mampu berkata-kata. Anak itu menatapnya dengan mata coklat bening yang sangat indah.

"What makes you cry, mommy? Don't cry..." ujarnya lagi.

Amber pun mengusap air matanya dan berkata, "No...I'm not crying, see?" Lalu tersenyum dan menggenggam sepasang tangan mungil itu.

Dokter Dewitt berjongkok dan menyapa, "Hey, Hazel! Wanna see your sister?"

"I have sister?" tanyanya sambil memandang Amber.

Amber memandang Dokter Dewitt dengan pandangan bertanya, lalu memahami maksud dokter muda itu. Dia butuh kekuatan. Dia butuh pelukan. Dan dia yakin malaikat kecil bernama Hazel inilah kekuatannya.

"Yes, sweety, do you wanna see her?" dan Hazel pun mengangguk antusias.

Amber menggendong Hazel dan membawanya masuk ke NICU. Kakinya terasa berat, namun entah mengapa hatinya merasa kuat dan tenang. Setelah masuk, dia dapat melihat kotak inkubator yang melingkupi sesosok tubuh mungil. Selang-selang dan alat-alat penopang hidupnya sudah dilepas, meninggalkan wajah kecil yang cantik, yang tampak tidur tenang.

"Is she sleeping, mommy?" tanya Hazel.

"Yes, honey, she's sleeping." jawab Amber dengan suara bergetar. Tanpa dapat ditahannya, air mata kembali turun.

Perawat membuka kotak inkubator agar Amber dapat memeluk tubuh mungil itu. Dibelainya kepala kecil itu, lalu turun ke mata, hidung, mulut. Kemudian Amber mencium kening, mata, hidung, pipi. Setelah itu, dengan berat hati, dikeluarkannya ponsel dan difotonya bayi yang tidur selamanya itu. Paling tidak dia memiliki kenangan yang bisa setiap saat dilihatnya saat tubuh kecil itu bersih dari segala selang dan alat-alat.

"Why she's not opening her eyes?" suara kecil itu membuyarkan lamunan Amber.

"Because she won't, honey. She goes with the angels."

"Why? Can I come?"

Untuk sesaat Amber tidak tahu harus menjawab apa. Tapi dia yakin bahwa Hazel menunggu jawabannya. "No, you can't. The playground is only for babies..."

"Will she return?"

"No, she's happy there."

"So I can't play with her?"

"I'm sorry, but no...you can't."

"But you said she's happy, right?"

"Yes, sweety, she's happy."

"Okay, then. I'm happy too." jawab Hazel tersenyum.

Kemudian mereka menyadari ada gerakan pelan di pintu dan serentak menoleh.

"Daddy!!!" Hazel berlari menghampiri sosok tinggi besar itu.

"Hey, baby! What are you doing here?" tanya pria itu sambil berjongkok di hadapan Hazel dan memeluknya.

"Poor mommy is crying..." jawab Hazel.

"Mommy?" tatapan pria itu beralih ke Amber.

Amber tersenyum meminta maaf dan melambaikan tangannya sedikit. Sebelum sempat menjawab, Dokter Dewitt menghampirinya dan meminta bicara tentang Ruby dan entah apa lagi.

***

Gavin benci rumah sakit. Tapi hari ini dia harus pergi ke rumah sakit untuk mengambil obat alerginya. Setelah menjemput Hazel dari daycare, dia melajukan mobilnya ke rumah sakit. Dia bisa saja menyewa baby-sitter untuk Hazel, tapi itu berarti akan ada orang lain yang tinggal di apartemennya. Ugh...membayangkannya saja dia tidak suka. Ibunya pun bersedia untuk menjaga Hazel, tapi dia jelas tidak akan tahan jika setiap menjemput Hazel pertanyaan kapan dia akan mencarikan ibu untuk Hazel selalu keluar dari mulut ibunya. Dia tidak membenci ibunya, justru dia sangat mencintai wanita lembut itu. Dan dia tahu ibunya pun sangat mencintainya. Tapi pertanyaan itulah yang dibencinya.

Menyadari kalau dia mencintai Aurora saja dia butuh 4 tahun. Mencari ibu untuk Hazel? Jelas tidak akan semudah itu. Aurora yang selalu membuat kepalanya pening karena tingkahnya yang ceria, yang selalu memanggilnya gunung es, beruang kutub, freezer, dan segala hal yang dingin, tapi gadis itu jugalah yang pantang menyerah mengajaknya berbicara, menyapanya meskipun dia tak pernah membalasnya, dan terakhir, yang membuat hatinya hangat dengan segala perhatiannya.

