Part 12 - Every Girl's First Love (?)

69 6 0
                                    

Sebenarnya mood Amber tidak terlalu baik setelah siangnya bertemu dengan pria sialan itu, tapi malam ini adalah perayaan ulang tahun ayah Gavin yang ke 70. Mau tidak mau Amber harus menghadirinya karena bagaimanapun juga dia akan menjadi menantu Dimitri Cafaro. Meskipun dia tidak suka pesta, sepertinya hal-hal semacam ini akan menjadi kegiatan rutin. Victoria mengatakan perusahaan-perusahaan besar sering mengadakan corporate event dimana Gavin harus hadir mengingat dia adalah seorang CEO sebuah perusahaan besar. Seminggu ini Amber sudah belajar kilat tentang table manner, cara berpakaian, cara berdandan, pengetahuan umum para istri; seperti perusahaan apa bergerak di bidang apa dan milik siapa. Kata Victoria, para istri wajib tahu gosip apa yang sedang beredar karena siapa tahu bisa menjatuhkan lawan dan mendukung karir suami. Untungnya Amber bukan gadis bodoh, jadi dia bisa belajar dengan cepat.

Saat ini dia sedang mematut diri di depan cermin. Sungguh dia tidak mengenali wanita yang ada di dalamnya. Wanita itu sungguh cantik dengan rambut merahnya, gaun formal warna peraknya, dan yang lebih penting, wajah ceria dan bahagianya. Amber tidak percaya bahwa hanya dalam waktu sembilan hari sejak pertama dia mengenal Gavin dan Hazel, dia bisa berubah begini banyak. Badannya lebih berisi, raut mukanya lebih cerah, mata cekungnya sudah hilang, senyumnya lebih sering mengembang. Ternyata bahagia itu menyehatkan.

"Admiring yourself much?" tanya Gavin dari belakangnya, berdiri menyandar pada pintu kamar mandi sambil tersenyum.

"I'm just surprised I can look this beautiful." jawab Amber tertawa malu.

"For your information, you are indeed beautiful." Gavin menghampiri Amber dan memeluknya dari belakang. "You just have to realize that."

"Well, I do now."

"So confident. Who are you? What have you done to my silly country girl?" Gavin pura-pura mengerutkan dahinya.

"Silly country girl?" Amber tertawa lebih lebar. Gavin pun ikut tertawa.

"You are really amazing. You know that, don't you? And I am so in love with you." Gavin memeluk Amber dari belakang dan mengecup pundaknya.

"I'm in love with you, too." balas Amber.

"Okay, let's go now. We're gonna be late." Gavin menarik tangan Amber menjauhi cermin.

***

Suasana di The Plaza Hotel Grand Ballroom cukup meriah. Para undangan yang datang adalah pengusaha-pengusaha dari perusahaan baik besar maupun kecil, para model dan artis, wartawan, dan juga walikota New York. Banyak yang heran kenapa pengusaha kecil turut diundang, namun mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menambah kenalan dan melebarkan sayap agar usaha mereka lebih maju. Untuk sebuah acara ulang tahun ke-70, pesta berkedok corporate event ini sebenarnya tidak disetujui oleh Dimitri. Menurutnya merayakan ulang tahun seperti biasa, berkumpul dengan keluarga jauh lebih menyenangkan. Tapi Gavin mengatakan dia ingin sekalian mengumumkan pertunangannya. Maka Dimitri pun menyetujui ide pesta ini.

Gavin dan Amber datang sedikit terlambat. Ketika mereka memasuki Ballroom, para tamu terpesona oleh kehadiran mereka. Mereka sangat tertarik pada Amber karena selama ini mereka tidak pernah melihat Gavin menggandeng seorang wanita. Mereka tahu Gavin pernah menikah dan Aurora sudah meninggal, tapi bahkan mereka jarang sekali melihat Gavin berjalan bergandengan mesra dengan Aurora. Apalagi sejak Aurora meninggal, Gavin semakin jarang menghadiri pesta, bahkan bisa dihitung dengan jari. Maka dari itu kehadiran Amber disamping Gavin sangat menarik perhatian undangan. Dan bagi yang sempat mengenal Aurora, mereka merasa kecantikan dan keanggunan Amber melebihi Aurora.

