Hari Minggu pagi, Amber mengajak Hazel berjalan-jalan di sekitar Washington Square Park. Selain karena sudah terlanjur berjanji pada gadis kecil itu, Amber juga perlu waktu untuk sedikit menyegarkan pikirannya. Kemarin dalam satu hari ada dua kejadian yang benar-benar menguras emosinya. Memang setelahnya Gavin berusaha menghiburnya dengan menonton film lawas di televisi berdua sambil menikmati popcorn dan cola sampai mereka ketiduran. Namun tetap saja, ketika kejadian itu melintas lagi dalam benaknya, mood-nya jatuh lagi.
Belum lagi Amber sedikit kesal karena Gavin tidak bisa pergi bersama ke taman. Dia memiliki janji bisnis dengan salah satu klien. Di hari Minggu! Tapi Amber tidak bisa berbuat apa-apa. Gavin mencintainya saja dia sudah bersyukur. Dia tidak berani berharap banyak. Dikecewakan dua kali oleh dua pria yang pernah dia cintai benar-benar membuatnya terluka begitu dalam. Jika suatu saat nanti Gavin benar-benar meninggalkannya dan membawa serta Hazel, mungkin dia akan benar-benar tidak sanggup hidup lagi.
Hazel entah bagaimana sudah menjadi bagian dari hidupnya. Seperti saat ini, dia bahagia sekali memperhatikan Hazel. Ada air mancur ditengah-tengah taman, dan Hazel senang sekali berlarian kesana kemari sambil sesekali mencipratkan air ke Amber. Mood-nya kembali naik dan dia mulai mengejar Hazel. Mereka bermain air, membuat beberapa orang ikut tersenyum karena kegembiraan mereka, namun ada juga yang merasa terganggu karena cipratan air yang mengenai mereka.
Tak berapa lama kemudian Amber merasa lelah. Hazel masih penuh semangat, tapi Amber mengajaknya menyingkir dari air mancur dan duduk di kursi taman. Sebagai ganti air mancur, Hazel berlarian dari satu bunga ke bunga lain, dan Amber hanya mengawasinya. Entah terbuat dari apa Hazel ini, dia seperti tidak punya rasa lelah. Amber tertawa pelan sambil pandangannya mengikuti Hazel yang kesana-kemari sampai dia melihat bayangan seseorang yang dia kenal. Dan seketika mood-nya kembali turun.
Tak jauh dari sana dia melihat ayahnya berjalan menghampiri. Tubuhnya langsung kaku. Amber berusaha memusatkan perhatiannya kepada Hazel, namun sulit sekali. Setelah tinggal sekitar satu meter, ayahnya yang terlihat canggung memulai percakapan.
"Hey...I saw you from afar...umm...guess I'd say hello."
"Hey." jawab Amber kaku. Tiba-tiba Hazel berlari kearah Amber dan memeluknya.
"Who's she?" Tanya Jack Hanson.
"Hazel, Gavin's daughter." Jawab Amber pendek.
"She's beautiful." Kemudian Jack diam. Terlihat sekali dia bimbang akan sesuatu. "I'd like to talk to you, if you have time." Akhirnya dia berbicara.
"If this is about work..." Tukas Amber. Dia tak ingin dimanfaatkan dalam hal apa pun.
"Work?" Tanya Jack bingung. Tapi sedetik kemudian dia mengerti. "Oh..no..no... Ini bukan tentang perkerjaan atau bisnis atau apa pun itu. This...is about us."
"What about us? Apalagi yang harus dibicarakan?"
"Can I sit here?"
Amber menggeser tubuhnya sejauh mungkin, memberi tempat untuk Jack. Hazel dimintanya untuk bermain lagi.
"Go ahead, I don't have much time." Kata Amber dingin.
Jack tidak langsung berbicara. Dia memandang Hazel lama, dan matanya berkaca-kaca. Setelah beberapa menit yang terasa berjam-jam, Jack membuka mulutnya.
"I'm sorry."
Amber terpana. Dia tak mempercayai apa yang didengarnya tapi dia diam saja. Dia ingin mendengar semua yang dikatakan ayahnya terlebih dahulu.