Mencari penggantinya? Entahlah. Kepergian Aurora masih menyakitkan. Pendarahan yang tidak bisa dihentikan setelah melahirkan Hazel membuatnya harus menyerah pada hidup. Maafkan aku, aku tidak bisa menemanimu membesarkan anak kita. Kumohon jangan tutup hatimu... Carilah penggantiku. Jika kau tidak mau, carilah penggantiku demi anak kita. Kata-kata terakhir Aurora masih terngiang dengan jelas di telinganya. Masih seperti kemarin, padahal sudah 4 tahun berlalu.

Setelah selesai dengan urusannya, dia berbalik dan akan meraih tangan kecil Hazel ketika dilihatnya malaikat kecilnya tak ada disampingnya lagi. Dengan panik Gavin berlari sampai ada seorang perawat memberitahunya bahwa Hazel ada di dekat NICU. Gavin mempercepat langkahnya ketika melihat sosok anaknya, namun tiba-tiba terhenti ketika dia melihat ada sosok lain yang sedang terduduk di lantai. Hazel membelai kepala wanita itu.

Wanita itu terlihat lelah. Rambutnya merah natural, pakaiannya sederhana dengan celana jeans yang sudah harus dibuang dan sweater kuning lusuh. Ketika dia menoleh kepada Hazel, Gavin dapat melihat bahwa wanita itu menangis. Tapi Gavin terpana. Wanita itu cantik. Sangat cantik tanpa polesan apa pun. Matanya yang hijau, hidungnya yang lurus, bibirnya yang mungil tapi penuh. Pasti nikmat sekali mencium bibir itu. Astaga! Apa-apaan ini? Gavin menggeram dan melangkah pergi. Dia akan minum kopi sebentar. Toh sepertinya Hazel baik-baik saja.

Kepala Gavin berdenyut kencang. Apa yang terjadi? Seumur hidupnya dia tidak pernah berpikir seperti tadi. Wanita mana pun sama saja baginya. Mereka hanya tertarik pada wajah tampannya. Dan bagi mereka yang tahu siapa dirinya, mereka jelas juga tertarik pada uangnya. Maka dari itu dia menyamar menjadi karyawan biasa di perusahaan teman ayahnya, agar dia bisa mencari wanita yang tulus padanya. Tapi tetap sama saja. Dia tidak bisa merasakan apa pun pada wanita-wanita yang ditemuinya. Bahkan dia tidak merasakan apa pun ketika pertama kali melihat Aurora. Dia malah kesal sekali pada tingkah Aurora. Ibunya sempat khawatir akan orientasi seksnya. Gavin tertawa kecil mengingat kekhawatiran ibunya.

Setelah menenggak kopi kantin rumah sakit yang rasanya tidak terlalu enak, Gavin kembali ke NICU. Hazel dan wanita itu tak terlihat. Gavin mengedarkan pandangannya dan akhirnya dia matanya terbentur pada dua sosok yang dicarinya di dalam ruang NICU. Mereka sedang memandangi sesosok bayi mungil. Gavin melangkahkan kakinya mendekati ruang itu dan mencoba mencuri dengar.

"Because she won't, honey. She goes with the angels."

"Why? Can I come?"

Ada jeda sesaat. Gavin tahu wanita itu sedang mencari jawaban yang tepat. "No, you can't. The playground is only for babies..."

Luar biasa. Wanita itu baru saja kehilangan anaknya tapi masih bisa menorehkan senyuman menenangkan pada Hazel. Dan dia dengan sabar menanggapi pertanyaan Hazel. Gavin menghela nafasnya dan akan melangkah pergi ketika mereka menoleh padanya.

"Daddy!!!" Hazel berlari menghampirinya.

"Hey, baby! What are you doing here?" tanyanya sambil berjongkok di hadapan Hazel dan memeluknya.

"Poor mommy is crying..." jawab Hazel.

"Mommy?" tatapannya beralih ke wanita itu. Sejak kapan Hazel punya mommy?

Wanita itu tersenyum meminta maaf dan melambaikan tangannya sedikit. Dia terlihat akan melangkah keluar, namun Dokter Dewitt menghampirinya dan meminta bicara, mungkin urusan bayi itu.

"Hey, let's go home." ajak Gavin.

"No...no...we wait for mommy!" rengek Hazel.

Gavin terkejut. Hazel adalah anak manis yang ceria dan tidak pernah merengek. Dia memang pernah bertanya tentang ibunya, tapi Gavin selalu berhasil mengalihkan perhatiannya. Tapi sepertinya saat ini dia perlu usaha ekstra.

"Hazel, baby, let's buy ice cream. You like chocolate ice cream, don't you? Let's buy two!" rayunya sambil menggendong Hazel menjauh dari NICU.

Diluar dugaan, Hazel berteriak, "Noooooo!!!! Mommyyyyy!!! I want mommyyyyyy! We wait for mommyyyyyy!!!" sambil meronta-ronta dalam gendongan Gavin.

***

Embracing Happiness (On Going)Where stories live. Discover now