Amber memandang Gavin lama. Pandangan matanya mencari kebohongan dalam mata Gavin namun dia tak menemukannya. Pria ini tidak menjanjikannya kehidupan yang muluk-muluk. Dia tidak menjanjikan segala hal yang indah. Dia hanya memintanya untuk menjadi istrinya dan ibu bagi Hazel. Sungguh permintaan tulus yang sederhana. Namun mereka baru beberapa jam bertemu. Benarkah Gavin jatuh cinta padanya? Semudah itukah? Anehnya Amber pun merasa hal yang sama. Ada kenyamanan tersendiri saat duduk bersama Gavin. Dia memang tampan, tapi dia tidak mengumbar ketampanannya. Dia bersedia mendengarkan cerita Amber -- satu kemampuan yang tidak dimiliki James. Dan ketika Amber bercerita, Gavin tidak sekalipun menyela ataupun mengalihkan pandangan.
"I'm scared..." kata Amber pelan.
"I know...and you are allowed to be scared. But I believe it's time for you to move on...with us."
Amber tidak mampu berkata-kata. Dia sudah terluka selama 20 tahun. Ketika mengenal James, dia merasa bahwa dia sudah siap untuk memulai hidup yang baru. Namun ternyata akhirnya sama saja. Sekarang pria di sampingnya ini, yang memberinya tanpa berkata banyak, yang memiliki anak yang sangat cantik yang membuatnya jatuh cinta, menawarkan uluran tangan tanpa banyak mengumbar harapan. Jika dia terjatuh lagi dalam lubang yang sama, Amber yakin kali ini dia tidak akan mampu bertahan. Tapi jika memang dia memiliki kesempatan untuk sedikit saja merasakan kebahagiaan, meskipun satu hari, dia tidak akan menyia-nyiakannya.
"Mommy..." Amber mendengar suara Hazel dari dalam kamar. Dia dan Gavin serentak berdiri menghampiri kamar.
"Hey baby...I'm here..." Amber menghampiri Hazel yang sudah duduk dan menangis pelan.
"Mommyyy..." Hazel langsung memeluk Amber dengan erat.
"Sleep, you need a rest. I'll sleep on the couch." kata Gavin kemudian menutup pintu kamar Amber.
Sebelum memejamkan matanya, Gavin mengambil teleponnya dan mengetikkan sesuatu kepada orang kepercayaannya. Dia ingin tahu siapa ayah Amber dan apa usahanya, dan siapa James dan apa pekerjaannya. Dia ingin segera membalaskan sakit hati Amber agar wanita itu bisa hidup tenang bersamanya.
***
Amber bangun ketika jam menunjukkan angka 5.30. Sudah menjadi kebiasaannya bangun pagi agar masih bisa membersihkan apartemennya sebelum berangkat bekerja. Dia ingin pulang ke apartemen yang bersih, jadi dia memilih bersih-bersih di pagi hari. Ketika membuka matanya, dilihatnya ada kaki kecil berada di atas dadanya. Amber tertawa dan membetulkan letak tidur Hazel, mencium keningnya, kemudian keluar dari kamar.
Bau kopi sudah menyambutnya ketika dia membuka pintu. Apakah Gavin juga terbiasa bangun pagi? Pandangannya tertuju pada sofa dan tersenyum. Sofanya tidak terlalu besar, dan Gavin adalah pria yang tinggi besar. Jadi bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya posisi pria itu sekarang. Badannya meringkuk, tapi dia kelihatannya tidur nyenyak sekali. Amber berusaha menutup pintu kamar dengan pelan, tapi ternyata suaranya membuat Gavin terbangun.
"Good morning..." sapa Gavin dengan suara serak yang seksi. Ya Tuhan! Pikiran apa ini?
"Good morning..." jawab Amber gugup.
Jika biasanya orang normal bangun dengan muka seperti monster, Gavin bangun dengan muka yang benar-benar tampan. Apakah pria ini tidak pernah terlihat jelek? Amber membayangkan bangun disamping pria itu pasti menyenangkan. Amber menggelengkan kepalanya sebelum pikirannya membayangkan yang tidak-tidak dan langsung menuju dapur.