Amber semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Gavin. Gavin sadar bahwa Amber tidak pernah mendapatkan perhatian sebesar ini. Tapi dia senang, untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasa bangga sekali berhasil menggandeng wanita cantik yang sangat dipujanya. Dia bahagia akhirnya merasakan jatuh cinta. Dan Gavin ingin menunjukkannya pada semua orang. Dia akan memastikan seluruh New York mengenal Amber. Selain itu, dia punya satu tujuan kecil yang sedikit egois. Hanya Shawn yang tahu mengapa dia ingin merayakan ulang tahun ayahnya secara besar-besaran dengan mengundang pemilik perusahaan kecil. Dan saat ini, "tujuan kecil" itu sedang berjalan kearahnya.

"Amber!" sapa seorang pria setengah baya dengan terkejut.

Gavin dapat merasakan tubuh Amber menegang.

"Mr. Hanson, good to see you here. Thank you for coming." kata Gavin berpura-pura tidak menyadari tatapan terkejut dari pria dan wanita di hadapannya.

"Thank you for inviting me, this is such a great opportunity for me as well. But how do you..." Jack Hanson tidak melanjutkan kata-katanya.

"Oh, right. This is Amber Hanson, my future wife."

"Future wife?!" tanya Jack Hanson dan istrinya bersamaan.

"Funny how you have the same surnames, right?" tanya Gavin pura-pura bodoh. Amber semakin mengencangkan cengkeraman tangannya di lengan Gavin.

"It's a very smart move, Amber, sweety." sahut istri Jack Hanson menunjukkan senyum sinisnya.

"I beg your pardon?" tanya Gavin.

"Tidakkah dia memberitahumu bahwa dia adalah putri Jack? Anak yang tidak tahu terima kasih."

"Benarkah? Tidak diakui sebagai anak hanya karena dia anak perempuan, diusir dari rumah hanya karena ayahnya sudah menemukan seseorang yang baru, dianggap mencari perhatian ketika dia memberitakan kematian ibunya, apakah itu tidak tahu terima kasih? Apakah Anda bahagia dengan anak laki-laki Anda yang sekarang, Mr. Hanson? Oh...maaf, itu bukan anak kandung Anda, bukan? Wanita ini penipu tapi berani menyebut calon istriku tidak tahu terima kasih. Lihat dengan siapa kau bicara, nyonya. Aku sudah mengetahui siapa kau sebenarnya. Lebih baik mulai sekarang Anda berhati-hati dalam bersikap, Nyonya." Gavin memasang wajah dingin dan kejamnya yang terkenal kemudian mengajak Amber pergi dari sana.

Setelah beberapa langkah, Amber meminta ijin ke toilet. Gavin menuntunnya ke foyer yang sudah sepi. Dia tahu Amber ingin menangis. Sesampainya di foyer, Amber berbalik dan berdiri menghadap Gavin. Setetes air mata mengalir dipipinya.

"Apakah kau sengaja mengundangnya?" tanyanya.

"Ya." jawab Gavin tegas.

"Why?"

"To avenge you." Dan ketika dilihatnya Amber ingin membantah, Gavin melanjutkan, "Amber, aku adalah seorang ayah. Kau tahu sendiri bahwa bagiku, Hazel adalah duniaku. Aku mencintainya, aku bangga padanya. Apa pun yang terjadi dia adalah keturunan Cafaro. Mendengar cerita tentang ayahmu yang tidak menghargaimu sebagai anak perempuan membuatku marah. Malam itu di apartemenmu aku meminta detektif pribadiku untuk menyelidiki ayahmu dan James. Dan malam ini aku memang sengaja ingin menunjukkan padanya bahwa dia telah rugi banyak telah membuangmu."

"Dan apakah pertemuan dengan James juga kau sengaja?"

"No," jawab Gavin cepat. "Pertemuan dengan James tadi siang tidak ada dalam rencanaku."

"What's in it for you?" Amber menatap mata Gavin memelas.

"Nothing, I promise. I'm doing this for you. In fact, I would do my best to make you happy. And if that means to give some lessons to those people who've hurt you, I would."

"But Gavin, hurting these people won't make me happy. I'm happy now with you and Hazel. Let's just forget everything, shall we? You've said it yourself that I should make new memories with you and Hazel. So let's make them. If you want to make me happy, then stop this. Let God do His job. Okay?"

Gavin menghela nafasnya. Entah untuk keberapa kalinya dia jatuh cinta lagi pada wanita di hadapannya ini. Amber terlalu baik untuk ayahnya dan James. Dan dia benar, biarkan Tuhan saja yang membalaskan sakit hati Amber di masa lalu.

"Okay, whatever you say. But...if that witch does something that endangers you, I'll pay her back." jawab Gavin.

Amber menghela nafas, kemudian mengangguk. Gavin mencium kening Amber, kemudian memeluknya.

***

Embracing Happiness (On Going)Where stories live. Discover now