Part 4 - Revealing The Past

66 7 0
                                    

Air mata Amber menetes, lama-lama semakin deras. Dia menangis dalam diam, namun hatinya terasa hangat. Selama ini tidak pernah ada yang bertanya tentang keadaannya. Tidak ada yang menawarkan telinga dan waktu untuk mendengarkan isi hatinya. Selama ini dia berpikir bahwa dia sendirian. Gavin mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Amber.

"Tell me everything, we've got time for this."

Gavin kemudian berdiri menghampiri mesin kopi dan mulai menyeduh kopi. Saat datang dan mengedarkan pandangan menyeluruh ke apartemen kecil ini dia melihat mesin kopi di dapur. Amber tersenyum sambil menghapus air matanya. Pria ini benar-benar aneh. Orang asing, membayar semua tagihan rumah sakitnya, datang ke apartemennya membawakan makanan, memintanya untuk menjadi ibu dari anaknya, menyediakan waktu untuk mendengarkan ceritanya, dan sekarang dia menyeduh kopi untuk mereka berdua.

"Ini, minumlah. Kita butuh kopi kalau ingin cerita semalaman." Gavin menyodorkan satu mug kepada Amber kemudian duduk dan menyesap kopinya sendiri.

Amber melakukan hal yang sama. Setelah mereka menyesap kopi dalam diam, Gavin diam dan menunggu. Amber menarik nafas dan menghembuskannya pelan.

"Sejak aku lahir, ayahku sudah membenciku. Dia menginginkan anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan dan bisnisnya. Anak perempuan tidak pernah ada dalam bayangannya. Setiap aku mendekat, dia menjauh. Dia selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, dan berusaha untuk tidak bertemu denganku. Ketika ibu hamil lagi, dia berubah sedikit. Dia mulai mau menyapaku meskipun tidak hangat dan tidak tulus. Ketika aku ingin bercerita, dia menghentikanku dengan mengatakan bahwa dia harus bekerja. Namun, tiba-tiba ibu pendarahan, dan keguguran. Entah karena apa, rahim ibu harus diangkat. Ayah kembali menjadi sosok yang dingin dan semakin menjauh, dia bahkan jarang pulang. Ibu menjadi semakin tertutup dan sering menangis."

Amber menghela nafas dan menghapus air mata yang menetes. Gavin tetap setia mendengarkan dalam diam.

"Ketika aku berumur 13 tahun aku merubah penampilanku. Aku memotong pendek rambutku. Aku mengenakan jeans dan kemeja. Aku belajar berjalan, berbicara, dan bersikap layaknya pria. Ketika suatu malam ayahku pulang dalam keadaan setengah mabuk dia diam memandangiku kemudian berkata bahwa meskipun aku bertingkah seperti laki-laki, toh aku tetap perempuan. Operasi kelamin pun tak akan merubah pendapatnya terhadapku. Jika aku tidak takut mati, aku sudah bunuh diri malam itu. Dua tahun kemudian, ayah pulang kerja membawa seorang wanita. Mereka ternyata sudah berhubungan selama beberapa tahun, sejak rahim ibu diangkat. Ayah menceraikan ibu karena wanita itu hamil dan anak yang dikandungnya adalah laki-laki. Ayah dengan mudah mengatakan bahwa dia tidak memerlukan ibu dan aku dalam hidupnya lagi. Dia memberi kami sejumlah uang untuk memulai hidup baru."

Amber tertawa pelan, air mata terus berjatuhan. Air mata yang berusaha ditahannya selama bertahun-tahun. Beban berat yang disimpannya rapat-rapat perlahan hilang seiring dengan keluarnya cerita masa lalu dari mulutnya. Entah kenapa dia merasa sedikit ringan. Keberadaan Gavin di hadapannya membuatnya tenang dan kuat.

