Amber tiba di apartemennya sekitar pukul 8 malam. Dia merasa lelah lahir batin, tapi hatinya terasa hangat. Gavin membayar seluruh biaya rumah sakit. Bahkan uang yang ditinggalkan pria itu masih cukup untuk membayar biaya kremasi Ruby. Dia ingin menelepon dan mengucapkan terima kasih tapi dia takut. Takut akan penolakan. Baru saja dia duduk di sofa, teleponnya berbunyi. Gavin.
"Hello?"
"Hey...are you home now?" tanya Gavin. Sayup-sayup Amber mendengar suara Hazel yang sedang menangis.
"Yeah...I just got home. Is that Hazel crying?"
"Yeah....ummm...do you mind if we come over now? Hazel's been crying for hours. I'm desperate..." Gavin jelas terdengar putus asa.
"I'll come over, text me your address." jawab Amber sambil memakai jaketnya lagi. Dia tidak keberatan. Sendirian di apartemennya di saat seperti ini lah yang dia tidak mau.
"Well, we're already on our way to your apartment..."
"What?!"
"We'll be there in a few minutes..." Dan Gavin pun memutuskan sambungan.
Amber masih berdiri sambil memandangi teleponnya. Pria yang aneh... Tapi dia tampan sekali. Dan Hazel pun cantik sekali. Oh, tidak! Dia tidak boleh seperti ini lagi! Sekalinya dia jatuh cinta, dia hamil dan ditinggalkan begitu saja. Dia tak ingin jatuh cinta lagi. Tapi Hazel sungguh sangat menggemaskan. Andaikata Ruby dapat tetap hidup, mungkin mereka dapat berteman baik.
Amber menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh begini. Menyesali kematian Ruby hanya akan melukai dirinya sendiri. Ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Segera saja dibukanya pintu apartemennya dan disanalah Gavin, menggendong Hazel yang tertidur di satu tangan, dan menjinjing tas kecil di tangan satunya. Di bahunya ada tas ransel.
"I told her if she doesn't sleep, she won't wake up next to mommy." kata Gavin pelan seperti anak yang mengaku salah karena mencuri permen.
Amber tertawa kecil dan mengambil Hazel dari gendongan Gavin.
"Come in..." ajaknya sambil membukakan pintu lebih lebar agar Gavin bisa masuk.
Apartemen itu mungil, hanya terdiri dari ruang tamu yang jadi satu dengan dapur dan ruang makan, kamar tidur, dan kamar mandi. Amber meletakkan Hazel di tempat tidur, mengelus kepalanya, dan mencium keningnya. Kemudian dia mematikan lampu kamar dan keluar. Dia melihat Gavin sedang memperhatikan apartemennya.
"Too small for you?" tanyanya sambil tersenyum. Gavin menoleh kaget dan tersenyum tipis.
"Enough if you live alone." jawabnya, kemudian bertanya, "have you eaten anything?"
Amber ingin mengatakan bahwa dia sudah makan, tapi perutnya berkhianat. Gavin menghembuskan nafas dan menggeleng pelan. Dia menghampiri meja makan dan mengeluarkan dua kotak take out dari dalam tas kecil yang tadi dijinjingnya.
"Do you like Chinese food?" tanyanya, yang dijawab Amber dengan anggukan. "Let's eat. Aku juga belum makan, terlalu sibuk menenangkan Hazel."
Amber menghampiri meja makan. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa lapar. Mereka makan dalam diam, entah menikmati makanan di hadapan mereka, atau sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah selesai, Amber membereskan meja makan, mengambilkan minum untuk Gavin, kemudian kembali duduk. Setelah saling diam beberapa saat, akhirnya Amber memecah keheningan.
"Thank you...for paying my hospital bills."
"I don't..." Gavin terlihat berusaha mengelak.
"I know it's you. I don't know anyone here in New York. I have no family, no relatives. No one knows about Ruby except one lady that helped me, but I know she doesn't have enough money to pay for my bills. So...thank you so much. It means a lot to me, but I will pay you back and you can't say no. I just want you to be patient, I might need a lot of time, but I will pay you back." jelas Amber panjang lebar.
