Di apartemen, Gavin merasa resah. Dia telah kembali dari pertemuan bisnisnya dan telah berusaha menelepon seluler Amber beberapa kali tetapi tidak diangkat. Terakhir Amber mengirimkan video pendek yang merekam Hazel bermain air, dan itu sekitar 4 jam yang lalu. Dia ingin menjemput mereka, tetapi saat ini dia tidak tahu apakah mereka masih di taman atau telah pergi ke tempat lain. Namun, jika mereka pergi ke tempat lain, Amber pasti memberitahunya. Gavin berjalan kesana kemari sambil mengumpati telepon genggamnya; dia jelas tidak akan mengumpat pada Amber.
Di tengah kegalauannya, Gavin mendengar pintu apartemen terbuka. Dia berlari untuk menyambut anak dan calon istrinya yang ceria, tapi yang didapatinya adalah muka sedih Amber dan tatapan khawatir Hazel.
"Hey, girls, what's wrong?" Hazel melompat turun dari gendongan Amber dan menghambur ke pelukan Gavin.
"There's a bad man, daddy! He's making mommy cry!" Adu Hazel. Pandangan Gavin berpindah kepada Amber yang terlihat lelah.
"He's not a bad man, baby." Jawab Amber lembut tapi tanpa senyum. Lalu langsung menujur kamar tidur.
"Honey, why don't we wash your hands and feet and get you a nap?" Gavin menggiring anaknya ke kamar mandi, mencuci tangan dan kakinya dengan cepat, mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah, lalu mengantar Hazel ke tempat tidur.
"Get some sleep, okay? You've been tired. Do you wanna tell me about the park?"
Gavin khawatir tentang Amber. Tapi dia yakin, jika dia terburu-buru bertanya padanya, jelas wanita itu akan menghindar. Maka dari itu dia berusaha mengulur waktu agar Amber sempat menenangkan diri.
"No, I'll tell you later. Go see mommy, I'm worried, daddy." Mata Hazel berkaca-kaca. Jelas dia lebih mengkhawatirkan Amber.
Untuk ukuran anak umur 4 tahun, pola pikir Hazel justru lebih dewasa. Terkadang Gavin merasa malu ketika Hazel mengomelinya karena kurang istirahat. Dia merasa seperti tinggal dengan seorang ibu yang masih kecil.
"Okay, then I'll go see mommy. I love you." Gavin mengecup kening Hazel.
"I love you too, daddy." Jawab Hazel, kemudian memejamkan mata.
Gavin sengaja tidak masuk ke kamarnya melalui pintu sambung. Dia keluar dari kamar Hazel, menuju dapur, membuat coklat hangat, baru kemudian masuk ke kamarnya.
Pemandangan yang dilihatnya, jika suasananya berbeda, adalah pemandangan tercantik yang pernah dia lihat. Amber yang duduk di tepi jendela dengan rambutnya yang merah, wajah yang seperti dipahat, dan memandang keluar benar-benar seperti lukisan. Sayangnya mata itu sendu. Dan jelas merah karena menangis. Gavin mendekat dan menyerahkan coklat hangat yang dibuatnya kepada Amber. Amber menerimanya, tersenyum samar tanda terima kasih, dan menghirup sedikit untuk menenangkan kegalauannya.
"Wanna tell me about it?" Tanya Gavin. Amber kembali memandang keluar jendela dan menghela nafas.
"I met my dad at the park."
"Did he bother you?" Gavin langsung merasa gusar.
"No...not at all. He was just talking..."
"What did he want?"
Amber terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "To apologize...."
Gavin mengangkat alisnya. "Apologize?"
Kemudian Amber menceritakan kejadian di taman saat ayahnya mengungkapkan isi hatinya.
"What are you gonna do now?"
"I don't know, Gavin... Sebagian dari diriku masih marah dan kecewa. Tapi kau tahu bahwa sebagian lain masih menginginkan kasih sayang dan cintanya. Dan kau tau aku masih begitu mencintai ayahku. Tapi aku takut..." Amber mulai menangis lagi.
"Hey...hey...come here..." Gavin bergeser mendekat dan memeluk Amber. Sebelah tangannya mengusap kepala wanita cantik yang sedang rapuh itu. "Just listen to your heart. Segala keputusan yang kau ambil, entah nantinya benar atau salah, I got your back. From now on, don't be afraid of making bad decisions. Kau sekarang punya aku dan Hazel and we'll never leave you. You don't have to face this all alone anymore. Do you understand?"