"Ibu memohon pada ayah agar tak diceraikan, dia akan mengijinkan ayahku menikah lagi dan tidak mengatakan apa-apa asal dia masih bisa memiliki ayah. Wanita itu yang menjawab bahwa dia tidak ingin membagi ayah dengan wanita yang bahkan memberi anak laki-laki saja tidak bisa. Aku marah, aku sedih, dan aku sendirian. Kami pergi dari rumah dan menyewa apartemen kecil yang bahkan lebih kecil dari apartemen ini tapi aku sama saja mengurus diriku sendiri. Ibu tidak membantu sama sekali. Setiap hari dia hanya diam, menangis, bahkan melihatku pun dia tidak mau. Dua minggu kemudian, ketika aku pulang sekolah, aku menemukan ibu tergeletak di kamar mandi bersimbah darah. Ibu lebih memilih membunuh dirinya sendiri daripada ditinggal ayah. Aku meratapi nasibku sendiri. Seminggu setelah pemakaman yang bahkan tidak dihadiri siapapun, aku pergi menemui ayah untuk memberitahu tentang kematian ibu. Kau tahu apa yang dikatakannya? Dia berkata bahwa aku tidak perlu sampai membuat cerita bohong hanya untuk kembali. Dia memberiku amplop berisi uang, mengatakan agar aku jangan pernah menampakkan hidungku di depannya lagi dan menutup pintu."

Gavin menggertakkan giginya. Tampak jelas dia menahan emosi. Pandangan matanya berubah dingin, bukan untuk Amber, melainkan untuk ayah wanita yang dicintainya ini.

"Aku ingin mengatakan bahwa aku membuang amplop itu tapi itu sama saja munafik. Aku butuh uang itu untuk terus sekolah dan hidup. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan anak umur 15 tahun yang hidup sendiri, tapi akhirnya aku mencari kerja. Uang dari ayah aku simpan untuk membayar apartemen. Sepulang sekolah aku bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran. Hasilnya lumayan untuk membayar sekolah sampai aku lulus. Tapi impianku untuk kuliah jelas harus kukubur dalam-dalam. Bisa lulus SMA saja aku sudah bersyukur."

Amber berhenti sesaat untuk menyesap kopinya yang sudah dingin. Dia melirik jam di dinding. Jam 11 malam. Astaga...sudah selama itukah dia bercerita?

***

"Oh Gosh, did I bore you with my story?" Amber bertanya pada Gavin, merasa bersalah dengan ceritanya yang panjang.

"Not at all, but I'm angry. No big deal, just go on. Let it all out. You've kept this for yourself for too long, you have to let it all out today." jawab Gavin sambil menahan emosinya.

Gavin benar-benar marah. Keluarganya juga punya bisnis turun temurun, tapi keturunan perempuan bukan berarti tidak berguna. Kakeknya punya saudara perempuan yang menikah dengan seorang dosen. Mereka hidup sederhana tapi bahagia. Anak dari neneknya itu menjadi seorang guru di sekolah menengah dan Gavin sangat menyayangi pamannya itu. Shawn, anak pamannya, sekarang bekerja di perusahaannya setelah melalui proses bujuk rayu yang panjang. Shawn ingin sekali menjadi guru seperti ayahnya. Tapi Gavin memerlukan orang yang bisa dia percaya di kantor karena sahabat sekaligus tangan kanan ayahnya tidak menikah, jadi tidak punya penerus untuk melanjutkan pekerjaannya di kantor.

Secara keturunan, Shawn jelas bukan seorang Cafaro. Tapi dia tetap saudara, apa pun yang terjadi. Gavin tumbuh besar dalam kehangatan keluarga. Ayahnya memang sibuk, tapi dia tidak pernah ketinggalan acara kumpul-kumpul keluarga. Mereka punya acara makan siang keluarga besar yang wajib dihadiri setiap bulan. Tidak ada iri dengki, tidak ada saling merendahkan, tidak ada pertengkaran, tidak ada rebutan harta. Dia dekat dengan Shawn sejak kecil. Baginya Shawn adalah saudara laki-lakinya meskipun nama mereka berbeda.

Masa lalu pahit yang dialami Amber tidak dapat dipahaminya. Sebagai seorang ayah, dia tidak bisa membayangkan dirinya menjauhi Hazel. Hazel adalah harta yang paling berharga baginya, malaikat kecilnya, semangat hidupnya, apa pun akan dia lakukan untuk Hazel. Setiap pulang kerja, beban berat di pundaknya langsung hilang setelah melihat putri kecilnya. Rasa lelahnya sepadan dengan kebahagiaan putrinya. Maka dari itu dia marah pada ayah Amber. Gavin berniat akan mencari siapa orang itu dan menghancurkan bisnisnya.

***

Embracing Happiness (On Going)Where stories live. Discover now