Setelah diam beberapa saat sambil memandang Amber, Gavin mengeluarkan kata-kata yang bahkan dia sendiri tidak sadar telah mengatakannya.
"Pay me back by being Hazel's mom."
***
Gavin terdiam. Amber memandangnya dengan mata melebar dan mulut menganga karena kaget. Gavin bahkan lebih kaget lagi. Entah kegilaan dari mana, tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulutnya. Tapi entah kenapa dia tidak menyesal.
Sejak awal melihatnya, Gavin sudah jatuh cinta pada Amber. Dia menyadarinya. Dia bukan pria yang mudah jatuh cinta, bukan pula pria hidung belang yang doyan berganti-ganti pasangan. Jadi ketika dia merasa tertarik pada seorang wanita, dia pasti menyadarinya. Rambut merah itu, mata hijau itu, mulut mungil yang penuh itu, cara Amber menenangkan Hazel dengan suaranya yang merdu. Semuanya sudah satu paket. Gavin sadar, dia dan Hazel jatuh cinta pada wanita yang sama.
"I know it sounds crazy and impossible, but I think I'm in love with you."
Mata Amber semakin membelalak. Bahkan James, ayah Ruby, tidak melakukannya demikian cepat dan tanpa basa-basi.
"Are you drunk?" tanya Amber.
"Funny. You know if I try to get drunk, I'll die." jawab Gavin sedikit tersinggung.
Ini pertama kalinya dia mengatakan pada seorang wanita bahwa dia jatuh cinta padanya tapi wanita ini malah mengira dia mabuk. Padahal banyak sekali wanita yang menantikannya mengucapkan cinta. Dan wanita ini sudah merebut hatinya dengan sangat cepat dan tiba-tiba. Dia sendiri tidak paham mengapa mengatakannya begini cepat, tapi dia memang bukan orang yang suka basa-basi dan buang-buang waktu.
"I'm sorry, I didn't mean it like that, it's just..." Amber tergagap.
"Too fast?"
"Yes...don't you think? We just met this afternoon. It's literally a few hours ago."
Gavin terkesan. Bahkan dalam keadaan terkejut pun, Amber tidak meninggikan suaranya. Tapi ada sesuatu di mata Amber yang mengganggunya. Pandangan matanya tidak menyiratkan ketidakpercayaan akan perasaannya, tapi matanya menyiratkan luka. Aneh sekali.
"I don't like wasting my time when I already know what I want, and I want you. Not only for myself but also for Hazel. I'm not the kind of person who falls in love easily. Even Aurora, my wife, was the one who made the move because I wasn't interested in anyone. Not even her. But when I saw you earlier, I knew I want you." ingin rasanya Gavin bertepuk tangan karena biasanya dia tidak pernah berbicara sepanjang ini, apalagi untuk urusan perasaan.
Amber terlihat berpikir keras. Gavin tidak suka tatapan mata yang terluka itu. Apa yang dirasakannya tidak menyakitkan untuk Amber, bukan? Apakah dia tersinggung karena Gavin memintanya untuk menjadi ibu dari anak orang lain padahal dia baru saja kehilangan anaknya sendiri?
"Did I hurt you?" tanya Gavin. Amber terkejut.
"No... Why did you think you hurt me?"
"Pandangan matamu mengatakannya. Jika bukan aku yang menyakitimu, berarti ada yang melakukannya padamu. Siapa? Katakan semuanya padaku sebelum kau memutuskan apa pun. Mungkin akan menjadi lebih ringan untukmu juga."
***
YOU ARE READING
Embracing Happiness (On Going)
RomanceAmber adalah seorang wanita dengan masa lalu kelam. Dibuang ayahnya, ibunya bunuh diri, kemudian dia dihamili lalu ditinggalkan pria yang dicintainya. Dia merasa bahwa kebahagiaan bukan bagian dari hidupnya. Gavin adalah pria dingin yang tidak terta...