Amber mengangguk. Air matanya turun semakin deras. Pelukan Gavin pun semakin erat.
***
Amber menimang-nimang kertas berisi nomor telepon yang sengaja ditinggalkan ayahnya di bangku taman kemarin. Apa katanya? Dia akan kembali ke Minnesota hari ini, bukan? Dia telah menelepon ke bandara JFK dan bertanya jadwal penerbangan ke Saint Paul, Minnesota. Untuk hari Senin, hanya ada dua penerbangan pagi menuju Saint Paul; yang pertama pukul 9.15 dan yang kedua pukul 9.40. Saat ini pukul 8.15. Amber tidak tahu ayahnya memilih penerbangan yang mana, jadi jika dia ingin berbicara pada ayahnya, dia harus bergerak cepat.
Akhirnya dengan gemetar, Amber menekan angka yang tertera pada kertas tadi dan menunggu nada sambung. Tidak perlu waktu lama hingga ayahnya menjawab panggilannya.
"Jack Hanson, who's speaking?" Jawab ayahnya di seberang.
Amber terpaku. Wajahnya terasa panas dan bibirnya tak mampu berkata-kata.
"Hello?" Tanya ayahnya lagi.
"Dad..." Akhirnya satu kata keluar dari bibir Amber disertai setetes air mata.
Setelah beberapa detik, ayahnya menjawab, "Amber? Honey, is that you?" Tanya ayahnya terdengar bergetar.
Amber pun tak kuasa menahan air matanya. "Can we meet? Before your flight...."
"Sure...sure! Where do you want to meet?" Jack Hanson menjawab cepat.
"We can meet at the airport...while waiting for your departure."
"Okay, tell me when you arrive, okay? I'm checking out of the hotel now."
"Okay... See you later."
"See you later, Amber."
Amber menghela nafasnya. Semoga ayahnya menemuinya sendirian. Kalau istrinya ikut menemuinya, suasana bisa kacau. Tapi itu akan dia pikirkan nanti karena saat ini, dia tidak punya banyak waktu. Ketika berangkat kerja tadi, Gavin membawa Hazel untuk dititipkan ke rumah ibunya. Jelas dia telah memperkirakan apa yang akan Amber lakukan hari ini. Pria yang luar biasa. Pantas saja dia sukses menjalankan bisnis keluarganya. Instingnya bahkan lebih hebat dari ayahnya, Dimitri Cafaro, yang terkenal lihai dalam melihat peluang bisnis.
Amber tiba di bandara JFK sekitar 30 menit kemudian, dan langsung menuju ke Starbucks karena hanya tempat itu yang ada dipikirannya. Well, dia hanya satu kali berada di JFK, itu pun karena tergesa-gesa ingin menyusul James. Jadi dia tidak sempat berpikir untuk melihat-lihat ke sekeliling bandara.
Setelah memesan kopi dan memilih tempat duduk, dia meninggalkan pesan untuk ayahnya. Saat menunggu, dia memikirkan apa yang akan dikatakannya, tapi tak satupun yang terlintas di benaknya. Beberapa menit kemudian dia melihat ayahnya berjalan kearahnya. Tersenyum lebar, terlihat tampan, dan sendirian.
"Hey, apakah kau menunggu terlalu lama?" Tanya Jack Hanson pada putrinya.
"No, aku juga baru sampai. Have a seat." Jawab Amber. "Aku tidak tahu kopi apa kesukaanmu, jadi aku memesankan Cappuccino."
"Anything's fine with me as long as it's coffee." Jawab Jack sambil tersenyum. Kemudian senyum itu redup diiringi pandangan merindu. "Thank you, Amber. Really. I don't know what you're gonna do about me but if this is the last time you decided to see me, I'm fine. It's enough for me. It's even too good for a guy like me." Mata Jack berkaca-kaca.
Amber menghela nafasnya, kemudian berkata, "Dad, I want you to walk me to the altar."
***
YOU ARE READING
Embracing Happiness (On Going)
RomanceAmber adalah seorang wanita dengan masa lalu kelam. Dibuang ayahnya, ibunya bunuh diri, kemudian dia dihamili lalu ditinggalkan pria yang dicintainya. Dia merasa bahwa kebahagiaan bukan bagian dari hidupnya. Gavin adalah pria dingin yang tidak terta...