"I thought you've made yourself coffee this morning." katanya sambil membelakangi Gavin.
"I did, but that was around 4 am." jawab Gavin masih dengan mata yang mengantuk.
"I bet you couldn't sleep well. Sorry...that couch is too small for you..." Amber merasa prihatin.
"No...it wasn't about the couch." jawab Gavin lalu menguap. Amber tertawa pelan lalu membuatkan kopi baru dan toast untuk sarapan.
"What's your plan for today?" tanyanya sambil lalu.
"Getting you move in with us." jawab Gavin. Amber langsung membalikkan badan.
"Come again?" Amber takut salah dengar. Gavin ingin mengajaknya pindah bersamanya?
"I said I wanted you to move in with us."
"Why?"
"Because I won't leave Hazel here, I mean in this area, and I'm sure she'll want you close 24/7."
"Are you sure with your decision?"
"You think I'm kidding?" sekali lagi Gavin dibuat tersinggung oleh Amber dan dia benar-benar kesal. Tapi dia berusaha sabar karena sadar bahwa Amber jelas tidak akan mudah percaya pada laki-laki lagi.
"I don't even know what to think..."
"Then don't think, you'd better start packing. I'll help."
"What?"
"Let's pack your stuff and move into my apartment. Aku sudah membereskan tagihan apartemen, dan aku sudah mengirimkan surat pengunduran dirimu dari tempatmu bekerja."
Amber ternganga tidak percaya. Siapa pria ini? Mengapa dia bisa begitu cepat membereskan segala hal? Dan apa katanya tadi? Surat pengunduran diri?
"Kalau aku mengundurkan diri, lalu bagaimana aku makan?"
Gavin memandang Amber dengan pandangan mencela. "Kau pikir aku tak bisa memberimu makan?"
"Aku sudah bilang aku tidak tahu harus berpikir apa."
"Dan aku juga sudah bilang ayo berkemas dan segera pindah." Gavin mulai membereskan barang-barang di ruang tamu.
"Umm...those aren't mine."
"Lalu? Yang mana barang-barangmu?" tanya Gavin bingung. Amber tertawa kecil.
"Aku hanya punya satu tas pakaian, peralatan mandi, dan coffee maker ini. Sisanya sudah tersedia di apartemen ini."
"What?!" Gavin melongo. Dia terlihat tak percaya ada wanita yang hanya memiliki sedikit pakaian.
Amber masuk kamar. Tak sampai 15 menit dia keluar sambil menggendong Hazel yang sudah bangun tapi masih mengantuk. Di tangan satunya dia menjinjing sebuah tas pakaian yang tidak terlalu besar.
"Is that all?" tanya Gavin tak percaya.
"Perlengkapan mandiku masih di dalam kamar mandi." jawab Amber sambil melangkah ke kamar mandi.
"You seriously have to bring 'em all?"
"No, but I won't have anything to use to shower later."
"Gosh, we'll buy 'em later. Can we go now?"
Untuk sementara Amber ragu-ragu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen, merangkum memori selama hampir 2 tahun ini. Tak ada kebahagiaan, hanya sakit hati, takut, dan khawatir. Gavin melangkah mendekatinya.
"If you want to keep it all in your mind, keep it. But I hope you keep the good memories only. If you don't have any other than Ruby, then forget it all. It's time for you to make new memories, the good ones. And I hope you'll make 'em with us."
Amber menatap mata Gavin, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Lalu mengangguk.
"Even if I only have one day to feel this happiness with you and Hazel, I won't regret it. I'll live today like there won't be tomorrow."
Gavin tersenyum dan meraih tangan Amber.
"But I won't give you only one day."
***
YOU ARE READING
Embracing Happiness (On Going)
RomanceAmber adalah seorang wanita dengan masa lalu kelam. Dibuang ayahnya, ibunya bunuh diri, kemudian dia dihamili lalu ditinggalkan pria yang dicintainya. Dia merasa bahwa kebahagiaan bukan bagian dari hidupnya. Gavin adalah pria dingin yang tidak terta...