"I'm sorry...for everything. Untuk masa kecilmu yang tidak indah sama sekali hanya karena aku yang tidak pandai mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepadaku. Untuk masa remajamu yang tersiksa hanya karena aku tak mampu meletakkan keegoisanku dan belajar menghargai orang-orang yang mencintaiku. Aku seharusnya mengajarimu berjalan, bersepeda, membaca. Aku seharusnya mendengarkan ceritamu tentang segala hal. Aku seharusnya memarahimu karena nekad berkencan, aku seharusnya mengantarmu ke prom karena aku tak ingin ada pemuda canggung yang menyentuhmu. Aku..." suara Jack bergetar diiringi setetes air mata yang jatuh dari matanya. Amber pun sama, tapi dia tetap diam saja.
"Aku berengsek. Aku menyia-nyiakan cinta dan kasih sayang ibumu hanya karena dia tak bisa memberiku putra. Aku jatuh kedalam pelukan wanita berbisa yang semakin membutakan mataku karena jaminannya akan kelahiran seorang putra darah dagingku. Setelah aku kehilangan kalian, aku baru menyadari bahwa aku hanya hidup dalam harapan semu dan ketika aku terbangun dari mimpi, aku sudah tak bisa menemukan kalian. Kemudian aku teringat bahwa kau pernah datang mengabarkan kematian ibumu dan aku memperlakukanmu seperti sampah." Tangis Jack pecah. Dia menangkup wajahnya dengan kedua tangan yang ditumpukan pada pahanya.
"Maafkan aku, Amber, maafkan aku yang bodoh ini." Kata Jack di sela tangisnya. "Aku tahu aku sungguh bermuka tebal berani mengatakan maaf padamu. Kau tentu boleh tak memaafkan aku, kau bahkan berhak untuk itu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyadari semua kesalahanku. Aku lega akhirnya bertemu denganmu. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu selama ini, atau seberapa menderitanya kamu. Aku malu untuk bertanya penderitaan apa lagi yang kusebabkan dalam hidupmu, tapi aku lega akhirnya kita bertemu dan aku masih sempat mengatakan maaf." Jack mengangkat kepalanya dan menoleh pada Amber.
"Aku senang kau akan menikah dengan Gavin Cafaro. Dia terkenal sangat menyayangi putrinya. Jadi aku berharap di detik kau berjalan di altar, itu sama saja kau berjalan menyambut kebahagiaan yang memang pantas kau dapatkan dari dulu. Dan sebagai orang bodoh yang sangat egois, sebelum kau menjadi Mrs. Cafaro, aku berharap dapat memelukmu sekali saja. Sebagai Amber Hanson-ku." Jack memberanikan diri menatap wajah Amber yang sedari tadi tak memandangnya sama sekali.
Setelah menunggu beberapa menit dan tidak ada tanda-tanda Amber ingin mengatakan apa pun, Jack menunduk menerima nasib dan beranjak berdiri.
"Baiklah. Aku rasa aku telah mengganggu waktumu, maafkan aku. Aku akan kembali ke Minnesota besok pagi. Goodbye, oh...and happy wedding. I really wish for your happiness."
Jack menghapus air matanya dan melangkah pergi. Setelah yakin ayahnya menghilang dari pandangan, tangis Amber pecah. Dilema antara rasa marah dan sayang, Amber tak tahu harus memaafkan ayahnya atau tidak. Dua tangan kecil kembali menangkup wajahnya dan menghapus air matanya.
"Is he a bad man, mommy?" Tanya Hazel.
Amber memaksakan sebuah senyuman. Hazel seharusnya tidak melihat air matanya lagi.
"No, honey, he's not bad. I'm just tired. Can we go home now?"
Amber merasa tak sanggup untuk berada lebih lama lagi di taman yang semakin ramai ini, tapi justru membuat hatinya terasa sepi. Hazel mengangguk sambil memandang Amber dengan khawatir. Amber menggendong Hazel agar lebih cepat bergerak diantara keramaian sambil sesekali melemparkan senyuman agar Hazel merasa tenang. Dia hanya ingin cepat sampai ke apartemen.
***
YOU ARE READING
Embracing Happiness (On Going)
RomansaAmber adalah seorang wanita dengan masa lalu kelam. Dibuang ayahnya, ibunya bunuh diri, kemudian dia dihamili lalu ditinggalkan pria yang dicintainya. Dia merasa bahwa kebahagiaan bukan bagian dari hidupnya. Gavin adalah pria dingin yang tidak terta...